IRONI FUNGSI DAN PEMANFAATAN HUTAN LINDUNG
Seringkali kita dikacaukan istilah kawasan lindung indentik dengan hutan lindung padahal tidak demikian. Dalam undang-undang (UU) no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, secara tersurat tidak diketemukan adanya kawasan lindung, yang ada adalah hutan lindung (pasal 6 ayat (1)). Demikian halnya dalam undang-undang no.5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, hanya ditentukan istilah perlindungan sistem penyangga kehidupan (pasal 5).
Hutan lindung ditetapkan berdasarkan kriteria mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh persen); atau ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut atau dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih. Data tahun 2017, luas hutan lindung di Indonesia sebesar 29,6 juta ha (15,7 %) dari jumlah total  125,2 juta ha. Salah satu fungsi kawasan hutan yang terabaikan adalah hutan lindung. Kenapa ? Karena hutan lindung tidak mempunyai turunan sebagaimana hutan konservasi dan hutan produksi. Dalam undang-undang 41/1999 tidak ditemukan arti dan penjelasannya. PP no. 44/2004 tentang perencanaan kehutananpun tidak ditemukan arti dan pengertian hutan lindung, hanya disebutkan kriteria penetapan hutan lindung.
Hutan lindung nampaknya kurang menarik dan seksi untuk dibahas karena nilai ekonomisnya lebih kecil dibandingkan dengan  nilai ekologisnya. Oleh karena itu, hutan lindung dibanyak daerah kurang mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah daerah setempat (pemda provinsi/kabupaten/kota) apalagi pemerintah pusat. Terdapat suatu kecenderungan dari tahun ketahun, hutan lindung mengalami degradasi dan deforestasi yang masif dan cepat. Data terakhir tahun 2018, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta ha, yang terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 ha, hutan lindung 2.379.371 ha, hutan produksi 5.109.936 ha, kawasan lindung pada APL (Areal Penggunaan Lain) 2.234.657 ha dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 ha. Meskipun kerusakan hutan lindung sebarannya nomor dua setelah hutan produksi, namun dampaknya ekologisnya terhadap lingkungan lebih besar dibandingkan dengan kerusakan hutan produksi.
Contoh kasus misalnya banjir atau banjir bandang yang terjadi baru-baru ini yang terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia, seperti di Kalsel dan NAD dan sebagainya hampir dipastikan hutan lindungnya atau kawasan lindungnya yang berada dihulu DAS wilayah tersebut terganggu lingkungannya.
Fungsi dan Pemanfaatan Hutan Lindung
Dalam undang-undang 26 tahun 2007, tentang penataan ruang, kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumberdaya buatan (pasal 1). Terdapat 5 (lima) kawasan yang termasuk dalam kawasan lindung, 3 (tiga) kawasan diantara masih terkait dengan kawasan hutan negara. Dapat dipastikan bahwa hutan lindung pasti masuk dalam kawasan lindung, tetapi kawasan lindung tidak berarti harus hutan lindung. Kawasan lindung (selain kawasan bergambut dan kawasan resapan air) yang memberikan perlindungan terhadap kawasan dibawahnya adalah kawasan hutan lindung. Perlindungan yang dimaksud adalah menjaga keseimbangan (equilibrium) fungsi hidroorologi antara daerah hulu dan hilir dalam kawasan daerah aliran sungai (DAS) utama.
Sedangkan menurut UU no. 41/1999 pasal 26 ayat (1) : pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti:  a) budidaya jamur,  b) penangkaran satwa, dan  c) budidaya tanaman obat dan tanaman hias. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti:  a) pemanfaatan untuk wisata alam,  b) pemanfaatan air, dan  c) pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.  Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti:  a) mengambil rotan,  b) mengambil madu, dan  c) mengambil buah. Usaha pemanfaatan dan pemungutan di hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Disharmoni Regulasi Dibawah UU
Seharusnya regulasi yang dibuat dibawah UU, seperti peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Â tentang fungsi dan pemanfaatan hutan lindung harus patuh dan tidak boleh menyimpang dari UU no. 41/1999 yang disempurnakan dengan UU no. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Faktanya banyak regulasi dibawah UU yang tidak sinkron (disharmoni) dalam pelaksanaannya. Beberapa regulasi yang tidak sinkron tersebut diantara adalah :
Pertama, dualisme otorisasi. Â Undang undang no.41 tahun 1999 pasal 6 ayat (2) mengamanatkan bahwa pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai a) hutan konservasi b) hutan lindung, dan c) hutan produksi. Pemerintah dalam pengelolaan fungsi kawasan hutan ini dapat membagi dan menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah daerah sebagaimana pengelolaan hutan lindung. Menurut PP no. 62 tahun 1998, tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan dibidang kehutanan kepada daerah, pasal 5 menyatakan Kepala Daerah Tingkat II diserahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang antara lain tentang pengelolaan hutan lindung. Urusan pengelolaan hutan lindung sebagaimana dimaksud mencakup kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi/ reforestasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa lingkungan. Dengan terbitnya undang-undang no. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah urusan pengelolaan hutan lindung ditarik oleh pemerintah pusat dan diserahkan kepada pemerintah provinsi sebagaimana hal dengan pengelolaan taman hutan raya (Tahura). Disatu sisi pengelolaan hutan lindung yang bersifat pengawasan, perlindungan dan pemulihan hutan lindung diserahkan kedaerah, sementara itu urusan perizinan usaha pemanfaatan kawasan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu masih dikendalikan oleh pemerintah pusat.
Kedua, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang mengancam keberadaan dan luas hutan lindung. PP no. 14/2015 tentang pedoman perubahan peruntukan fungsi kawasan hutan yang disempurnakan dalam  RPP peraturan pelaksanaan UU no. 11/2020 Cipta kerja bidang kehutanan pasal 37b yang memungkinkan dan membolehkan perubahan fungsi antar fungsi pokok kawasan hutan antara  kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan konservasi dan/atau kawasan hutan produksi menyebabkan keberadaan dan luas hutan lindung yang ada semakin kecil diantara fungsi kawasan hutan yang lain. Indikasi kearah sana nampak nyata dengan dihapuskannya fungsi kawasan hutan produksi terbatas dalam RPP ini. Sebagaimana diketahui dalam PP no. 44/2004 tentang perencanaan kehutanan pasal 24 ayat (1c), hutan produksi terdiri dari hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa dan hutan produksi yang dapat dikonversi yang selanjutnya dalam RPP penyempurnaan tersebut dirubah menjadi hutan produksi terdiri dari hutan tetap dan hutan produksi yang dapat dikonversi.
Untuk kepentingan pembangunan seperti kegiatan : a) proyek strategis nasional (PSN); b) pemulihan ekonomi nasional (PEN); c) pengadaan ketahanan pangan (food estate) dan energi, dan d) pengadaan tanah obyek reforma agrarian (TORA), pelepasan kawasan hutan hutan selain dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi dapat dijuga dilakukan pada kawasan hutan produksi tetap (RPP bab III perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan pasal 19 ayat (2)). Bilamana hutan produksi yang dapat dikonversi maupun hutan produksi tetap suatu saat nanti habis kawasannya bukan tidak mungkin pasal 37b yang memungkinkan perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi akan digunakan.
Ketiga, IPPKH yang tidak terkendali. Izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) merupakan modus yang paling mudah untuk memanfaatkan hutan untuk kepentingan diluar kehutanan (non kehutanan). Adalah peraturan menteri (Permen) LHK no. P.27/2018 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan yang membolehkan/mengizinkan penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dalam kawasan hutan lindung. Dalam regulasi menteri tersebut perlakukan penggunaan kawasan hutan untuk IPPKH untuk hutan produksi maupun hutan lindung tidak jauh berbeda meski fungsi antara hutan lindung dan hutan produksi sangat berbeda. Sebagai contoh kuota IPPKH untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara pada kawasan hutan produksi yang dibebani izin pemanfaatan hutan dapat dipertimbangkan yaitu 10% (sepuluh perseratus) dari luas efektif setiap izin pemanfaatan hutan sama dengan kuota IPPKH yang dapat dipertimbangkan adalah 10% (sepuluh perseratus) dari luas kelompok hutan lindung yang bersangkutan. Perubahan bentang alam hutan lindung yang dimanfaatkan untuk IPPKH ini akan merubah tutupan hutan (forest coverage) yang pada gilirannya akan menurunkan daya dukung kawasan hutan lindung sebagai fungsi pengendali keseimbangan hidroorologis kawasan didaerah bawahnya (hilir). Kasus banjir di provinsi Kalsel salah satunya penyebabnya adalah banyaknya izin IPPKH untuk pertambangan batubara dan perkebunan.
Keempat, konsep food estate dihutan lindung. Adalah KLHK yang menerbitkan peraturan menteri no. P.24/2020 yang membolehkan kawasan food estate dalam hutan lindung. Dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang pelaksanaan UU no. 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan paragraf 2 (kegiatan usaha pemanfaatan kawasan  pada hutan lindung) pasal 24 ayat (1) kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung antara lain , meliputi: wana mina (silvofishery),  wana ternak (silvopastura), dan  tanam wana tani (agroforestry) dizinkan/diperbolehkan untuk kegiatan food estate, namun harus pemanfaatan kawasan hutan lindung untuk food estate harus memenuhi persyaratan dan ketentuan antara lain adalah : a) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya; b) pengolahan tanah terbatas; c) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; d) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan e) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam. Sementara dalam peraturan menteri tentang pembangunan food estate terintegrasi karena mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Ini disertai intervensi teknologi (benih, pemumpukan, tata air, mekanisasi, pemasaran dan lain-lain) dengan pola kerja hutan sosial. Peraturan menteri ini tidak sinkron dan sejalan dengan RPP, karena intervensi teknologi dengan menggunakan peralatan mekanis dan alat berat tidak diperbolehkan/diizinkan. Pengolahan tanah hanya dapat dilakukan secara terbatas.
Intervensi teknologi dengan menggunakan peralatan mekanis dan alat berat tidak diperbolehkan/diizinkan. Pengolahan tanah hanya dapat dilakukan secara terbatas.
Kelima, kegiatan perhutanan sosial dalam hutan lindung. Â Meskipun dalam UU Cipta Kerja no. 11/2020 dalam pasal 29A kegiatan perhutanan sosial diizinkan/dibolehkan dalam hutan lindung, namun dalam RPP bab VI Â tentang perhutanan sosial pasal 11 ayat (4) kegiatan perhutanan sosial pada hutan lindung hanya dapat diberikan pada kegiatan hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan desa (HD). Ketentuan lebih lanjut mengenai hutan desa dan hutan kemasyarakatan diatur oleh Peraturan Menteri (pasal 26 dan pasal 33). Sementara itu, ketentuan yang digunakan dalam kegiatan perhutanan sosial didasarkan pada peraturan menteri LHK no. P.83/2016 yang dalam beberapa hal (pasal maupun ayat) tidak sinkron dengan RPP sebagai regulasi yang menaungi diatasnya. Dalam hal ini apakah Permen LHK P.83/2016 Â masih relevan dan berlaku sekarang ?.
Benar juga, dugaan  beberapa kalangan, bahwa kawasan hutan lindung merupakan wilayah abu-abu (grey area), yang dapat dicadangkan untuk kegiatan apa saja (termasuk non kehutanan)  meski dengan ketentuan/ persyaratan lingkungan tertentu yang ketat dan hanya sebatas sebagai kedok saja untuk persyaratan administrtif formal diatas kertas. Sebagai sebuah ironi, Quo Vadis hutan lindung?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H