Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tutupan Hutan (Forest Coverage)

18 April 2020   11:05 Diperbarui: 18 April 2020   11:03 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kawan saya yang belum lama ini  pulang dari Billings kota terbesar, dinegara bagian Montana, Amerika Serikat, bercerita banyak tentang hutan ekalyptus (vegetasi berdaun jarum) yang tertata rapi dan sangat dijaga oleh warga Montana. Warga sangat sadar tentang fungsi hutan yang menjaga keseimbangan ekologis serta menjaga ketersediaan  air pada musim kemarau.

Sebagai teman, saya tertawa saja mendengar ceritanya itu, padahal dalam hati saya membatin bahwa dia (kawan saya) lupa atau belum sadar kalau hutan terbaik adalah hutan tropika basah yang vegetasinya berdaun lebar yang sangat luas dimiliki negaranya, Indonesia. Sebuah penelitian mengatakan, hutan dengan pohon berdaun jarum mampu membuat 60 persen air hujan terserap tanah.

Sedangkan, hutan dengan pohon berdaun lebar mampu membuat 80 persen air hujan terserap tanah. Makin rapat pohon yang ada dan makin berlapis lapis strata tajuknya makin tinggi pula air hujan yang terserap kedalam tanah bahkan hampir 100 % air hujan terserap tanah.

Tutupan hutan dapat diartikan sebagai kawasan hutan yang secara nyata dilapangan masih ditemukan vegetasi kayu kayuan yang hidup didalamnya. Bahasa hukumnya disebut kawasan hutan secara defacto, sementara secara dejure adalah kawasan hutan yang secara hukum dinyatakan dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan tidak peduli apakah masih terdapat atau tidak tutupan hutannya (forest coverage).

Undang undang no.41 tahun 1999 tentang kehutanan pasal pasal 18 ayat (2) menegaskan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan untuk kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan (forest coverage ) minimal 30 persen dari luas DAS dan atau pulau dengan  sebaran yang proporsional.

Dalam prakteknya, untuk daerah yang berpenduduk padat seperti di P Jawa, ketentuan ini tidak dijalankan dan diberlakukan. Penutupan hutannya jauh dibawah angka 30 persen. Sebut DAS Solo yang membentang dari Jateng dan sebagian Jatim, luas penutupan hutannya tersisa 4 persen dan DAS Ciliwung tinggal 8,9 persen saja.

Sampai dengan tahun 2020, Indonesia secara dejure mempunyai hutan seluas 125,2 juta ha, yang terdiri dari hutan konservasi mencapai luas 27,3 juta ha , hutan lindung 29,5 juta, 29,1 juta ha hutan produksi tetap, 26,7 juta ha hutan produksi terbatas dan 12,8 juta ha hutan produksi yang dapat dikonversi untuk kebutuhan pembangunan.

Secara defacto, tutupan hutan yang masih tersisa adalah luas total Indonesia secara dejure 125,2 juta ha dikurangi dengan akumulasi luas degradasi dan deforestasi hutan yang terjadi sepanjang tahun yang belum mampu dihentikan maupun rehabilitasi pemerintah hingga sekarang.

Data tahun 2018, luas lahan kritis di Indonesia 14 juta ha dan akan bertambah setiap tahunnya meskipun laju deforestasi dapat ditekan dan menurun setiap tahunnya. Indonesia mencatatkan laju penurunan deforestasi dari 1,92 juta hektare (ha) pada kurun waktu 2014-2015 menjadi 0,48 juta ha pada 2016-2017 dan sebesar 0,44 juta ha pada tahun 2017-2018.

Indonesia pernah mengalami kehilangan tutupan hutan besar besaran pada era orde baru dan era pemerintahan presiden SBY, akibat dari alih fungsi lahan hutan untuk kepentingan lain seperti pertanian, perkebunan, transmigrasi, pemukiman dan sebagainya.

Demi dan atas nama pembangunan, sejak rezim orde baru sampai dengan era reformasi sekarang alih fungsi lahan hutan telah mencapai 6,7 juta ha. KLHK mencatat, pada era Soeharto sebesar 3, 4 juta ha dan era SBY 2,2 juta ha era presiden lainnya dibawah satu juta ha.

Namun yang agak mengherankan adalah pemerintah dalam hal ini KLHK mengklaim adanya tutupan hutan yang masih ada meskipun secara dejure bukan dalam kawasan hutan. Tutupan hutan diluar kawasan hutan  didapat dan terletak pada areal penggunaan lain (APL).

Meski bukan kawasan hutan, ternyata 12% diantaranya masih memiliki tutupan hutan luasnya 7,9 juta ha. Aneh tapi nyata, bagaimana bisa sementara kawasan hutannya yang secara dejure telah ditetapkan saja sulit untuk dipertahankan dan dijaga tutupan hutannya dari degradasi maupun deforestasi, baik hutan konservasi, hutan lindung apalagi hutan produksi, malah ini mengklaim tutupan hutan dari APL yang jelas jelas menjadi kewenangan dan otoritas pemerintah daerah untuk dapat digunakan untuk kepentingan apa saja.

Kalau memang APL seluas 7,9 juta ha harus dipertahankan sebagai tutupan hutan, tetapkan saja sebagai kawasan hutan secara dejure dengan menggunakan perangkat regulasi yang ada (undang undang, perpu dan sebagainya), sebagaimana perpu kawasan tambang dalam kawasan hutan diera pemerintahan presiden  Megawati dulu. Mengapa tidak. Bravo KLHK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun