Mohon tunggu...
Prambodo
Prambodo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Batu Warna-warni, Siapa yang Disalahkan?

21 Juli 2018   17:52 Diperbarui: 21 Juli 2018   19:39 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena batu warna-warni terjadi di Kudus Jawa Tengah beberapa hari lalu, sempat viral. Banyak yang menghujat, namun juga banyak yang mengapesiasi. Para peduli lingkungan menyalahkan akan pengecatan batu-batu itu. hal itu dikarenakan tidak alami. kesan alaminya hilang karena warna-warni. 

Tuntutan pemilik objek wisata untuk mengembangkan wisata. salah satunya dengan membuat objek menarik untuk swapoto. hal itu mengingat fenomena jaman sekarang, anak muda sering berswapoto diobjek yang dikira menarik. 

Santo pemilik lahan tersebut mengaku pengecat dilakukan beberapa minggu yang lalu. Ia melakukan pengecatan karena ia terinspirasi dari salah satu wisata yang pernah ia kunjungi. 

"Saya sebelumnnya pernah ke Jogja,  disana ada yang warna warni,  sehingga saya melakukan chat disini.  Ini barusan,  baru sekitar satu minggu, " ungkapnya. 

Nia warga Desa Gribig Kecamatan Gebog ini justru tertarik melihat warna-warni batu yang dicat tersebut.  Dikatakan dia hal tersebut justru terlihat indah untuk tempat berpoto. 

"Kalau menurut saya itu justru terlihat indah. Karena terlihat warna-warni,"paparnya. 

namun fenomena cat batu warna-warni itu, mendapatkan reaksi oleh para peduli lingkungan. dikatakan mereka mengecat batu adalah hal yang salah kaprah. Muria Research Center Indonesia (MRC)  M. Widjanarko. Menurutnya,  pengecat bebatuan tersebut dinilai salah kaprah.  Dikatakan dia alangkah baiknya,  jika akan lebih bagus bebatuan tersebut alami. 

"Haduh niru kampung warna tapi salah kaprah,bukannya akan lebih alami dengan batu yang asli, "kata dia. 

Ia mengajak masyarakat lainnya untuk tidak meniru-meniru ngecat batu tersebut.Terutama didesa-desa dan pinggir hutan. Ia menilai seharusnya mengecat batu bisa dialihkan dengan kegiatan lainnya. Seperti kebersihan sungai dari sampah. 

"Pihak terkait dan desa segera bergerak untuk mengembalikan fungsi alami,"pintanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun