'Ketika kecerdasan seseorang hanya dilihat dari nilai matematikanya, serasa tergelitik dan muncul pertanyaan, "Kok gini amat ya?"'
Seketika angan terbawa ke masa silam, di mana di setiap kumpul keluarga besar bukan kabar yang ditanyakan melainkan ranking, skor matematika, hingga dibanding-bandingkan dengan sepupu-sepupu lainnya. Hati rasanya ingin bernyanyi salah satu lagu yang populer belakangan ini, "Wong ko ngene kok dibanding-bandingke, saing-saingke, yo mesthi kalah."Â
Hal ini dalam konteks pendidikan tentunya. Muncul dalam benak, seakan-akan kecerdasan seseorang itu hanya diukur dari seberapa baik nilai matematikanya. Rasanya sungguh menggelitik, ingin rasanya tersenyum sinis. Lalu, apa gunanya mempelajari mata pelajaran lainnya seperti seni budaya, pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan, hingga kewirausahaan? Seakan tak ada gunanya, bukan?Â
Sungguh tidak mengenakkan tejebak dalam sebuah situasi seperti ini, dimana secara umum beranggapan akan hal yang sama terkait dengan kecerdasan seseorang. Miris, sebuah potret pendidikan yang rasanya jauh dari kata 'merdeka'. Segala sesuatunya terbatas dalam sebuah gambaran angka atau huruf saja.
Rasanya pemahaman soal pendidikan yang sangat sempit itu perlahan perlu ditinggalkan. Tidak mudah memang, namun pergerakan postif dalam memperbaiki sistem rasanya harus segera dilakukan. Lalu bagaimana caranya pula kembali pada falsafah pendidikan yang sebenarnya, yakni pendidikan yang memerdekakan, pendidikan yang mendewasakan, hingga pendidikan yang bermakna. Bukankah begitu adanya pendidikan yang sebenarnya?
Kembali pada Falsafah Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Ing Ngarsa Sung Tuladha
Ing Madya Mangun Karsa
Tut Wuri Handayani
Mencoba kembali memaknai, menyelami, dan menemukan arti dalam falsafah pendidikan Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar Dewantara. Nyatanya pemikiran-pemikian Ki Hadjar Dewantara sungguhlah mulia tentang bagaimana pendidikan yang sebenarnya itu adalah tentang bagaimana memanusiakan manusia.Â
Pendidikan adalah tentang bagaiman melihat murid dengan segala keunikannya, dengan segala potensi yang dimilikinya, dengan segala minat dan bakat yang beragam. Pendidikan seyogyanya berpihak pada murid, melihat murid seusai dengan kodrat alamnya, yakni kondisi anak sejak lahir yang dipengaruhi oleh sosiokulturnya, lalu dituntun untuk dapat adaptif dengan kodrat zamannya.
Memaknai kata 'menuntun' dalam pendidikan dan pendidikan yang berpihak kepada murid, yakni tentang bagaimana memberikan yang terbaik kepada murid, memfasilitasi, membimbing, mengajar, mendidik, hingga mengarahkan murid agar tetap dalam trek yang tepat dalam mewujudkan apa yang telah menjadi mimpi-mimpinya.Â
Namun sebelum menuntun, mencoba untuk merenungkan kembali pula, apakah murid tersebut berkenan dituntun oleh kita atau tidak, atau malah ketika kita mendekat mereka enggan dan menjauhi kita.Â
Artinya, sebelum menuntun, rasanya perlu bertanya apakah sudah mampu menjadi tauladan, apakah sudah mampu menjadi pemantik semangat, dan apakah sudah mampu menjadi pemberi dorongan seperti makna yang tertuang dari falsafah pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan menjadi tauladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberikan dorongan).Â
Ketika upaya itu mampu dilakukan, yaki nlah energi positif akan sampai kepada murid-murid tercinta, lalu dengan sendirinya mereka mendekat dan berkenan dituntun dalam upaya meraih mimpinya dalam sebuah konteks pendidikan yang bermakna.
Implementasi Falsafah Pendidikan Ki Hadjar DewantaraÂ
Setelah menemukan hal-hal penting dari falsafah pendidikan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar Dewantara, lalu kini saatnya bagaimana mengimplementasikan hal-hal tersebut dalam sistem pendidikan terkini. Sebuah harapan dalam pembelajaran terwujud nyata nilai-nilai tersebut.
Implementasi nyata dalam sebuah sistem pendidikan untuk mewujudkan Profil Pelajar Pancasila, yakni berakhlak mulia, berkebhinekaan global, mandiri, gotong royong, bernalar kritis, dan kreatif.
Pendidikan masa kini, sudah bukan lagi yang berkiblat pada seberapa baik nilai matematika seorang murid dalam mengukur kecerdasannya. Hal-hal tersebut sepatutnya sudah mulai bergeser jikalau benar-benar kembali memegang teguh prinsip yang mengacu pada falsafah pendidikan Ki Hadjar Dewantara.Â
Tidak akan ada lagi yang namanya 'membanding-bandingkan', tidak ada lagi mengkotak-kotakkan. Biarkan murid berkembang sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya. Murid adalah insan yang merdeka dan pendidikan itu adalah memerdekakan, memberi makna, dan menciptakan kebahagiaan. (prp)
1.1.a.8. Koneksi Antar Materi-Kesimpulan dan Refleksi Modul 1.1
Program Pendidikan Guru PenggerakÂ
Angkatan 7, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah
-Prama Ramadani Putranto-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H