Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menikmati Masa Lanjut Usia

18 Juni 2020   09:50 Diperbarui: 18 Juni 2020   09:52 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MENIKMATI MASA LANJUT USIA

Banyak orang menganggap bahwa masa lanjut usia adalah masa setelah-kita utamanya sebagai kepala keluarga-memasuki usia pensiun. Untuk aparatur negara sipil maupun militer usia antara 58 -- 60 tahun. Sedangkan untuk pekerja swasta biasanya menginjak usia 56 tahun. Biasanya menginjak usia pensiun, setiap orang akan berbeda beda menyikapinya, yang jelas ada dua hal yang akan terjadi. 

Yang pertama, kesibukan kita sebagai pekerja/karyawan akan berkurang banyak, konsekuensinya adalah pendapatan/penghasilan kita akan berkurang/menurun drastis. Kedua kondisi kesehatan kita sebagai manusia, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau akan menurun juga secara alamiah seiring dengan bertambahnya usia. Orang sekarang menyebut faktor U2 yaitu uang dan umur/usia.

Sebagai orang yang menginjak usia 62 tahun yang memiliki 3 (tiga) orang putri dan telah memiliki seorang cucu berusia 5 ( lima ) tahun serta telah menikmati usia pensiun menginjak 4 (empat) tahun, izinkan saya membagi pengalaman (sharing) menikmati masa lanjut usia tanpa harus memikirkan keterbatasan penghasilan (bersandar dari uang pensiun), dan tetek bengek lainnya yang kadang dapat menimbulkan stress berkepanjangan.

Bercermin dari nasehat orang tua saya sendiri yang mempunyai anak cukup banyak yakni 9 (sembilan) orang, saya jadi mengamini benar nasihat itu, meski orang tua hanya berpendidikan SD (bapak) dan SLTP (ibu). Nasehatnya singkat dan sederhana, didiklah anak anakmu nanti kalau sudah berumah tangga, dengan pendidikan/sekolah/kuliah yang baik, syukur syukur yang terbaik. Oleh karena itu, sebelum anak anakmu kuliah, usahakan lebih dahulu punya rumah biarpun kecil, sehingga sewaktu anak anakmu kuliah, kamu tidak pusing memikirkan lagi tempat tinggal dan kamu dapat fokus untuk memikirkan biaya kuliahnya yang jumlahnya tidak sedikit. 

Dan ajarkan anak anakmu untuk struggle for life, fight dan mempunyai jiwa kompetitor dalam hidup. Pasti kamu tidk akan menyesal apabila nanti sudah pensiun dan memasuki usia lanjut usia. Saya berfikir kenapa orang tua yang tidak sempat mengecam pendidikan tinggi, punya pemikiran visioner jauh kedepan padahal waktu itu saya masih duduk dibangku SMA. Meskipun nasehat ini ditujukan untuk calon cucu cucunya.

Namun secara tidak langsung juga nasehat untuk anak anaknya termasuk saya, supaya anak anaknya bekerja keras, belajar keras untuk dapat mengubah nasib hidupnya lebih baik dibanding kedua orang tuanya. Benar juga, kata orang tua, setelah nanti telah bekerja ,berumah tangga, dan punya anak, saya tidak mau setelah pensiun nanti masih bekerja keras mencari uang untuk membiayai sekolah atau kuliah anak anaknya seperti bapak. Saya bisa memahami karena orang tua mempunyai anak sangat banyak untuk ukuran orang sekarang.

Setelah lulus kuliah dari IPB Bogor, saya berpikir keras bagaimana caranya melaksanakan amanat orang tua seperti itu. Satu satunya jalan setelah mendapat pekerjaan adalah, hidup ini nampaknya harus dapat direncanakan dengan baik, kapan menikah, berapa jumlah anak, umur berapa harus punya rumah, dimana anak anak harus kuliah dan bersekolah dan seterusnya yang ujungnya adalah masuk usia pensiun sudah tidak mempunyai tanggungan lagi untuk membiayai kuliah anak anak syukur syukur pada saat itu pula mereka sudah mempunyai pekerjaan tetap dan penghasilan tetap. Inilah yang mungkin disebut alih generasi yang berjalan mulus.

Tahapan tahapan hidup itulah yang coba saya jalani. Lulus kuliah tahun 1981, diterima kerja sebagai CPNS di Kementerian Pertanian (dulu Departemen Pertanian) tahun 1982 di Manado Sulawesi Utara.  Di Manado ini saya ketemu jodoh mahasiswi Fakultas Pertanian Unsrat dan  menikah muda menjelang umur 26 tahun pada tahun 1984 dan punya anak pertama tahun 1985. Memang pada awal berumah tangga, menjalani hidup cukup berat, gaji sebagai PNS pas-pasan untuk sementara tinggal numpang sama mertua dulu.  

Sementara istri masih melanjutkan kuliah sambil mengasuh anak. Penghasilan setiap bulan benar benar diatur dan diprioritaskan dulu untuk beli susu anak dan biaya kuliah istri agar bisa selesai kuliahnya. Boro boro, mikir kredit/beli rumah, untuk sementara pikiran itu dibuang jauh jauh. Fokus dulu di pekerjaan dan banyak belajar bekerja dikantor agar nanti dapat diberi tanggung jawab yang lebih besar lagi.

Tahun 1985, saya diberi kepercayaan mengelola proyek sebagai pemimpin proyek dari kantor oleh pimpinan kantor sebagai awal dari tanggung jawab dan pembelajaran yang lebih besar lagi sekaligus menambah penghasilan/pendapatan berupa honor proyek dan lain lain yang merupakan berkah dan rezeki tersendiri bagi anak dalam proses tumbuh kembangnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun