Selang satu jam kemudian, Parjo menghampiriku dengan wajah sumringah, "Bro, udah bro, yuk lanjut perjalanan lagi."
"Siaaaaaaap!" Jawabku lantang. Kami pun melanjutkan perjalanan ke Jogja kota.
"Bro, nanti kamu sholat di Masjid Kauman aja bro pas maghrib. Nggak usah sholat yang digabung-gabung itu hlo bro, kan waktunya masih cukup. Nanti gantian aku yang nunggu kamu sholat, tadi kan kamu udah nungguin diriku berdoa di Gua Maria." Kata Parjo di samping kanan kepalaku dengan suara sedikit keras agar terdengar jelas dan tidak kalah dengan suara angin yang berhembus.
"Wah dirimu emang kayak ibukku brooo, selalu ngingetin buat sholat tepat waktu. Maturnuwun ya bro." Jawabku. Setibanya di Masjid Kauman, aku langsung mengambil air wudlu dan bersiap untuk mendirikan sholat maghrib berjamaah. Bagiku sholat di Masjid Kauman Jogja sungguh sangat berkesan. Parjo memang tahu betul isi hatiku. Dari kejauhan aku melihar Parjo yang dengan sabar menungguku di warung angkringan dekat pelataran Masjid Kauman sembari mengisap rokok dan sesekali menyerupt kopi hitam favoritnya.
"Toleransi yang tepat adalah tidak menyentuh perihal akidah."
Sepenggal kisah tentang saya yang menganut Agama Islam dan sahabat saya yang bernama Parjo, seorang Katholik yang sangat taat. Kami saling berdiskusi, duduk bersama sembari menyeruput kopi. Soal akidah kami memang berbeda namun soal saling menghargai satu sama lain kami selalu berusaha memberikan yang terbaik. Saya tidak akan sedikitpun ikut-ikutan si Parjo ketika beribadah, sebagai contoh saya tidak akan ikut masuk ke tempat ibadahnya, cukup di luar menunggu Parjo sembari melahap mie instan plus telur yang nikmat. Begitu pula dengan Parjo yang selalu mengingatkan waktunya sholat sebagai wujud ia menghargai dan menghormati saya sebagai penganut Agama Islam. Soal saling mengucap selamat pada hari-hari besar keagamaan kami pun dapat saling mengerti. Parjo paham betul jika saya mengucapkan selamat pada perayaan hari besar keagamaan yang dia anut, hal ini sangat bertentangan dengan akidah yang saya pegang teguh. Keterbukaan kami berdua akan hal ini menciptakan sebuah wujud toleransi yang begitu nyata. Apapun alasannya saya dan Parjo tidak akan saling mengomentari perihal akidah atau ajaran agama masing-masing, cukup saling menghormatinya saja.Â
"Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Ingat jaga ucap dan tingkah laku dalam menyikapi perbedaan yang ada! Tak perlu berkomentar mengenai ajaran agama masing-masing karena ajaran agama tersebut hanya mengatur internal umat yang meyakininya bukan turut serta mengatur penganut agama yang lain. Kuncinya adalah tetap 'kasih slow' dan jangan mudah terpancing isu-isu provokatif terkait soal bertoleransi."
Sebuah langkah kecil yang berusaha kami lakukan demi terwujudnya toleransi antar umat beragama yang lebih baik di negeri ini. Hal yang utama adalah tak perlu berkomentar mengenai hal-hal yang menyangkut akidah agama lain, karena hal ini jelas akan memicu munculnya perpecahan di negeri tercinta yang penuh keragaman ini. Cukuplah dengan saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada. Selagi ucap dan tingkah laku terkait perbedaan dapat dijaga, selagi dapat saling terbuka dan menerima tentang perbedaan yang ada, serta selagi masih bisa ngopi bersama di tengah kebhinekaan yang ada dengan penuh suka cita, yakinlah negeri ini bakal aman sentosa tanpa ada isu-isu terkait SARA yang mencoba meruntuhkan persatuan dan kesatuan negeri tercinta. Wallahulam Bis Shawaab. (prp)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H