2) Melakukan pengamanan kawasan secara efektif,Â
3) Perlindungan termasuk didalamnya perlindungan  ekosistem essensial yaitu  ekosistem karst, lahan basah (danau, sungai, rawa, payau dan wilayah pasang surut yang tidak lebih dari 6 meter), mangrove, dan gambut yang berada di luar KSA dan KPA.
Salah satu KPA yang mudah dibobol dan dijarah oleh manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab adalah taman nasional (TN). Sebut saja Taman Nasional Kerinci Sebelat di Sumatera, Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan, dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di Sulawesi.
Kasus yang telah berlangsung bertahun-tahun, pada umumnya berupa illegal logging, illegal mining, perambahan hutan untuk kebun, perburuan satwa liar, pemukiman dan sebagainya.Â
Meskipun pihak taman nasional telah mencoba menyelesaikan kasus tersebut, namun penanganannya  masih bersifat parsial dan tidak permanen sehingga beberapa tahun kemudian kasus semacam ini berulang kembali.
Terdapat kecenderungan bahwa kerusakan lingkungan dalam kawasan taman nasional semakin tahun makin bertambah besar dengan skala yang lebih luas.Â
Ibarat seorang petinju yang sedang berlaga diatas ring, agar tidak jatuh dipukul lawan, petinju ini bertahan dan bersandar ditali ring sampai dengan ronde terakhir.Â
Demikian halnya, nasib taman nasional hanya bertahan saja agar  kerusakan kawasannya dapat diminimalisir tanpa ada upaya mencegah atau menghalanginya.
Harus diakui bahwa terdapat beberapa kelemahan didalam pengelolaan taman nasional ini. Pertama adalah luasnya taman nasional yang dijaga dan diawasi tidak sebanding dengan jumlah petugas Taman Nasional yang ada.Â
Rata-rata luas taman nasional diatas 100.000 ha bahkan terdapat taman nasional yang mempunyai luas diatas 1000.000 ha. Sementara itu, petugas jagawana hanya berkisar 100 -125 orang setiap taman nasional.Â
Idealnya satu orang petugas jagawana secara efektif menjaga dan mengawasi 200-250 ha. Oleh karena itu, taman nasional dengan luas 100.000 ha, membutuhkan petugas jagawana minimal 500 orang.Â