Rencana pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membangun sejumlah persemaian berskala besar untuk untuk memproduksi bibit pohon yang berdampak secara ekologi dan ekonomi, patut disambut gembira dan mendapat apresiasi.
Betapa tidak, satu lokasi persemaian di Rumpin, kabupaten Bogor yang seluas 128 ha mampu memproduksi bibit sebanyak kurang lebih 16 juta bibit setiap tahun, telah disiapkan mulai sekarang dan diharapkan tahun 2021 sudah selesai dan mulai berproduksi. Persemaian Rumpin dibangun dengan luas 128 hektare (ha).
Selain di Rumpin, persemaian juga akan dibangun di Kalimantan Timur (120 ha) untuk mendukung Ibu Kota Negara yang baru, serta di sekitar kawasan pariwisata Danau Toba, Sumatera Utara (37,25 ha), Labuan Bajo, NTT (30 ha), Mandalika, NTB (32,25 ha), dan Likupang, Sulawesi Utara (30,33 ha).
Nampaknya KLHK serius dalam mempersiapkan  sentra-sentra produksi bibit pohon, tidak hanya  dalam rangka memulihkan  kerusakan lingkungan dalam suatu kawasan DAS saja tetapi juga untuk mengantisipasi dampak dari bencana hidrometerologi (banjir dan tanah longsor) yang sering melanda Indonesia belakangan ini.
Selama ini kebutuhan bibit pohon dipenuhi dari pengada-pengada bibit pohon yang tumbuh subur sejak adannya gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL) beberapa tahun yang lalu dan dari persemaian permanen yang dibangun oleh  34 Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.
Sayangnya kapasitas persemaian permanen yang dibangun oleh BPDASHL hanya mempunyai kapasitas produksi 1-2 juta bibit pohon saja pertahun, sementara 6 (enam) lokasi persemaian berskala besar tersebut mampu memproduksi bibit pohon 10-16 juta setiap tahunnya.
Sebenarnya, keberhasilan penanaman pohon tidak sekedar ditentukan oleh pengelolaan persemaian/pembibitan pohon yang baik tetapi juga ditentukan oleh pengelolaan pengangkutan dan distribusi bibit, pengelolaan penanaman dan pemeliharaan pohon yang ditanam.
Oleh karena itu, dengan adanya pembangunan persemaian berskala besar tahun 2021 nanti, sudah barang tentu membawa dampak dalam pengelolaan proses pengelolaan penanaman bibit secara keseluruhan. Dampak yang dimaksud antara lain membawa konsekuensi-konsekuensi sebagai berikut :
Pertama, rencana lokasi penanaman harus dipersiapkan 'dengan matang satu tahun sebelumnya (t-1). Pengalaman pembangunan dan pemanfaatan persemaian permanen/modern  awal tahun 90' di Bone provinsi Sulsel membuktikan bahwa produksi bibit pohon yang kualitas cukup baik, tidak dapat dimanfaatkan dengan baik karena lokasi penanaman tidak dipersiapkan lebih dahulu sebelumnya.
Meskipun dibagi gratis kepada masyarakat, merekapun tidak mau karena jenisnya tidak sesuai dengan kemauannya. Bibit yang diinginkan adalah jenis multi purpose trees spesies (MPTS) seperti buah- buahan Akhirnya bibit pohon yang mempunyai kualitas baik tersebut dibuang dengan percuma.
Harus dipahami bahwa bibit pohon yang dipersiapkan dipersemian maksimal umur satu tahun harus segera dipindahkan dan ditanaman dilapangan. Bahkan untuk jenis jenis tertentu bibit pohon tidak boleh lebih dari umur 6 bulan harus segera dipindahkan dilokasi penanaman.Â
Kalau kadaluwarsa, bibit tanaman tersebut akarnya sudah besar dan bisa menembus kemana-kemana serta tidak efektif lagi bila ditanam karena biaya angkut semakin mahal.
Kedua, meskipun kebijakan untuk membangun persemaian berskala besar dilakukan dalam konsep yang utuh, meliputi pembangunan fisik produksi bibit, didukung oleh kebijakan kelembagaan sebagai persemaian nasional bahkan internasional, manajemen persemaian, serta peningkatan sumber daya manusia ahli benih dan bibit tanaman kehutanan, namun tanpa diimbangi dengan pengelolaan pengangkutan dan distribusi; penanaman dan pemeliharan tanaman yang baik, semuanya itu tidak ada artinya. Karena, sesungguhnya sekuen proses dari pembibitan, pengangkutan/distribusi, penamanan,dan pemeliharaan pohon adalah kegiatan yang menentukan keberhasilan penanaman pohon.
KLHK boleh saja mengklaim bahwa  produksi bibit yang dihasilkan nanti tahun 2021 sudah lebih dari cukup jumlahnya dengan kualitas yang baik karena dihasilkan dari kelola persemaian yang modern- hitung-hitungannya adalah dari persemaian permanen yang dihasilkan oleh  BPDASHL rata rata setiap tahun 2 juta bibit, maka 34 BPDASHL seluruh Indonesia mampu menghasilkan 68 juta batang bibit setiap tahun.
Sedangkan dari persemain permanen berskala besar yang akan dibangun anggap saja yang mampu menghasilkan  bibit 16 juta/tahun, 2 lokasi yaitu Rumpin Bogor dan Kalimantan Timur sedang 4 lainnya sesuai dengan luasnya mampu menghasilkan rata-rata 10 juta/tahun.
Jadi total bibit yang dapat diproduksi mulai tahun 2021 oleh KLHK ditaksir sebanyak 68 juta bibit dari BPDASHL dan 72 juta bibit dari persemaian berskala besar. Dan juga boleh mengklaim bahwa lahan kritis yang mampu ditanami dengan jumlah bibit 140 juta dan jarak tanam 2x3 m mampu menanami lahan hutan setara dengan luas kurang lebih 85.000 ha/tahun.
Sedangkan dengan jarak tanam 5x5m, mampu menanami lahan kritis diluar kawasan hutan setara dengan luas kurang lebih 280.000 ha/tahun. Namun, hitung-hitungan tersebut hanyalah diatas kertas semata, karena proses selanjutnya juga ikut menentukan keberhasilan dilapangan.
Ketiga, jarak angkut distribusi bibit dari lokasi persemaian kelokasi penanaman sangat menentukan dan mempunyai korelasi dengan  kesehatan bibit yang akan ditanam. Makin jauh jarak angkut distribusi bibit maka kesehatan bibit akan makin menurun kondisinya ( korelasi yang berbanding terbalik ). Di samping itu dari segi biaya, makin jauh jarak angkut akan semakin mahal biayanya (tidak efisien).
Menurut para ahli perbenihan dan pembibitan, jarak yang paling ideal dari persemaian kelokasi penanaman kurang lebih 5 km. Lebih dari jarak itu, kondisi dan kesehatan bibit rawan akan kerusakan akibat guncangan, penyesuaian agroklimat dan sebagainya.
Keempat, kegiatan penanaman dan pemeliharaan adalah sekuen tahapan kegiatan keberhasilan tanaman pohon hutan yang paling krusial.
Dalam suatu kesempatan Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), sesungguhnya telah ditingkatkan besaran luasnya. Sebelum tahun 2019 biasanya luas kegiatan RHL hanya sekitar 23 -- 25 ribu ha, maka pada tahun 2019, kegiatan RHL sudah mencapai 207 ribu ha.
Untuk tahun 2020 ini, kegiatan RHL diprediksi bisa lebih dari 403 ribu ha yang bisa ditanami setiap tahun. Melihat angka luasan RHL yang selalu meningkat setiap tahun , nampaknya memberikan harapan untuk mempercepat penurunan angka lahan kritis dan laju deforestasi di Indonesia. Namun tunggu dulu, kita perlu pemahaman yang sama tentang proses hidup dan keberhasilan menanam sampai dengan mencapai pohon dewasa.
Menurut, ilmu ekologi hutan untuk menjadi pohon dewasa, pohon mengalami proses metaformosa pertumbuhan dari mulai bibit/anakan/semai (seedling), sapihan (sapling), tiang/pohon muda (pole) dan pohon yang sesungguhnya (trees).
John Wyatt-Smith seorang ahli ekologi hutan dari Inggris (1963), mengklasifikasikan proses terjadinya pohon menjadi 4 (empat) tahapan yaitu a) seedling (semai) permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m  b) sapling (sapihan, pancang) permudaan yang tinggi 1,5 m dan lebih sampai pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm  c) pole (tiang) yaitu pohon pohon muda yang berdiameter 10 -- 35 cm. d) Trees (pohon dewasa), yang berdiameter diatas 35 cm. Untuk menjadi pohon dewasa dari bibit mulai ditanam membutuhkan waktu 15 -- 20 tahun.
Masalah yang dihadapi  Kementerian LHK sekarang adalah proses penanaman pohon terjadi hanya terbatas pada tahapan pertumbuhan anakan/semai dengan pemeliharaan selama dua tahun (umur pohon tiga tahun dihitung sejak ditanam). Bila bibit pohon ditanam dengan tinggi rata rata 50 -- 60 cm, maka pada usia tanaman umur tiga tahun, bibit masih dalam katagori seedling (tinggi belum mencapai 150 cm).
Proses pertumbuhan selanjutnya dari seedling, sapihan dan sampai ketahap pohon dewasa, diserahkan sepenuhnya kepada proses alam. Dalam kurun waktu yang demikian panjang mungkinkah anakan berhasil menjadi pohon dewasa, apabila penanaman dilakukan ala kadarnya?. KLHK masih saja berkutat dengan angka-angka target RHL yang seolah olah angka target tersebut dapat mengurangi atau menekan data lahan kritis maupun angka laju deforestasi.Â
Kegiatan RHL khususnya rehabilitasi hutan, seharusnya dikawal dan dijaga tidak hanya sebatas umur tiga tahun tetapi juga dirawat dan dipelihara sampai mencapai pohon dewasa. Untuk apa KLHK membentuk Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) di daerah sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kehutanan provinsi setempat kalau tidak mampu melakukan tugas itu.
Evaluasi keberhasilan kegiatan RHL , unit organisasi yang bertanggung jawab, penganggaran yang dibutuhkan perlu dilakukan secara menyeluruh agar kegiatan RHL yang telah dilakukan puluhan tahun tidak sia sia. Semoga.
PRAMONO DWI SUSETYO
Kompasiana, 28 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H