Saya mendarat di kota Penang menjelang sore. Matahari masih bersinar terik. Perjalanan dengan pesawat membutuhkan hanya 1 jam saja, bandingkan dengan 4-5 jam dengan bus dari Kuala Lumpur, dengan harga yang tidak jauh berbeda. Tiket bis berkisar antara RM 35 (IDR 105.000) , sedangkan tiket pesawat promo KL-Penang saya tebus dengan RM 54 (IDR 162.000). Jangan tanya harga tiket Jakarta-KL, saya hanya perlu membayar IDR 32.000. Anda tidak salah baca, hanya semahal paket KFC. Saya naik bis dengan jurusan Lebuh Chulia. This was one of the most unprepared trip that I had. Saya bahkan tidak membawa peta, dimana ke Bali pun saya akan membawa peta. Alhasil saya nyasar. Untungnya tidak jauh. Dan saya berhasil menemukan penginapan saya beberapa saat kemudian. Nasi Kandar Depan Masjid Kapitan Keling Tema perjalanan saya kali ini lebih kepada cultural and culinary travel. Dan saya menyiapkan budget yang llebih dari biasanya untuk makan agar pilihan makanan saya cukup fleksibel tentunya. Apalagi Penang terkenal dengan petualangan makannya. Hm, seperti apa ya? Sore itu hujan sehingga saya memilih makanan yang berada di sekitar Georgetown dan masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Mesjid Kapitan Keling adalah tujuan pertama saya. Menelusuri Lbh Chulia lalu berbelok di Jalan Mesjid Kapitan Keling, saya menemukan mesjid tertua di Pulau Penang. Saya sudah berencana untuk solat maghrib dan isya di sini, sayangnya maghrib baru mulai pada pukul setengah 8 malam! Wew, karena sudah pukul 6 kurang, saya memutuskan makan salah satu menu kebanggaan kota Penang: Nasi Kandar. Menu ini menurut yang saya baca merupakan perpaduan antara masakan India dan Malaysia. Jadinya adalah nasi putih (atau briyani, tergantung pilihan) dengan lauk lalu disiram kuah kari-karian yang beraneka macam. Well, it looked like Nasi Padang to me. Lebih enak Nasi Padang juga sih, haha. Berputar-putar sejenak sore itu (nyasar lagi) lalu timbul di Chinatown. Saya baru menyadari, walaupun Malaysia mayoritas muslim, tapi di Georgetown tidak terlalu banyak pilihan makanan halal, selain yang dimasak oleh keturunan India tentunya. Jadi keinginan saya untuk mencoba Char Wee Tiaw (kwetiaw) yang chinese version terpaksa diurungkan. Sehabis Isya, penjual makanan di pinggir jalan Lbh Chulia mulai ramai. Beraneka ragam makanan bisa didapatkan. Saya sendiri membeli sate ayam dari seorang penjual muslim. Bagi orang Eropa mungkin jarang merasakan citarasa fast food jalanan seperti ini. Tapi di Indonesia rasanya sudah tidak asing ya. “Beberapa hari ini selalu hujan,” kata ibu penjual sate itu. Memang, saat itu pun gerimis. Pembeli pun tidak terlalu banyak.
Penang Hill Pukul 8 saya sudah dipinggir jalan menunggu bis ke daerah Air Itam untuk naik kereta ke Penang Hill. Kereta ini sudah ada sejak jaman kolonial Inggris dulu dan terus diperbaharui sehingga menjadi modern seperti saat ini. Ternyata dari pemberhentian bis 201 di Air Itam, saya masih harus berjalan kaki di jalan menanjak sepanjang tidak kurang dari 1 km. Fiuhh, dengan cuaca yang demikian panas, tidak lama sebelum baju saya kuyup oleh keringat. Penang Hill menurut saya sendiri untuk RM 30 (untuk orang Malaysia RM 8) sedikit overpriced. Di atas nyaris tidak ada apa-apa selain pemandangan ke seluruh kota yang pada jam 10 pagi itu terlihat terlalu terang. Mungkin akan lebih baik datang pukul 5 sore ketika hari menjelang gelap dan kota Penang mulai berpendar dengan lampu.
Nasi Kandar Kampung Melayu Menu makanan yang saya cari masih Nasi Kandar siang itu. Kebetulan di peta “tidak terlalu jauh” dan disebut-sebut sebagai penjual Nasi Kandar yang legendaris sejak puluhan tahun. Original! Saya jalan kaki, kepanasan, hampir dikejar gerombolan anjing, menyebrang sungai, melewati rumah susun, barulah saya sampai di rumah makan kecil itu. Kali ini pun saya tidak terlalu terkesima dengan rasa masakannya. Tapi saya di sini bukan untuk menjadi juri kontes kuliner bukan? Saya menikmati setiap makanan yang ada di depan saya. Dan saya selalu suka teh tarik.
“Makcik, kalau mau ke Kek Lo Si temple lewat mana?” saya selalu berusaha memakai bahasa Melayu dan bukan bahasa Inggris. Agak aneh berbicara dengan sesama melayu tapi memakai bahasa benua lain. “Ah, lurus saja sampai jalan nanti naik bas,” lalu ia berbincang sejenak dengan seorang bapak-bapak di sana menggunakan bahasa yang saya tidak dengar jelas. Lalu bapak-bapak itupun bertanya kepada saya, “tadi naik apa?” “Jalan saja pak,” jawab saya, singkat. Dia bergumam sebentar lalu mengambil helm motor dan memberikannya ke saya. Tidak berapa lama, saya sudah menembus jalannya di jok belakang motor bapak tadi yang secara tidak disangka mengantar saya langsung ke depan pintu masuk Kek Lo Si temple! In your travel, you will find that people are genuinely kind. Something that you rarely believe when you just stay at home. “Assalamualaikum!” teriaknya sambil menjalankan lagi mesin motornya.
Kek Lo Si Temple Ini adalah kuil budhis terbesar di Penang, bahkan konon Asia Tenggara. Letaknya pun di bukit dan terlihat dari jalanan sekitar daerah Air Itam. Dari pemberhentian bis, sebenarnya kita masih harus naik menembus pasar yang menjual berbagai macam souvenir. Ini baru mencapai kuil pertama.
Dari kuil pertama yang sudah cukup besar, pengunjung masih diharuskan mendaki jalan ke tingkat teratas kuil dimana terdapat patung dewi Kwan Im yang sangat besar. Saya memilih membayar RM 2 dan naik lift sekali jalan.
Georgetown the Old Town Pulang dari sana saya sudah cukup lelah. Rencana saya untuk melihat pantai Batu Ferrighi saya batalkan. Perjalanan saya masih panjang, sedangkan badan saya sudah merengek minta istirahat. Sampai di penginapan saya sudah dehidrasi sedang karena suhu Penang saat siang benar-benar tidak masuk akal. Okelah, sore ini saya berjalan-jalan saja di kota tua Georgetown yang masuk dalam heritage site-nya Unesco. Makan Ais Kacang di foodcourt tepi pantai, serta makan nasi lemak pinggir jalan seharga RM 1,5 dan minuman favorit saya disana: susu lembu!
Jalan-jalan keliling Georgetown ini pun masih saya lanjutkan esok paginya sambil menghabiskan waktu sebelum Solat Jumat di Mesjid Kapitan Keling dimana sebelum khotbah, pengurus mesjid berbicara dengan entah-bahasa-apa. Saya sempatkan makan roti cane di sebuah restoran India.
Saat itu saya berhenti di depan restoran dan bertanya kepada seorang pegawai yang sedang memasak sesuatu seperti martabak. “Ada roti canay?” saya tanya. Tiba-tiba orang ini mendelik, dan setengah berteriak “kau tidak lihat ini roti canay?!!” Haha, ternyata yang saya kira martabak tadi adalah roti canay!! Sore itu saya naik feri meninggalkan Penang ke Butterworth. Gratis. Dan cukup nyaman. Inilah Malaysia, dimana transportasi antar lokasi benar-benar terintegrasi. Dan Jakarta baru mulai dengan busway. Pelabuhan feri di Butterworth bersebelahan dengan terminal bis serta stasiun kereta api, sehingga cukup nyaman untuk para traveler memilih moda transportasi. Saya sendiri memilih menggunakan kereta api. Oya, kereta api di sana disebut tren, sedangkan “kereta” sendiri berarti mobil. Bis sebenarnya merupakan moda yang paling murah dan cepat mencapai KL. Dengan RM 35 dan waktu tempuh 5 jam anda sudah sampai di KL. Tapi saat itu sudah hampir malam. Menggunakan bis artinya sampai KL jam 2 pagi!
Kereta atau tren malam ini sendiri adalah sleeper train. Seperti juga sleeper bus di Vietnam, dia tidak dilengkapi dengan bangku, melainkan dengan tempat tidur!! Saya membeli tiket dengan kartu kredit online sebelumnya. Harganya RM 40 dan menghabiskan waktu 7 jam, dari pukul 11 malam hingga pukul 6 pagi. Di kereta saya tinggal tidur, hemat kamar hostel 1 hari, dan tidak kerepotan sampai KL subuh subuh! Hola KL!! [caption id="attachment_167478" align="aligncenter" width="553" caption="Queen Victoria Memorial Clock Tower"]
[/caption] [caption id="attachment_167476" align="aligncenter" width="466" caption="Patung raksasa Dewi Kwan Im di Kek Lo Si"]
[/caption] [caption id="attachment_167474" align="aligncenter" width="595" caption="bangunan tua yang masih tampak terawat"]
[/caption] [caption id="attachment_167473" align="aligncenter" width="493" caption="Kantor Polisi Georgetown"]
[/caption] [caption id="attachment_167472" align="aligncenter" width="512" caption="Georgetown Chamber Hall"]
[/caption] [caption id="attachment_167471" align="aligncenter" width="659" caption="Sudut Love Lane"]
[/caption] [caption id="attachment_167470" align="aligncenter" width="684" caption="Mesjid Kapitan Keling saat malam"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya