KREDIBILITAS SEBUAH GELAR
Seorang jaksa Pinangki Sirna Kumalasari, yang kini menjadi terkenal seantero Indonesia karena ulahnya yang menerima  gratifikasi dari terpidana kasus hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra, ternyata mempunyai latar belakang pendidikan yang mumpuni. Sarjana strata satunya (S1) , diselesaikan di Universitas Ibnu Chaldun Bogor.Â
Sedangkan S2 dilanjutkan di UI dan S3 diselesaikan di Universitas Pajajaran dengan predikat cum laude (terbaik). Sayang, gelar pendidikan yang begitu banyak dan lengkap itu, tidak dimbangi dengan prestasinya dipekerjaan, malah dimanfaatkan untuk tindakan yang tidak terpuji.
Sejak dahulu, gelar S2 dan S3 itu lebih banyak ditemukan dilingkungan pendidikan khususnya perguruan tinggi dan dunia penelitan baik di Lembaga Penelitan seperti LIPI maupun Badan Penelitian dari Kementerian dan Lembaga. Kalau seseorang telah memenuhi syarat kepangkatan dan keahlian biasanya dapat tambahan gelar guru besar (professor) untuk perguruan tinggi dan professor riset untuk peneliti.Â
Dizaman now atau era millennial sekarang, banyak anak-anak muda yang telah bergelar S2, S3 baik didalam negeri maupun diluar negeri dan itu pertanda baik bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia mampu mengejar ketertinggalan dalam dunia pendidikan. Makin banyak orang Indonesia yang berpendidikan baik (well educated), makin sejahtera pula bangsa Indonesia.Â
Malah sekarang lagi "trend" dikalangan birokrasi pemerintahan, ramai ramai mengejar gelar S2, S3 untuk menaikkan gengsi/citra yang bersangkutan. Dari mulai PNS/ASN (Kasi seperti Pinangki, Â Kabag, Kapus/Direktur, Dirjen/Sekjen) Camat, Bupati, Kepala Dinas, Gubernur, Anggota DPR, DPRD dan bahkan setingkat Kepala Desa atau Lurah sekalipun. Dilingkungan anggota TNI/Polri, juga banyak yang bergelar S2, dan S3. Seperti Kasad (Jenderal Andika Perkasa), Mantan Kapolri Tito Karnavian yang sekarang menjadi Mendagri dan yang lainnya.
Dari satu sisi, fenomena keinginan terus belajar meskipun sudah bekerja sangat baik untuk meningkatkan kompetensi, kapasitas dan wawasan seseorang dalam bekerja, namun disisi lain, penyebutan nama gelar S2 apalagi S3 dibelakang namanya dalam birokrasi pemerintahan kadang malah menimbulkan keanehan.Â
Betapa tidak, seorang sarjana hukum baik S1 maupun S2, diangkat dalam jabatan teknis Kadis Kehutanan disuatu provinsi, bagaimana gelar yang ditulis dibelakang namanya bisa berguna dan bermanfaat untuk pekerjaannya. Ini pernah terjadi di provinsi Riau pada era otonomi daerah dan era reformasi.
Saya mempunyai pendapat dan menyarankan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, agar pemakaian gelar-gelar pendidikan ini sebaiknya ditertibkan dan diseragamkan saja agar tidak rancu dan membingungkan. Usul saya gelar S2 dan S3, boleh dicantumkan didepan maupun dibelakang namanya, hanya pada lingkungan pendidikan khususnya perguruan tinggi dan dunia penelitian, karena dengan melihat gelarnya itulah mencirikan kepakarannya.Â
Sedangkan untuk lingkungan birokrasi dan praktisi , kalau gelar itu perlu dicantumkan cukuplah S1 saja atau tidak usah sama sekali. Kalau ingin lihat gelar seseorang cukup dilihat diriwayat pendidikannya. Toh bagi praktisi birokrasi gelar S2, S3 tidak merubah jabatan sesorang dengan tiba tiba, karena karier seorang juga harus ditempuh lewat anak tangga secara berjenjang.Â
Seorang lurah di wilayah DKI mencantumkan nama dan gelarnya diatas pintu kerja misalnya Dr. Badu Polan SH, MSi. Â Tindakan seperti ini, tidak diperlukan bukan ? dan untuk apa, karena tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya dan kinerjanya sebagai lurah.
PRAMONO DWI SUSETYO
Kompasiana, 27 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H