Bagi orang pertanian yang menggeluti bidang perkebunan, jarak tanam untuk tanaman perkebunan adalah hal yang biasa dilakukan dan tidak mempunyai implikasi apa-apa karena lahan yang dihadapi adalah lahan yang relatif datar dengan kemiringan dibawah 15 persen.Â
Luas lahan yang dihadapinya paling hanya ratusan hektare saja, kalau sampai ribuan hektare adalah kebun sawit yang pada umumnya lahan gambut dan topografinya juga datar.
Dalam lahan perkebunan, jarak tanam adalah pasti. Misalnya, kebun karet dengan jarak tanam 8x8m, sampai kapanpun jarak tanam ini tidak dirubah meskipun telah dilakukan kegiatan penyulaman. Tanaman perkebunan tidak ada yang namanya penjarangan (thinning).
Bagaimana dengan orang kehutanan yang menekuni dan bergelut dengan tanaman kehutanan?
Pertama, jarak tanam bagi orang kehutanan sampai akhir daur tanam tidak mengenal istilah jarak tanam yang pasti.
Dalam dunia tanam menanam (silvikultur) tanaman kehutanan mengenal adanya penjarangan (thinning) dan pemangkasan (pruning) pada umur-umur tertentu dari jenis pohon yang ditanam.
Maksud dari penjarangan ini adalah agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan sehat dan kualitas kayu yang lurus tanpa harus bersaing dengan yang lain.Â
Oleh karena itu dalam penjarangan juga dipilih pohon yang sehat dan baik untuk dibiarkan tumbuh. Sedangkan pohon yang pertumbuhannya jelek dan kurang sehat ditebang dan masuk dalam skema penjarangan.
Penjarangan dapat dilakukan dua sampai tiga kali dalam periode umur tertentu. Misalnya 6, 12, atau hingga 15 tahun tergantung jenis pohon yang ditanam.
Harus dipahami bahwa tanaman kehutanan mempunyai daur tanam (sampai masak tebang) membutuhkan waktu puluhan tahun. Pohon jati dapat mencapai daur 60-80 tahun.
Kedua, seringkali jarak tanam, tanaman kehutanan sifatnya semu bila dikaitkan dengan luas lahannya. Kenapa?
Lahan atau kawasan hutan yang ditanami kebanyakan topografinya miring sampai curam, kalau topografinya relatif datar biasanya luas tidak seberapa dibanding yang miring dan curam dengan kelerengan 30-100 persen.Â
Luas kawasan hutan yang ditanam dapat mencapai ratusan bahkan sampai ribuan hektare. Pengalaman saya selaku penanggung jawab (pemimpin proyek) rehabilitasi hutan seluas 9000ha di suatu provinsi di luar Jawa beberapa tahun silam saat aktif masih bekerja di Departemen Kehutanan (sekarang KLHK) membuktikan akan hal ini.
Meskipun telah dibantu oleh teknologi Global Positioning System (GPS) dan peta topografi yang paling mutakhir  sekalipun (pada waktu itu), serta pemetaan dengan alat plotter (bukan manual), ternyata deviasi yang diperoleh dari pengechekan dilapangan cukup signifikan. Batas luar lokasi di lapangan banyak ditemukan di atas air pada lembah-lembah yang mengalir sungainya.Â
Pada akhirnya, saya memutuskan bahwa hasil pemetaan GPS dan analisis peta topografi dan dituangkan dalam peta kerja dari hasil plotter sifatnya hanya pedoman atau panduan umum.
Sedang, peta yang dianggap sah dan final adalah peta gabungan antara panduan umum dengan hasil groundchek lapangan.
Masalah yang muncul di lapangan adalah bagaimana menghitung jumlah tanaman dalam satuan luas (ha) pada lahan dengan topografi datar dengan topografi miring. Sementara kita mendasarkan pada peta kerja yang bidang permukaannya dengan luas 9000ha bersifat datar?
Pertanyaan pelaksana penanaman di lapangan masuk akal dan mendasar. Luas satu hektare lahan hutan berbentuk datar dengan satu hektare lahan hutan yang mempunyai kemiringan 100 persen (kemiringan 45) akan jauh berbeda apabila disajikan dalam peta kerja. Jangan-jangan bibit yang jumlahnya sudah dihitung dengan baik dan cukup sesuai dengan luas dilapangan tidak mencukupi untuk ditanam sesuai dengan peta kerja yang ada.
Benar juga, setelah dilakukan pengkajian lebih jauh dan saksama, ternyata jarak tanam di lapangan, apabila diangkat dan disajikan ke dalam peta kerja, menjadi semu dan menyesatkan karena jumlah bibit yang telah disiapkan pasti akan menyusut luasnya apabila diplot di atas peta kerja yang telah diikat titik-titik batas luarnya dengan GPS.
Penjelasannya adalah mari kita komparasi antara lahan datar dan lahan dengan kemiringan 100 persen dengan luas yang sama, yakni satu hektare. Dengan jarak tanam 3x2m, lahan datar luas satu hektare (100x100m) berisi 1650 bibit tanaman.
Sedangkan pada lahan kemiringan 100 persen, berisi dengan jumlah yang sama 1650 bibit tanaman, namun bila disajikan dalam peta kerja hanya menempati luas 4900m2 (70x70m) saja.Â
Dengan hukum phytagoras segitiga siku-siku sama kaki, dapat diketahui bahwa lahan yang ditanami adalah sisi miring dengan panjang dan lebar 100x100m, sedangkan sisi siku sikunya bila dihitung dengan rumus phytagoras hanya sekitar 70x70m, itulah yang nampak tersaji dalam peta kerja dan membuat luasnya menjadi menyusut diatas peta.Â
Begitu pula yang terjadi dengan lahan-lahan lainnya yang kemiringannya dibawah 100 persen, tentu dapat pula dihitung dengan rumus yang sama dengan penyusutan yang tidak seekstrem kemiringan 100 persen. Ini yang saya sebut dengan jarak tanam semu dan menyesatkan. Mengingat bahwa dana yang digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan ini dibiayai oleh anggaran pemerintah.
Karenanya, realisasi kegiatan dan keuangan harus dipertanggungjawabkan melalui mekanisme audit yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada akhir kegiatan penanaman.
Maka, untuk memperkuat administrasi secara teknis tentang jarak tanam ini, dalam dokumen perencanaan yang dilengkapi dengan peta kerja dibuat secara detil (rigid), agar tidak ada celah lagi untuk ditafsirkan yang lain.
Dalam dokumen perencanaan, dijelaskan bahwa dengan luas 9000ha, dengan jarak tanam 3x2m, satu hektare membutuhkan bibit sebanyak 1650 batang.
Dengan demikian, jumlah bibit yang harus tersedia sebanyak 17.820.000 batang bibit (14.850.000 bibit untuk ditanam dan 2.970.000 bibit untuk penyulaman sebanyak 20 persen).
Namun dalam teknis penanamannya dijelaskan bahwa penanaman dilakukan dengan jarak tanam 2x3m dan/ dalam satu hektare di lapangan bermuatan bibit penamanam sebanyak 1650 batang bibit. Penjelasan muatan bibit penanaman di lapangan sebanyak 1650 batang bibit/ha adalah untuk mengantisipasi penyusutan luas di atas peta kerja yang dipersoalkan di atas.
Sewaktu saya diperiksa oleh Itjen Departemen Kehutanan dan aparat BPKP pusat, mereka dapat menerima penjelasan ini dan dinyatakan clean and clear. Memang tidak mudah untuk menjelaskannya, namun semua dapat diurai dengan baik dengan menggunakan akal pikiran dan logika yang sehat.
Pengalaman yang sangat berharga dalam bekerja dilapangan dan tidak pernah dipelajari teori apalagi praktek dalam bangku kuliah di perguruan tinggi.
PRAMONO DWI SUSETYO
Kompasiana, 4 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H