Tepat di warung Burjo (Bubur kacang ijo) di dekat rumah sembari menyeruput teh hangat setelah kenyang menyikat semangkok mie goreng instan lengkap dengan telur khas mamang burjo.Â
Terdengar dengan jelas para pekerja berkisah dan berkeluh kesah. Asap rokok yang menyelimuti seakan tak peduli dengan kondisi pandemi, tak peduli protokol kesehatan, yang ada hanya emosi.
Suara pekerja itu jelas terdengar di telinga. Raut wajah penuh amarah dan kekecewaan yang mendalam tak bisa mereka sembunyikan. Ada empat orang duduk melingkar ditemani kopi panas dan sepiring pisang goreng, tidak menjaga jarak.Â
Masker terbuka dan asyik menghisap candu. Mereka saling curhat tentang nasibnya, mereka bercerita tentang dinamika hidupnya di tengah pandemi.
Suara keras terdengar jelas di telinga bahwasannya mereka baru saja mendapat informasi buruk dari atasannya tentang pemotongan gaji dan jam kerja yang berubah drastis.
Sistem shift akan diterapkan selama pandemi. Alasan mengapa mereka emosi adalah pemotongan gaji yang menggila sedangkan angsuran motor mencekik leher.Â
Belum lagi sistem shift yang diterapkan sungguh tak manusiawi tak menganggap mereka sebagai manusia, bagaikan robot yang bekerja tanpa henti tak peduli waktu. Mereka adalah pekerja di perusahaan tekstil di sebuah kawasan industri.
Adzan Isya berkumandang mereka pun tak mempedulikan itu, masih saja terus bercerita dan saling menimpali satu sama lain. Terkadang keluar pula berbagai macam jenis umpatan kepada para petinggi perusahaan.Â
Mereka merasa tidak ada keadilan sedikit pun yang berpihak pada mereka. Selalu ditekan, ditekan, dan ditekan hanya untuk mencapai targer produksi dan demi keuntungan maksimal perusahaan.Â
Mata memerah sembari menahan tangis karena kekecewaan yang terakumulasi. Saat tidak dalam kondisi pandemi saja sudah ditekan sedemikian rupa dan semua kebijakan tak sedikitpun yang berpihak pada para pekerja.Â