Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Solusi Cerdas Pengendalian Banjir Jakarta

14 Januari 2020   20:30 Diperbarui: 17 April 2020   17:21 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Pramono DS (Pensiunan Rimbawan)

Banjir di Jabodetabek pada awal tahun ini yang sangat mengagetkan semua kalangan termasuk presiden Jokowi, memberikan pelajaran berharga bahwa menjaga  lingkungan itu penting bagi kita semua tanpa kecuali. 

Tuhan telah mengatur dengan baik bumi ini dengan mekanisme keseimbangan lingkungan. Salah satu unsur atau elemen lingkungan tersebut terganggu maka akan terganggu pula unsur yang lain. 

Sepanjang daya dukung lingkungannya masih belum terlampaui, dampaknya masih belum dapat dirasakan oleh manusia, namun beban atau tekanan itu telah melampaui ambang batas daya dukung lingkungannya, maka dampak kerusakan lingkungan jelas akan dirasakan oleh manusia.

Contoh konkret adalah banjir besar yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada tahun baru tanggal 1 Januari 2020 kemarin. Dengan intensitas curah hujan harian yang ekstrem (377 mm) yang menurut Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tergolong hujan lebat dan sangat lebat (> 300 mm), jelas diluar perkiraan masyarakat Jakarta dan sekitarnya . 

Secara empiris, curah hujan pada tahun ini disebut sebagai yang tertinggi sejak 154 tahun yang lalu. Dari pengukuran meteorologi tercatat pertama kali zaman Belanda tahun 1866,hujan tertinggi tahun 1866 hanya 185,1 mm/hari. Catatan curah hujan terkait banjir besar di Jakarta dari tahun-tahun sebelumnya adalah sebagai berikut ini ;1866: 185,1 mm/hari, 1918: 125,2 mm/hari, 1979: 198 mm/hari, 1996: 216 mm/hari, 2002: 168 mm/hari, 2007: 340 mm/hari, 2008: 250 mm/hari, 2013: > 100m m/hari, 2015: 277 mm/hari, 2016: 100-150 mm/hari, 2020: 377 mm/hari. 

Ditambah lagi dengan pengelolaan lingkungan DAS Ciliwung dan 12 DAS lainnya yang sangat buruk dan pemeliharaan drainase yang kurang maksimal, serta kebijakan penataan ruang yang kurang tegas memperparah bencana banjir yang terjadi.

Silang pendapat antara Menteri PUPR dan Gubernur Jakarta tentang normalisasi dan naturalisasi bantara sungai Ciliwung di Jakarta beberapa hari terakhir ini, yang menyebabkan presiden Jokowi turun tangan, sangat tidak menguntungkan bagi warga Jakarta, penyitas korban banjir. 

Warga tidak membutuhkan diskursus dan debat yang tidak berkesudahan , yang dibutuhkan sekarang bagi warga adalah bagaimana mengatasi bencana banjir ini, atau setidak tidaknya meminimalisir dampak banjir untuk tahun tahun yang akan datang dengan ekskusi kebijakan dan aksi nyata yang dapat dilihat dan dirasakankan manfaatnya untuk masyarakat banyak. Itu  saja. 

Caranya dan bagaimana besaran anggarannya dan siapa penangung jawabnya terserah kebijakan pemerintah (pusat dan daerah).

Eksisting DAS Ciliwung

Pendekatan daerah aliran sungai (DAS) adalah pendekatan yang sangat tepat dalam menanggulangi banjir seperti wialayah Jakarta dan sekitarnya. DAS Ciliwiung dan 12 DAS lainnya yang bermuara di Jakarta tidak membutuhkan batas administratif atau batas kewilayahan suatu daerah karena sebagai tampungan air hujan yang jatuh pada daerah tangkatan air  diatasnya pasti akan mengalir kesungai dan pada akhirnya bermuara kelaut. Yang mesti diperhatikan dalam penanggulangan banjir adalah daerah hulu, tengah , hilir dan daerah tangkapan airnya dihulu. 

Untuk mengetahui suatu DAS disebut baik atau sehat, perlu dipahami parameter ilmiah para ahli yang telah diuji kesahihnya dan dituangkan dalam regulasi dan peraturan perundangan yang telah ada dan dibuat selama ini. DAS yang dapat mengakibatkan banjir apabila rasio (perbandingan)  debit air maksimun pada musim hujan dan debit air minimum pada musim kemarau angkanya lebih besar 40. 

Sementara itu, dalam UU no. 41/1999 tentang kehutanan pasal 18 ayat (2) menegaskan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan untuk kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan (forest coverage ) minimal 30 persen dari luas DAS dan atau pulau dengan  sebaran yang proporsional.  DAS hulu Ciliwung merupakan Kawasan Strategis Nasional dan sekaligus sebagai kawasan lindung. 

Penetapan ini tertuang dalam PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional. Kawasan lindung (selain kawasan bergambut dan kawasan resapan air) yang memberikan perlindungan terhadap kawasan dibawahnya adalah kawasan hutan lindung. Disamping itu, kawasan lindung lain yang berada di hulu DAS Ciliwung adalah Cagar Alam dan Taman Wisata Telaga Warna 368 ha dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 1.869 ha.

Sebut saja DAS Ciliwung yang sangat berpengaruh terhadap kondisi banjir di Jakarta. Tiga daerah yang perlu mendapat perhatian lebih adalah Puncak dan sekitarnya dikabupaten Bogor sebagai daerah hulu, daerah kota Depok dan sekitarnya daerah tengah dan Jakarta sebagai daerah hilir. Bagaimana kondisi ketiga daerah tersebut saat ini (eksisting) ?  

DAS Ciliwung seluas 34.700 ha merupakan salah satu DAS yang mencakup dua wilayah provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta dan melintasi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok dan Kota Jakarta, dan bermuara di teluk Jakarta. Panjang sungai utama Sungai Ciliwung 117 km .

DAS Ciliwung hulu seluas 14.860 ha, secara administratif DAS Ciliwung hulu mencakup 30 desa di Kabupaten Bogor yaitu 2 desa (Kecamatan Sukaraja), 7 desa (Kecamatan Ciawi), 10 desa (Kecamatan Cisarua), 11 desa (Kecamatan Megamendung) dan 1 desa di Kecamatan Kota Bogor Timur. 

DAS Ciliwung hulu seluas 14.860 ha terdiri dari 6 sub-DAS yaitu : a) Sub DAS Ciesek seluas 2.504,76 ha (16,86%) terletak di Kecamatan Megamendung dan Cisarua b) Sub DAS Ciliwung Hulu seluas 5.885,78 ha (39,61%) terletak di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua c) Sub DAS Cibogo seluas 1.375,40 ha (9,26%) terletak di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua d) Sub DAS Cisarua seluas 2.218,92 ha (14,92%) terletak di Kecamatan Cisarua e) Sub DAS Cisukabirus seluas 1.696,91 ha (11,42%) terletak di Kecamatan Ciawi dan Megemendung f) Sub DAS Ciseuseupan seluas 1.178,23 ha (7,93%) terletak di Kecamatan Ciawi dan Megamendung.

Sebaran topografi DAS Ciliwung hulu didominasi oleh datar (32,95 %), bergelombang (25,19%), sangat curam (16,12%) curam (13,14), landai (12,60). Berdasarkan sistem klasifikasi Smith dan Ferguson yang didasarkan pada intensitas curah hujan. yaitu bulan basah (>200 mm) dan bulan kering (<100 mm) adalah termasuk Tipe Iklim A. 

Berdasarkan debit air Sungai Ciliwung tahun 1989 -2009 rata rata rasio debit air maks dan debit air min adalah sebesar 151,64. Q maks/Q min tertinggi dicapai pada tahun 1998 yaitu sebesar 253,22 sedangkan Q maks/Q min terendah pada tahun 2008 yaitu sebesar 11, 59.

Sebagai daerah tangkapan air (catcment area) yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekologis bagi daerah dibawahnya (daerah tengah dan hilir), daerah hulu DAS Ciliwung telah mengalami degradasi dan alih fungsi lahan yang sangat masif terutama peruntukan kawasan hutan maupun penutupan hutannya (forest coverage). 

Tahun 1981, kawasan hutan hulu DAS Ciliwung masih berkisar 29,96 % dan menyusut menjadi 21,07 % pada tahun 1990 dan data yang terbaru luas kawasan hutannya kini tinggal 8,9 % saja. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, hulu Ciliwung memang terus-menerus dieksploitasi. Pada 2009 ada 879,81 ha hutan lindung justru menjadi perkebunan; 337,61 ha hutan konservasi juga menjadi perkebunan; 322,37 ha hutan lindung menjadi tegalan; dan 53,67 ha hutan konservasi juga berubah jadi tegalan. 

Deforestasi di Puncak, kawasan Gunung Pangrango, menurut Forest Watch Indonesia, telah mencapai 66 kali luas Kebun Raya Bogor.

Sub DAS bagian tengah, aliran Sungai Ciliwung melintasi wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede, dan Cimanggis), Kota Bogor (Bogor Timur, Bogor Utara, dan Tanah Sereal) dan Kota Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya, dan Beji). Sejak zaman kolonial Belanda , Sub DAS bagian tengah Ciliwung ini dilindung dengan adanya kawasan resapan berupa pembangunan banyak situ (danau) untuk mengendalikan banjir didaerah hulunya.  

Situ yang berfungsi sebagai kawasan lindung berperan untuk menahan limpasan air yang berlimpah dari daerah-daerah yang lebih tinggi ke wilayah yang elevasinya lebih rendah. Itulah sebabnya situ disebut sebagai kawasan parkir air.  Ketika hujan lebat, limpasan air hujan dan sungai tidak langsung mengalir deras ke daerah yang lebih rendah, tetapi ditangkap oleh situ lebih dulu. 

Namun, jika situ menjadi lebih sempit bahkan hilang, dapat dibayangkan betapa banyaknya air yang langsung mengalir ke aliran di kawasan yang lebih rendah. Air yang mengalir tanpa ditahan lajunya juga akan menghambat penyerapan air ke dalam tanah. Jika tersedia waktu air untuk terserap ke tanah, sebagian air tersebut akan mengisi akuifer air tanah. 

Akuifer merupakan istilah bagi lapisan tanah dengan rongga udara yang dapat meloloskan air ke bagian bawah tanah. Jika kawasan resapan air termasuk situ terjaga dengan baik, air tanah akan menjadi sumber cadangan air bagi masyarakat, terutama ketika musim kemarau. Sebab, di kawasan Jabodetabek, terutama Jakarta yang masif pembangunannya, saat musim hujan saja semua tipe lahan di Jakarta dapat berfungsi sebagai penambah air tanah.

Setelah masuk musim kemarau, pemasukan air tanah di akuifer mengandalkan lereng utara Gunung Gede, Pangrangngo, Salak, Halimun, sungai, serta rawa atau situ. Namun, sejumlah situ semakin sedikit sehingga sumber air yang disimpan serta diserap akuifer juga semakin sedikit. Akibatnya, akuifer menjadi kosong karena berkurangnya air di sela-sela tanah akuifer. 

Kondisi ini memperparah krisis air di kawasan metropolitan sebab cadangan air baku bagi masyarakat berkurang. Padahal, kebutuhan akan air tanah terutama ketika musim kemarau semakin tinggi. Sebabnya, kebutuhan air baku tidak dapat dipenuhi dari air permukaan karena sungai dan rawa/situ menjadi surut pada musim itu.

Sayangnya keberadaan situ ini terus berkurang seiring dengan laju pertambahan penduduk dan kebutuhan lahan untuk pemukiman. Banyak situ berubah dan beralih fungsi menjadi pemukiman warga tanpa dapat dikendalikan oleh pihak yang berwenang. 

Kompas, mencatat  bahwa sepanjang tahun 2007 -- 2017, sebanyak 33 situ hilang dikawasan Jabodetabek. 

Hadi Susilo Arifin, Guru Besar IPB di Bidang Pengelolaan Lanskap, mengatakan, pada 1960-an terdapat 800 waduk dan danau di Jabodetabek. Pada 1980-an diketahui jumlahnya berkurang menjadi 400 waduk/danau.

Sementara itu, berdasarkan data terkini miliki  BBWSCC  yang berasal dari inventarisasi pemerintah daerah, jumlah situ tersisa 208. Sebanyak 102 situ terletak di Kota dan Kabupaten Bogor. Di Kota dan Kabupaten Bekasi terdapat 28 situ. 

Sementara di Kota dan Kabupaten Tangerang terdapat 37 situ. Sisanya tersebar di Depok (26 situ), Tangerang Selatan (9 situ), dan di Jakarta (16 situ). 

Mengacu pada data tahun 1980-an, jumlah situ berkurang hampir 50 persen. Banyaknya situ yang hilang berarti mengubah tatanan ekologi Jabodetabek sebab peran situ dalam lingkungan turut lenyap.

Sub DAS Ciliwung hilir meliputi wilayah bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk dalam wilayah pemerintahan Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, dan kemudian mengarah ke hilir lagi hingga masuk ke saluran buatan Kanal Barat. Di wilayah hilir ini Sungai Ciliwung melintasi wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. 

Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI telah dilakukan selama ini dengan membangun turap/betonisasi yang dikenal dengan normalisasi sungai Ciliwung sepanjang 16 km, pengerukan danau yang ada diwilayah DKI seperti danau Sunter, Pluit dan sebagainya, pembersihan drainase dan gorong gorong dari sampah setiap hari. 

Sayangnya normalisasi Ciliwung yang tersisa 17 km tidak dilanjutkan lagi akibat terjebak pada diskursus tentang program normalisasi dan naturalisasi oleh Gubernur DKI yang baru selam 2 tahun ini. Demikian juga dengan masalah sodetan Banjir Kanal Timur (BKT) yang terhenti akibat masalah pembebasan lahan yang belum tuntas.

Penanggulangan Integral dan Komprehensif

Masalah penanggulangan banjir Jakarta dan sekitarnya membutuhkan pemikiran, perencanaan pelaksanaan , pengawasan dan koordinasi yang integral dan komprehensif bagi para pihak. 

Buang jauh jauh egosektoral, egoinstitusional, ego kedaerahan yang tidak menguntungkan semua pihak. Sikap dan tindakan integral dan komprehensif  bagi pelaku kepentingan terutama pihak pemerintah pusat maupun daerah akan mendidik dan menggugah kesadaran masyarakat untuk ikut bertanggung jawab akan pentingnya menjaga lingkungan. Bukanlah masyarakat kita menjunjung tinggi budaya paternalistik, yang akan selalu mencontoh dan meneladani pemimpinnya ?

Terdapat tiga pendekatan yang dapat ditempuh dalam penanggulangan banjir di DAS Ciliwung. Ketiga cara tersebut adalah pendekatan fisik teknis, regulatif dan pendekatan sosiologis.

Pendekatan fisik teknis dengan membangun bangunan sipil teknis dan melakukan rehabilitasi didaerah hulu secara vegetatif (penanaman pohon). 

Kementerian PUPR, sudah benar membangun bendungan Ciawi dan Sukamahi didaerah hulunya, yang diharapkan mampu mengendalikan banjir sebesar 30 %. Bendungan Ciawi yang mampu menampung air 6,4 juta m3 dan bendungan Sukamahi mampu menampung air 1,6 juta m3 diharapkan selesai dan berfungsi akhir tahun 2020.

Kementerian LHK melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung akan segera membuat bangunan konservasi tanah dan air (KTA), seperti dam penahan, dam pengendali, maupun gully plug sebanyak mungkin dalamk waktu dekat didaerah hulu pad 8 DAS yaitu DAS Kali Angke Pesanggrahan, DAS Kali Krukut, DAS Ciliwung, DAS Sunter, DAS Kali Buaran, DAS Cakung, DAS Kali Bekasi dan DAS Cisadane.

Dalam rapat terbatas dengan kepala daerah korban banjir diwilayah Jabodetabek, 8 Januari 2020 di Istana Merdeka Jakarta, presiden juga menginstruksikan tiga hal yaitu  

1) Reforestasi penghijauan segera dilakukan, tak hanya tanaman keras, namun tanaman yang pencegah erosi, vetiver, 

2) Agar pengerjaan proyek bendungan Sukamahi dan Ciawi di bagian hulu dapat dipercepat. Sebab, dua bendungan yang terletak di Jawa Barat itu dapat mengurangi banjir kiriman di Jakarta yang berasal dari Bogor, 

3) Agar sodetan Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (BKT) rampung tahun ini. Proyek pengerjaan sodetan ini sebelumnya diketahui terkendala pembebasan lahan. Sehingga, diharapkan pembebasan lahan sekitar 600 meter dapat segera terselesaikan.

Normalisasi dan naturalisasi segera diselesaikan. Tidak  hanya di Ciliwung, masih ada 13 sungai, ada Pesanggrahan, Angke, Mookervart, belum lagi yang kecil-kecil.

Pendekatan vegetatif, seharusnya wajib dilakukan dengan menanam pohon pohonan agar syarat minimal 30 % tutupan hutan dapat dipenuhi atau setidak tidaknya dapat mendongkrak naik angka tutupan hutan yang sekarang tinggal 8,9 %. 

Ibaratnya, pemerintah kabupaten Bogor harus mampu membangun "hutan tutupan" baru, terlepas dari rehabilitasi tersebut dalam kawasan hutan atau diluar kawasan hutan. 

Hasil rehabilitasi dengan penanaman vegetatif ini nantinya juga dapat berfungsi untuk menahan laju sedimentasi yang masuk  dua bendungan yang akan dibangun yang pada akhir akan memperpanjang masa pakai umur bendungan tersebut. 

Kegiatan vegetatif ini mudah diwacanakan tapi sulit untuk dilakukan dilapangan, apalagi daerah hulu seperti Puncak, sudah terlanjur banyak berdiri bangunan hunian, hotel dan vila. Untuk itu , Bupati Bogor harus tegas untuk memberhentikan izin baru mendirikan bangunan pada daerah hulu yang berfungsi sebagai tangkapan air.

Pendekatan regulatif perlu dilakukan oleh pemerintah kabupaten Bogor juga dan seharusnya menerbitkan Perda pada daerah hulu agar kawasan perumahan atau perkebunan rakyat dan daerah terbuka lainnya harus ditanami pohon pohonnya minimal 10-15 % dari luas lahan miliknya tanpa pandang bulu. 

Sudah barangtentu Perda ini akan menjadi macan ompong apabila tidak diawasi dengan ketat. Penanaman pohon ini hasilnya jangka panjang tidak seperti membangun bendungan Ciawi dan Sukamahi yang ditarget  dua sampai tiga tahun harus selesai. 

Pendekatan regulatif lain yang harus dilakukan oleh Kementerian PUPR adalah mengembalikan fungsi situ situ yang telah beralih fungsi terlepas bagaimana caranya dan berapa anggarannya. Atau apabila dimungkinkan membangun situ situ baru untuk memperbesar daya tampung resapan air dari daerah hulu.

Pengelolaan sampah yang masih belum begitu baik, perlu ditertibkan dengan menerapkan regulasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memaparkan sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya bencana banjir di Jabodetabek awal tahun 2020. 

Salah satunya adalah masih rendahnya kondisi pengelolaan sampah, serta adanya Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Ilegal dan Pengelolaan TPA Open Dumping di beberapa wilayah Jabodetabek. Sampah yang tidak terkelola, selain akan mencemari lingkungan dan besar kemungkinan akan masuk ke badan air termasuk drainase bahkan sungai. 

Hal ini membuat kapasitas daya tampung air menurun dan menyebabkan banjir. Menghadapi fakta tersebut, Direktur Jenderal Penegakan Hukum LHK Rasio Ridho Sani mengatakan akan melakukan penegakan hukum secara tegas dan konsisten terhadap pengelola dan/atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pengelolaan sampah yang tidak mengikuti peraturan perundangan, norma, standar, prosedur, atau kriteria yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan. 

Penegakkan hukum ini dilakukan dari hulu hingga hilir, sebagai upaya untuk memberi efek jera, adanya perubahan perilaku, dan membentuk budaya kepatuhan. 

Sebelumnya pada tahun 2019, Ditjen Penegakan Hukum LHK telah melakukan penyegelan TPA ilegal sejumlah titik di Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Sedangkan, sebagai langkah penegakan hukum di sektor hulu, Ditjen Penegakan Hukum LHK melakukan penertiban aktivitas tambang ilegal yang mengancam DAS.

Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan untuk menggugah masyarakat supaya sadar akan hak dan kewajibannya dalam menjaga lingkungan. 

Pendekatan ini dapat  dilakukan melalui sosialisasi, penyuluhan tentang penanaman pohon, pembuatan lubang biopori, tidak membuang sampah sembarangan apalagi dibuang disungai atau got got perumahan, kesadaran untuk me mbersihkan dan memelihara saluran air diperumahan dan seterusnya.

 Sosialisasi dan penyuluhan ini perlu dilakukan setiap saat sehingga kesadaran masyarakat dan secara otomatis tergugah untuk menjaga lingkungan. 

Pengalaman negara jiran Singapura perlu dicontoh . Orangnya taat aturan dan tertib . Orang membuat puntung rokok sembarangan akan dikenakan denda sejumlah uang, apalagi membuang puntung rokok sembarangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun