"Bro, aku lagi pusing ini, wah masalah hati emang bikin semuanya serba runyam!"
Baru saja aku seruput segelas teh panas wasgitel (wangi, panas, sepet, legi, kenthel) yang disuguhkan Bu Parmi kepadaku, tiba-tiba anaknya Parjo, temanku sejak SMP mengeluh. Lagi-lagi soal cinta yang ia keluhkan. Sembari terus menikmati teh wasgitel, aku mempersilakan ia melanjutkan kisahnya.
"Entah, aku ngga tahu mau gimana lagi bro. Rasanya hati ini gundah terus setiap hari. Mau kerja nggak tenang di rumah pun rasanya napas begitu berat. Tiap hari mikirin Poniyem terus ini. Tega bener dia ninggalin aku begitu aja tanpa kabar."
"Sudah to bro, sudah jalannya begitu ikhlaskan saja." Aku menanggapi keluh kesahnya dengan tetap santai.
Lalu Parjo melanjutkan ceritanya, "Bro, aku butuh untuk nenangin diri nih. Dulu kamu pernah cerita kalau rumah mbah buyutmu di Kulon Progo itu dekat sama Gua Maria Sendangsono. Aku pengen ke sana menenangkan diri berdoa mohon sama Gusti agar diberi petunjuk dan jiwa yang tenang. Semisal kamu anter aku ke sana kamu keberatan nggak?"
"Ya nggak to bro, lha wong aku kan cuma nganter dan nggak ikut kamu ibadah juga kan. Sudah tenang aja, Insha Allah besok Sabtu siang ba'da dzuhur kita meluncur ke sana ya!" Jawabku sembari menyeruput teh wasgitel spesial buatan Bu Parmi.
Keesokan harinya, kami pun berangkat ke Gua Maria Sendangsono. Seperti biasa kami ke sana dengan mengendarai skutermatik putih kesayangan. Waktu tempuh sekitar satu setengah jam dari Ungaran menuju Gua Maria Sendangsono dengan kecepatan rata-rata 60km/jam. Sepanjang jalan kami asyik mengobrol ngalor ngidul tentang banyak hal. Aku seorang penganut Agama Islam dan Parjo seorang Katholik yang taat, kami saling berbagi rasa. Keakraban ini terjalin sejak kami duduk di bangku SMP hingga saat ini.
"Alhamdulillah sudah sampai brooo, nanti aku nunggu kamu di warung depan ya, tapi ini aku cari mushola terdekat dulu, mau sholat ashar." Ucapku pada Parjo sembari melepaskan helm di tempat parkir.
"Oke, makasih ya bro, aku berdoa dulu di dalam yaaa!" Saut Parjo. Parjo berjalan memasuki gerbang pintu masuk Gua Maria. Wajahnya begitu berseri dan penuh semangat. Sepertinya ia sedang benar-benar butuh ketenangan jiwa untuk rehat sejenak dari segala permasalahn hati yang tak kunjung usai.
Setelah sholat ashar di mushola terdekat, aku pun memesan semangkuk mie instan goreng plus telur dan segelas teh panas di warung samping tempat parkir sepeda motor.
Selang satu jam kemudian, Parjo menghampiriku dengan wajah sumringah, "Bro, udah bro, yuk lanjut perjalanan lagi."
"Siaaaaaaap!" Jawabku lantang. Kami pun melanjutkan perjalanan ke Jogja kota.
"Bro, nanti kamu sholat di Masjid Kauman aja bro pas maghrib. Nggak usah sholat yang digabung-gabung itu hlo bro, kan waktunya masih cukup. Nanti gantian aku yang nunggu kamu sholat, tadi kan kamu udah nungguin diriku berdoa di Gua Maria." Kata Parjo di samping kanan kepalaku dengan suara sedikit keras agar terdengar jelas dan tidak kalah dengan suara angin yang berhembus.
"Wah dirimu emang kayak ibukku brooo, selalu ngingetin buat sholat tepat waktu. Maturnuwun ya bro." Jawabku. Setibanya di Masjid Kauman, aku langsung mengambil air wudlu dan bersiap untuk mendirikan sholat maghrib berjamaah. Bagiku sholat di Masjid Kauman Jogja sungguh sangat berkesan. Parjo memang tahu betul isi hatiku. Dari kejauhan aku melihar Parjo yang dengan sabar menungguku di warung angkringan dekat pelataran Masjid Kauman sembari mengisap rokok dan sesekali menyerupt kopi hitam favoritnya.
"Toleransi yang tepat adalah tidak menyentuh perihal akidah."
Sepenggal kisah tentang saya yang menganut Agama Islam dan sahabat saya yang bernama Parjo, seorang Katholik yang sangat taat. Kami saling berdiskusi, duduk bersama sembari menyeruput kopi. Soal akidah kami memang berbeda namun soal saling menghargai satu sama lain kami selalu berusaha memberikan yang terbaik. Saya tidak akan sedikitpun ikut-ikutan si Parjo ketika beribadah, sebagai contoh saya tidak akan ikut masuk ke tempat ibadahnya, cukup di luar menunggu Parjo sembari melahap mie instan plus telur yang nikmat. Begitu pula dengan Parjo yang selalu mengingatkan waktunya sholat sebagai wujud ia menghargai dan menghormati saya sebagai penganut Agama Islam. Soal saling mengucap selamat pada hari-hari besar keagamaan kami pun dapat saling mengerti. Parjo paham betul jika saya mengucapkan selamat pada perayaan hari besar keagamaan yang dia anut, hal ini sangat bertentangan dengan akidah yang saya pegang teguh. Keterbukaan kami berdua akan hal ini menciptakan sebuah wujud toleransi yang begitu nyata. Apapun alasannya saya dan Parjo tidak akan saling mengomentari perihal akidah atau ajaran agama masing-masing, cukup saling menghormatinya saja.Â
"Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Ingat jaga ucap dan tingkah laku dalam menyikapi perbedaan yang ada! Tak perlu berkomentar mengenai ajaran agama masing-masing karena ajaran agama tersebut hanya mengatur internal umat yang meyakininya bukan turut serta mengatur penganut agama yang lain. Kuncinya adalah tetap 'kasih slow' dan jangan mudah terpancing isu-isu provokatif terkait soal bertoleransi."
Sebuah langkah kecil yang berusaha kami lakukan demi terwujudnya toleransi antar umat beragama yang lebih baik di negeri ini. Hal yang utama adalah tak perlu berkomentar mengenai hal-hal yang menyangkut akidah agama lain, karena hal ini jelas akan memicu munculnya perpecahan di negeri tercinta yang penuh keragaman ini. Cukuplah dengan saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada. Selagi ucap dan tingkah laku terkait perbedaan dapat dijaga, selagi dapat saling terbuka dan menerima tentang perbedaan yang ada, serta selagi masih bisa ngopi bersama di tengah kebhinekaan yang ada dengan penuh suka cita, yakinlah negeri ini bakal aman sentosa tanpa ada isu-isu terkait SARA yang mencoba meruntuhkan persatuan dan kesatuan negeri tercinta. Wallahulam Bis Shawaab. (prp)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H