Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Filosofi Menanam Mangrove

12 November 2020   08:51 Diperbarui: 12 November 2020   08:57 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

FILOSOFI MENANAM MANGROVE

Indonesia beruntung mempunyai etalase formasi hutan yang lengkap dari mulai pantai sampai hutan hujan dataran tinggi. Tipe ekosistem hutan dari bawah adalah hutan pantai dan mangrove, hutan gambut, hutan tropika basah dataran rendah dan hutan tropika basah dataran tinggi. 

Terdapat dua ekosistem hutan yang unik yang selalu digenangi air walaupun karakteristiknya berbeda yaitu hutan mangrove dan gambut. Keduanya diklaim sebagai ekosistem yang mampu menyerap emisi karbon terbesar dibanding dengan hutan tropis lainnya. Mangrove diklaim dapat menyimpan karbon 3-5 kali lebih tinggi dari hutan tropis.  

Data terakhir 2019, luas tutupan mangrove Indonesia 3,56 juta ha, yang terdiri dari 2,37 juta ha dalam kondisi baik dan 1,19 juta ha yang rusak. Hutan sekunder mangrove mampu menyimpan karbon 54,1 -- 182,5 ton karbon setiap ha.

Belakangan ini kita baca dan dengar dimedia televisi maupun surat kabar tentang antusiasme masyarakat untuk menanam mangrove dipantai didaerahnya  masing masing. 

Kecenderungan ini perlu disambut dengan gembira karena kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup makin meningkat dikalangan masyarakat. 

Masalahnya adalah perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat luas bahwa mangrove hidup dipantai tetapi tidak semua pantai dapat ditanami mangrove. 

Sebagai orang yang cukup lama berkecimpung dibidang rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, khususnya rehabilitasi mangrove di P. Sulawesi dengan tempat yang berbeda-beda ( Teluk Kwandang, kab. Gorontalo Utara, provinsi Gorontalo, Tongke-Tongke Sinjai Timur, kab. Sinjai, provinsi Sulawesi Selatan dan kab. Muna, provinsi Sulawesi Tenggara), saya paham benar akan karakteristik dan habitat mangrove ini.

Peristiwa gempa bumi yang disusul dengan tsunami di Banda Aceh yang meluluh lantakkan sebagian besar pantai di provinsi DI Aceh tanggal 26 Desember 2004 sangat membekas untuk dilupakan. 

Untuk melindungi pantai di DI Aceh, Departemen Kehutanan dibawah MS Kaban waktu itu mempunyai gagasan untuk menaman mangrove disepanjang pantai yang terdampak tsunami, namun ide tersebut layu sebelum berkembang. Belakangan Departemen Kehutanan (sekarang KLHK) nampaknya menyadari bahwa tidak semua pantai diprovinsi DI Aceh dapat ditanami mangrove.

Silang pendapat tentang penanaman mangrove oleh LSM setempat dan pembuatan tanggul/talud oleh Kementerian PUPR di teluk Palu tidak perlu terjadi apabila memahami karakteristik tanaman mangrove ini. Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah terdapat sedimentasi (tanahnya berlumpur) , tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya  tergenang pada saat pasang pertama; tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya berkadar garam (bersalinitas) payau hingga asin.

Lembah Palu merupakan daerah yang mempunyai curah hujan kurang dari 1000 mm dan merupakan daerah yang mendapatkan curah hujan yang sangat rendah. 

Tipikal iklim menurut Schmidt Ferguson masuk dalam golongan antara E dan F termasuk daerah kering. Kondisi ini membuktikan bahwa pasokan air tawar keTeluk Palu relatif kurang dari sungai Palu. 

Dari penelitian para ahli mangrove yang mendapat bantuan dari Asian Development Bank (ADB), dari 4 (empat) provinsi yang ada di P. Sulawesi waktu itu, hanya Sulteng yang tidak mempunyai hutan mangrove yang dianggap bagus dan memadai. Hutan mangrove yang menjadi obyek penelitian ADB terdapat di 3 (tiga) daerah  yaitu provinsi Sulsel di Pasangkayu Kab. 

Mamuju (sekarang provinsi Sulbar), provinsi Sultra di P. Muna Kab. Muna dan provinsi Sulut di teluk Kwandang Kab. Gorontalo (sekarang provinsi Gorontalo). Ini merupakan indikator bahwa Teluk Palu kurang baik untuk habitat tanaman mangrove.

Contoh sukses story adalah seorang nelayan dari  desa Tongke Tongke di Sinjai Timur Kab. Sinjai Sulsel yang memperoleh hadiah penyelamat lingkungan berupa Kalpataru tahun  1995 oleh Presiden Soeharto.  

Thoyeb nama nelayan tersebut,  mampu menghijaukan berhektar hektar kampung halamannya dengan hutan mangrove dengan baik karena memahami karakteristik tanaman mangrove dan lingkungan tempat tinggalnya, sehingga desanya disebut surga mangrove dari Sulawesi Selatan . Dari  sekian banyak lokasi penanaman mangrove di Indonesia, barangkali Tongke Tongke inilah salah satu yang paling berhasil.

Mangrove hidup dipantai, tetapi tidak semua pantai dapat ditanami mangrove. Jenis-jenis seperti Soneratia sp, Avecenia sp dan Bruguera sp mendominasi kelompok hutan mangrove ini.

Rehabilitasi mangrove yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat secara mandari selama ini, dilakukan dengan cara menanam kembali dimaksudkan untuk mengembalikan dan memulihkan ekosistem mangrove yang telah rusak. 

Sayangnya, pemahaman masyarakat tentang habitat mangrove untuk ditanami dan pemilihan jenis tanaman mangrove masih belum sepenuhnya benar. 

Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah terdapat sedimentasi (tanahnya berlumpur)  tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya  tergenang pada saat pasang pertama; tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya berkadar garam (bersalinitas) payau  hingga asin. 

Dengan memahami tempat hidupnya, maka kesalahan pemilihan tempat atau lokasi penanaman mangrove dapat diminimalisir. Demikian halnya dalam pemilihan jenis tanaman mangrove. Jenis-jenis Bruguera sp merupakan jenis yang paling mudah ditemukan anakannya dan bijinya untuk ditanam, namun jenis ini bukan jenis yang langsung berhadapan dengan muka laut (lapis pertama) yang selalu tergenang langsung dengan air laut, sehingga apabila ditanam pada lapis pertama yang selalu tergenang air laut dipastikan bibit/anakan tidak akan tumbuh dengan baik dan akan mati. Oleh karena itu, dalam menanam jenis Bruguera ini perlu hati-hati jangan sampai terlalu jauh keluar mendekati permukaan laut. 

Disarankan untuk menanam pada tempat-tempat yang masih mengandung lumpur. Biasanya menanam mangrove yang ideal adalah dengan sistem jalur/strip yang sejajar pantai. Jarak antar jalur dapat 2-2,5 m, sedangkan jarak antar bibit dalan jalur adalah 0,5 m.

PRAMONO DWI SUSETYO

Kompasiana 12 November 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun