Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kewenangan Bidang Kehutanan

5 Maret 2021   13:06 Diperbarui: 5 Maret 2021   13:13 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kawasan hutan yang dimiliki Indonesia ini sangat luas dan mencapai 125,2 juta ha yang terdiri dari hutan konservasi 27,3 juta ha, hutan lindung  29,5 juta ha dan hutan produksi 68,4 juta ha.

Dari 125,2 juta ha tersebut, 13,4 juta ha diantaranya adalah lahan kritis dalam kawasan hutan yang perlu direhabilitasi. Belum lagi dengan areal penggunaan lain (APL) yang masih berbentuk tutupan hutan (meski bukan kawasan hutan) mencapai  7,9 juta ha. Kawasan hutan seluas itu, sudah barang tentu harus diurus, dikelola, dijaga, diawasi serta dimanfaatkan oleh negara untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat UUD 45 pasal 33.

Bagaimana kawasan hutan negara dikelola pemerintah. Apa saja yang diurus dan bagaimana pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Apa saja kelemahan tata kelola selama ini dalam pengurusan hutan? Apa saja kesiapan SDM yang dibutuhkan?.  Berapa besar sumbangan kehutanan untuk pemasukkan keuangan negara selama ini dan seterusnya.  

Pembagian Kewenangan

Menurut undang-undang (UU) no. 41/1999 tentang kehutanan yang disempurnakan oleh UU Cipta Kerja no. 11/2020, kewenangan kehutanan yang diimplementasikan dalam pengurusan hutan meliputi kegiatan:

a) perencanaan kehutanan; b) pengelolaan hutan;  c) penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan  d) pengawasan. UU no. 23/2014 tentang pemerintahan daerah khusus bidang kehutanan terdapat pembagian tugas antara pemerintah pusat dan daerah (pemerintahan provinsi).

Kewenangan urusan perencanaan hutan dibawah kendali penuh pemerintah pusat yang meliputi kegiatan a) Penyelenggaraan inventarisasi hutan; b) Penyelenggaraan pengukuhan kawasan hutan; c) Penyelenggaraan penatagunaan kawasan hutan; d) Penyelenggaraan pembentukan wilayah pengelolaan hutan.; e) Penyelenggaraan rencana kehutanan nasional.

Kewenangan urusan pengelolan hutan terdapat pembagian tugas antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat meliputi  a) Penyelenggaraan tata hutan; b) Penyelenggaraan rencana pengelolaan hutan; c) Penyelenggaraan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; d) Penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan; e) Penyelenggaraan perlindungan hutan; f) Penyelenggaraan pengolahan dan penatausahaan hasil hutan; g) Penyelenggaraan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK).

Sementara pemerintah daerah mengurusi a) Pelaksanaan tata hutan kesatuan pengelolaan hutan kecuali pada kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK); b) Pelaksanaan rencana pengelolaan kesatuan pengelolaan hutan kecuali pada kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK); c) Pelaksanaan pemanfaatan hutan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, meliputi: 1) Pemanfaatan kawasan hutan; 2) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu;  3) Pemungutan hasil hutan; 4) Pemanfaatan jasa lingkungan kecuali pemanfaatan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon; d) Pelaksanaan rehabilitasi di luar kawasan hutan negara; e) Pelaksanaan perlindungan hutan di hutan lindung, dan hutan produksi; f) Pelaksanaan pengolahan hasil hutan bukan kayu; g) Pelaksanaan pengolahan hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi < 6000 m/tahun; h) Pelaksanaan pengelolaan KHDTK untuk kepentingan religi. Kewenangan urusan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan yang menjadi kendali pemerintah pusat adalah a) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan serta pendidikan menengah kehutanan; b) Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan nasional. Sementara untuk pemerintah daerah adalah a) Pelaksanaan penyuluhan kehutanan provinsi; b) Pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan. Kewenangan urusan pengawasan kehutanan menjadi tanggungjawab penuh pemerintah pusat.

Disamping itu terdapat 2 (dua) urusan tambahan yang harus dibagi kewenangannya antara pemerintah pusat dan daerah yaitu urusan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE)  serta urusan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Kewenangan urusan KSDAE yang dibagi adalah pemerintah pusat untuk a) Penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;  b) Penyelenggaraan konservasi tumbuhan dan satwa liar; c) Penyelenggaraan pemanfaatan secara lestari kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; d) Penyelenggaraan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar Sedangkan pemerintah daerah mempunyai kewenangan KSDAE dalam hal a) Pelaksanaan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman hutan raya (TAHURA) lintas Daerah kabupaten/kota; b) Pelaksanaan perlindungan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan/atau tidak masuk dalam lampiran (Appendix) CITES; c) Pelaksanaan pengelolaan kawasan bernilai Pelaksanaan pengelolaan TAHURA kabupaten/kota. Kewenangan urusan pengelolaan DAS yang dibagi adalah pemerintah pusat Penyelenggaraan pengelolaan DAS. Sementara pemerintah daerah adalah  Pelaksanaan pengelolaan DAS lintas Daerah kabupaten/kota dan dalam daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi.

Kelemahan Tata Kelola Pengurusan Hutan

Kewenangan yang terlalu besar (powerfull) oleh pemerintah pusat dalam mengurus hutan selama ini,  yang tidak diimbangi oleh kesiapan infrastruktur (sarana dan prasarna), SDM dan anggaran yang memadai menjadi kelemahan latent yang berlangsung secara terus menerus apabila tidak dilakukan perbaikan tata kelola secara mendasar dan holistik. Kewenangan pemerintah pusat yang tidak dibagi kepada pemerintah daerah seperti urusan perencanaan hutan dan pengawasan hutan, menunjukkan bahwa pemerintah pusat belum percaya penuh terhadap kemampuan daerah dalam mengurus 2 (hal) tersebut. Kondisi ini tidak sejalan dengan UU no. 23/2014, dimana kehutanan merupakan urusan pemerintahan konkuren meskipun bukan sifatnya adalah urusan pemerintahan konkuren pilihan. Kalaupun, kewenangan tersebut dibagi kepada pemerintah daerah (dalam hal ini pemerintah provinsi sesuai UU no. 23/2014) hanya terbatas pada aspek tertentu yang bersifat pelaksanaan saja bukan pada tataran kebijakan.

Sementara pemerintahan provinsi yang menangani bidang kehutanan juga mempunyai keterbatasan dalam hal SDM, sarana prasarana dan juga penganggaran. Izin-izin usaha dibidang kehutanan masih besifat sentralistik dan menjadi otoritas penuh pemerintah pusat. Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Sedangkan pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Seharusnya urusan pengelolaan hutan yang diserahkan urusannya sebagian kepada pemerintah provinsi tidak dapat dipukul rata sama pada semua provinsi, karena potensi dan luas kawasan hutan yang berbeda-beda . Misalnya  provinsi yang mempunyai kawasan hutan sama atau lebih dari 50 % dari luas wilayahnya tentu perlakuannya tidak sama dengan provinsi yang memiliki kawasan hutan kurang dari 50 % dari wilayahnya dalam hal pembagian kewenangan urusan pengelolaan hutan.

Pengurusan perencanaan hutan yang menurut peraturan pemerintah (PP) no. 44/2004 , terdiri dari kegiatan a) Inventarisasi hutan; b) Pengukuhan kawasan hutan; c) Penatagunaan kawasan hutan; d) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan; dan e) Penyusunan rencana kehutanan, yang dilakukan oleh pemerintah pusat, juga mempunyai banyak kelemahan disana sini dilapangan. Dalam kegiatan pengukuhan kawasan hutan khususnya bagian penataan batas kawasan hutan yang melibatkan kegiatan pemasangan pal/patok batas kawasan hutan tidak mungkin dapat diselesaikan untuk beberapa tahun yang akan datang, dengan kondisi kawasan hutan yang sangat luas dan SDM serta penganggaran yang terbatas jumlahnya.

Dalam urusan pengawasan yang menjadi kewenangan pusat, pengawasan menjadi kruisal dan menjadi titik lemah pemerintah pusat dalam menjaga, mengawasi dan mempertahankan kawasan hutan dari illegal logging, illegal mining, perambahan hutan dan sejenisnya. Kewenangan pemerintah dalam pengawasan baik  ketaatan aparat penyelenggara maupun  pelaksana terhadap semua ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan kurang memadai. Jumlah aparat jagawana (polisi kehutanan) seluruh Indonesia pusat dan daerah sekitar 7000 orang tidak sebanding dengan luas kawasan hutan  125,2 juta ha yang diawasi. Rasionya adalah satu jagawana menjaga 18.000 ha kawasan hutan. Ideal satu jagawana menjaga 500 -- 1000 ha kawasan hutan atau membutuhkan 125 000 orang jagawana. Oleh karena itu, wajar apabila kerusakan kawasan hutan masih terus berlangsung bahkan terjadi sangat masif. Kawasan hutan konservasi yang diharapkan sebagai benteng terakhir kawasan hutan yang harus dijaga dengan baikpun mampu dapat dijarah apalagi dengan kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Pemerintah pusat semestinya, tidak hanya sekedar melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah dalam hal pengelolaan hutan lindung dan taman hutan raya (UU no.23/2014 tentang pemerintahan daerah), tetapi juga harus mampu memikirkan untuk menambah kekurangan personil pengawasan (jagawana) pusat/daerah, penganggaran dan peralatan yang memadai. Pengawasan yang bersifat pencegahan (preventif) akan lebih baik dibanding dengan pemulihan kerusakan hutan yang membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Sumbangan Kehutanan Untuk Pemasukkan Uang Negara

Pemerintah memperoleh pemasukkan uang negara dari kehutanan, sejak dimulainya izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dalam kawasan hutan alam tahun 1967, dimana penanaman modal asing dizinkan untuk mengelola dan mengeksploitasi hasil hutan di Indonesia dalam bentuk konsesi HPH. Dalam PP no. 21/1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), disebutkan bahwa HPH wajib membayar Iuran Hak Pengusahaan Hutan, Iuran Hasil Hutan dan lain-lain pembayaran dengan peraturan yang berlaku dan HPHH wajib membayar Iuran Hasil Hutan dan lain-lain pembayaran sesuai dengan peraturan yang berlaku. Disamping itu HPH diwajibkan untuk membayar Dana Jaminan Reboisasi (DJR) yang berubah menjadi Dana Reboisasi (DR) dihitung berdasarkan jumlah volume kubikasi yang dikeluarkan (meter kubik)  dari areal kawasan hutan dikalikan dengan tarif tertentu yang ditetapkan sebelumnya. Pada era tahun 70'an tersebut kayu gelondongan (log) dari hutan alam jumlahnya cukup banyak maka kayu log tersebut dapt langsung diekspor keluar negeri. Oleh karena itu, tarif DR ditetapkan berdasarkan kurs mata uang dollar Amerika (US dollar) yang nilainya dianggap stabil dibandingkan dengan rupiah. Pada era orde baru ini, pemasukan keuangan negara dari kehutanan merupakan rekor tertinggi setelah minyak bumi. Bonanza kayu dari hutan alam Indonesia, merupakan devisa negara kedua setelah minyak bumi. Setelah terjadi pergantian rezim orde baru, era reformasi menerbitkan regulasi dibidang kehutanan berupa UU. No. 41/1999 yang lebih jelas dan tegas dalam mengatur pungutan dan iuran dibidang kehutanan yang masuk dalam katagori Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dari beberapa iuran dan pungutan yang ada dikehutanan, ternyata terdapat dua jenis iuran dan pungutan yang jumlahnya cukup besar dalam menambah devisa negara. Iuran tersebut adalah Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Menurut PP no. 12/2014 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Kehutanan, DR yang berlaku berkisar antara 13 -- 20 US dollar. Sedangkan PSDH dihitung berdasarkan tarif 10 % x harga patokan/m3 untuk kayu dari hutan alam dan 6 % x harga patokan/m3 untuk kayu dari hutan tanaman indiustri.

Proporsi pembagian DR diatur dengan rasio 60 % untuk pemerintah pusat dan 40 % untuk daerah kabupaten penghasil. Sementara itu pembagian PSDH adalah 20 % pemerintah pusat,  16 % pemerintah provinsi, 32 % kabupaten penghasil dan 32 % kabupaten lainnya dalam wilayah provinsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun