Untuk dan atas nama pembangunan, pemerintah orde baru tahun 1995 membangun Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kabupaten Kuala Kapuas, Provinsi Kalteng. Tujuannya mulia yaitu menyediakan lahan pertanian baru untuk mendukung swasembada pangan khususnya beras, namun karena salah kelola, proyek ini dinyatakan gagal total pada awal era reformasi 1998.
Lahan gambut terbukti tidak cocok untuk tanaman padi. Sebagian besar keluarga transmigran yang dahulu ditempatkan  dikawasan tersebut meninggalkan lokasi. Dampaknya luar biasa, fungsi " spon" ekosistem hutan gambut yang mampu menyimpan air pada musim hujan, dan tetap basah pada musim kemarau sehingga jarang terjadi kebakaran : telah hilang. Lagi lagi bencana ekologis, banjir dan kekeringan silih berganti. Potensi dan sumber kebakaran yang memproduksi asap pada umumnya berasal dari lahan gambut yang semacam ini.
Untuk memulihkan hutan gambut seperti semula dari ex PLG,  rasanya sulit dan membutuhkan waktu puluhan tahun. Pemulihan gambut dilakukan dengan empat cara : rehabilitasi, suksesi alami, restorasi dan cara lain  yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Rehabilitasi yang diartikan sebagai revegetasi adalah cara yang paling sulit memulihkan gambut.
Rekomendasi IPB, 1999 telah diuji coba pembuatan petak penanaman pada beberapa lokasi dengan jenis lokal gelam (Melaleuca leucadendron) , hasilnya gagal. Pembibitan dari anakan maupun biji  sulit  dilakukan. Faktor hidrologi yang ekstrem pada daerah ex PLG sulit dikendalikan. Musim hujan, air melimpah dan menggenang dimana mana sehingga anakan vegetasi jenis lokal banyak tergenang yang mengakibatkan menghambat pertumbuhan bahkan membuat anakan menjadi mati. Musim kemarau praktis tidak ada air,  semak belukar yang tersisa menjadi mudah terbakar.
Cara yang paling mudah dalam pemulihan gambut adalah dengan suksesi alami karena proses pemulihannya diserahkan kepada alam. Suksesi alami dilakukan terhadap ekosistem gambut berkanal yang telah bersekat dan tidak terdapat gangguan dari aktivitas manusia. Namun cara ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk membantu mempercepat proses pemulihan gambut, restorasi adalah cara yang paling logis dan masuk akal.
Kegiatan restorasi dilakukan untuk menjadikan ekosistem gambut atau bagian bagainnya berfungsi kembali sebagaimana semula, melalui pembangunan infrastruktur pembasahan kembali gambut yang meliputi bangunan air, penampungan air, penimbunan kanal dan atau pemompaan air. Bangunan air yang dimaksud adalah sekat kanal, embung dan bangunan air lainnya. Salah satu indikator keberhasilan restorasi gambut adalah apabila jumlah titik api (hot spot) sumber kebakaran hutan berkurang dibanding dengan sebelum dilakukan kegiatan restorasi.
Melihat tingkat kesulitan dalam melakukan kegiatan pemulihan gambut ini, dapat dimaklumi apabila tahun 2016, pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) bukan Badan Rehabilitasi  Gambut. Hasil kerja BRG akan dapat dilihat pada akhir tahun 2020, yang mengatur dan memfasilitasi restorasi  2 juta hektar lahan gambut di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
Pramono DS
Pensiunan Rimbawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H