Mohon tunggu...
Hilarius Pramanda Yuvendeo
Hilarius Pramanda Yuvendeo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Saya adalah pribadi yang tertarik dengan dunia Politik, dan sering melakukan kegiatan yang terkait kepemimpinan, dan aktif di dunia sosial kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kepemimpinan Latihan Ketenangan Menuju Kesuksesan

4 Oktober 2023   22:38 Diperbarui: 4 Oktober 2023   22:44 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: borobudur-training.com

Awal mula perjalanan hidup saya adalah dari orang tua saya yang sungguh mensupport apapun yang saya ingin saya lakukan untuk pengembangan diri saya ini. Perhatian dan cinta dari orang tua yang memampukan diri saya untuk mau belajar apapun, di mulai dari cakupan yang kecil yaitu lingkungan keluarga, kemudian beranjak di sekolah, dan bermasyarakat. Kecintaan saya pada leadership kemudian mulai berkembang step by step, tidak secara tiba-tiba hadir begitu saja. Saya menyadari betul ini merupakan perjalanan hidup yang dinamakan sebuah proses.

Menurut Meyerson, dkk 2015 dalam artikel Real Reason People Won't change proses ini dapat menimbulkan perasaan-perasaan pribadi yang enggan diungkapkan oleh orang-orang. Sangat relate dengan pengalaman pribadi saya yang memaknainya bahwa ini terjadi akibat proses yang dihadapi, namun kadangkala banyak orang di sana tidak mau menyadari bahwa elemen terpenting dalam sebuah proses berangkatnya dari perasaan, dari perasaan kemudian di implementasikan pada sebuah tindakan secara konkrit.

Berbicara tentang pengalaman yang sungguh bermakna pertama kali adalah saat saya mendapatkan amanah menjadi Ketua OSIS SMP kala itu, saya itu orang yang belom tahu apa-apa, masih dikatakan "cupu" soal dinamika organisasi. Awal mulanya berangkat dari perasaan yang gelisah, kebingungan, keraguan dan yang berhubungan dengan yang sifatnya penuh ketakutan. 

Orang yang pertama yang menjadi tempat saya pulang adalah orang tua. Orang tua yang sungguh dengan totalitasnya mau menerima segala perasaan saya, tanpa mengintimidasi sedikit pun. Di situlah saya merasa bahagia dan tertarik untuk mau belajar, saya menyadari itulah bagian dari proses saya untuk belajar dengan penuh semangat. Dalam refleksi saya, oh iya ya teman-teman, guru di SMP saat itu sudah memberikan kepercayaannya pada saya, maka yang harus saya lakukan adalah harus berani untuk melawan rasa takut saya.

 Mulailah saya beranjak ke tahap percaya diri bisa memimpin teman-teman saya, kemudian masuk ke pokok organisasi dimana harus membuat kegiatan yang basisnya adalah mengajak seluruh civitas untuk berkembang bersama-sama. Setelah saya purna, kemudian saya mengambil waktu untuk merefleksikan diri bagaimana saya selama kurang lebih 1 tahun menjadi Ketua OSIS SMP mampu untuk mempertanggungjawabkan tugas yang saya emban tersebut, ternyata hasil refleksinya itu adalah bagian dari proses yang harus dilalui, tanpa bekal itu semua tidak akan pernah punya pengalaman. Sebab bagi saya harus belajar dari pengalaman itu.

Menurut Meyerson, dkk 2015 dalam artikel Real Reason People Won't change. Refleksi ini biasanya membuat orang tidak puas dengan fondasi besarnya asumsi-asumsi tersebut, terutama ketika mereka melihat bahwa kemudahan-kemudahan tersebut telah menemani mereka pada posisinya saat ini dan telah mewarnai pengalaman mereka selama bertahun-tahun. 

Betul dengan apa yang dikatan oleh Meyerson dalam bukunya, kadangkala refleksi itu bisa menjadi "boomerang" Nah, mengapa demikian? Jawabannya adalah yang bisa mengendalikan pada saat refleksi tentu diri kita sendiri, memang tingkat orang merefleksikan pengalamannya berbeda-beda, tentu melihat pada konteks yang berbeda pula. 

Namun yang perlu disadari adalah bagaimana kemampuan seseorang itu mengolah dirinya secara benar dan tepat, maka butuh yang namanya kemendalaman soal refleksi, sebab refleksi tidak bisa dijadikan ajang untuk bermain-main. Sifatnya menghadirkan ketenangan dan ke relax'an jiwa raga, karena perlu pengendapan mencari ruang untuk bertemu dengan dirinya sendiri atau disebut dengan istilah "Me Time" bagi saya itu merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

Saya akan menceritakan pengalaman saya yang kedua yaitu di waktu SMA, kembali saya dipercaya oleh teman-teman dan para guru untuk menjadi Ketua Umum OSIS selama 2 periode berturut-turut. Ini merupakan bagian dari proses pembelajaran saya sebelum, setahu saya pengalaman yang saya alami ini jarang terjadi pada orang lain. 

Mengapa demikian? Karena yang biasanya terjadi itu hanya 1 kali periode, namun saya mendapatkan sebuah anugerah jadi Ketua Umum OSIS. Saya memaknainya sebagai media pembelajaran yang kemudian saya artikulasikan dari pengalaman yang sudah pernah saya dapatkan sebelumnya. Mengurus SMA dengan SMP sangat jauh berbeda menurut saya pribadi, sebab saya perlu memahami bagaimana anak SMA yang berangkat dari latarbelakang bermacam-macam. Tetapi perlu saya syukuri, sebab menjadi pelengkap untuk bekal hidup saya, bagaimana kemapuan dalam mengorganisasi banyak orang, bukan hanya mencari keuntungan pribadi jauh dari perpepsi itu. 

Saya menyadari sungguh tidak mudah menjadi seorang leader. Menjadi seorang pemimpin itu harus tuntas dengan hidupnya sendiri, jangan mengurus orang lain selagi dirinya sendiri belum tuntas. Hal yang mustahil apabila dia mengurus banyak orang, namun tidak tahu bagaimana dia menuntaskan dirinya sendiri. Kalau berbicara tentang kesulitan banyak sekali di dalam saya mengelola OSIS SMA ini, salah satu yang paling saya ingat adalah teman-teman baik itu pengurus dan anggota OSIS susah sekali diajak untuk berpikiran maju, sulit diajak untuk mengkolaborasikan sebuah ide atau gagasan. 

Terkadang saya juga bertanya dengan diri saya sendiri, kenapa sih mereka ini sulit sekali diajak melangkah bersama? Ataukah jangan-jangan saya yang salah dalam mewujudkan sebuah ide atau gagasan itu? Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya refleksi selalu hadir dalam diri saya. Ternyata ketemu nih jawabannya, yaitu bagaimana seorang pemimpin mau untuk memahami orang lain dan sebaliknya orang lain juga perlu memahami pemimpinnya. Akhirnya terjadilah hubungan timbal balik. Sejak saat itu saya menjadi semakin sadar betapa pentingnya sikap saling memahami yang kadangkala belum seutuhnya di terima oleh orang lain.

Menurut Brooks, 2012 dalam artikel How People Change Adalah tindakan yang bodoh jika mencoba membujuk orang untuk melihat kesalahan besar dalam cara mereka dengan harapan bahwa perubahan mental akan membawa pada perubahan perilaku. Saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Brooks dalam bukunya tersebut. Sebab, membujuk adalah tindakan yang tidak dibenarkan dalam konteks Leadership. Bahwa seorang pemimpin dia merupakan sosok yang dapat mengayomi, menjadi teladan, atau sebagai role models membawa sisi perubahan untuk siap ditempa dengan segala macam resiko yang sedang dan akan dialaminya. 

Bagaimana saya melihat dan mengalami semata-mata bahwa membangun mental dan karakter seseorang adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan, memang karakter itu adalah bawaan manusia sejak ia dilahirkan. Maka saya akan menceritakan pengalaman saya ketiga yaitu menjadi fasilitator dalam pelatihan kepemimpinan baik itu di tingkat pelajar SMA ataupun Mahasiswa. Saya adalah orang yang sangat tertarik dan suka pada hal-hal yang berkonsentrasi pada pelatihan kepemimpinan. 

Dasarnya adalah berangkat dari pengalaman-pengalaman saya di bidang kepemimpinan yang berfokus dalam pengelolaan organisasi. Saya bisa dikatakan sebagai orang yang cukup berpengalaman di bidang organisasi sejak SMP sampai dengan SMA, begitu juga dengan beberapa pelatihan yang boleh saya ikuti mulai dari yang gratis sampai dengan berbayar. 

Hal yang paling menarik ketika saya menjadi fasilitator dalam acara pelatihan kepemimpinan adalah banyak dari mereka yang sedang tidak menjadi dirinya sendiri, ada yang penurut, ada yang sok-sok an paling berkuasa, ada yang cari muka, dan lain sebagainya. Hal tersebut sering kali saya jumpai dalam acara tersebut, maka saya menjadi tidak heran mengapa anak-anak menjadi demikian. Maka saya mencoba menawarkan sebuah metode dengan kritik panggung, dimana satu per satu akan mendapat kritikan dari temannya, maksudnya bukan untuk menjatuhkan satu sama lain. 

Tetapi dengan demikian anak tersebut menjadi tersadarkan bahwa dia mungkin melakukan hal tersebut tanpa menyadarinya, maka yang terjadi adalah anak-anak secara perlahan namun pasti akan merubah dan belajar dari apa yang di kritik temannya untuk dirinya. Inilah yang kemudian menjadi sebuah alternatif untuk melakukan segala hal itu harus dengan tenang dulu baru kemudian bisa menuntun seseorang untuk sampai pada perubahan yang jauh lebih baik. Tak heran dari kegiatan pelatihan ini justru yang paling diingat adalah kritikan temannya entah itu di kritik dengan cara yang pedas, keras, atau bahkan halus tetapi mengena. Bagi saya ini yang kemudian akan selalu di ingat seseorang dalam penuh kesadarannya untuk membawakan diri dengan mental yang baik, karena seorang pemimpin itu biasa-biasa saja namun sangat terlatih.

Menurut Peramesti, dkk 2018. Menjadi seorang pemimpin yang baik pada generasi masyarakat milenial saat ini dan kedepan menjadi satu tantangan yang kritis. Dalam jurnal Peramesti sudah dijelaskan bahwa menjadi pemimpin itu ya harus kritis, siap ditempa apapun itu. Ada sesuatu hal yang kadangkala membuatnya down tidak apa-apa, silahkan mengambil waktu sejenak untuk berefleksi. Kemudian bangkit lagi untuk berjuang, ya itulah seorang pemimpin harus tenang dulu jika ingin sampai pada titik kesuksesan. Kata berjuang tidak akan pernah ada habisnya bagi mereka yang selalu mau berusaha, jatuh tidak apa-apa tetapi mari bangun lagi dan lanjutkan perjuangmu. 

Oleh karena itu saya akan mencoba menceritakan pengalaman saya yang keempat yaitu menjadi inisiator atau founder dari sebuah organisasi yang bernama Pandega Bima Cakra Madiun (PBC) yang coba saya buat sebagai media pembelajaran untuk yang kesekian kalinya. Mulanya organisasi ini ada pada saat pandemi Covid-19. Organisasi ini berdiri di kota Madiun, Jawa Timur sejak 5 Mei 2020 dan bersyukur sampai saat ini sudah berjalan 3.5 tahun lamanya. Saya menyebut teman-teman yang bergabung dalam organisasi ini dengan sebutan relawan, karena pada saat itu mereka adalah relawan dalam bidang kemanusiaan lebih berupa ke bantuan sosial yang kami salurkan kepada masyarakat yang sungguh memerlukan bantuan. 

Bagaimana organisasi ini kami lead sendiri untuk memaksimal dan mengimplementasikan dari apa yang pernah kita dapat dari berbagai macam pelatihan kepemimpinan yang pernah diikuti oleh teman-teman relawan. Disini kami memiliki ruang terbuka bebas untuk mengekspresikan gaya kepemimpinan ala kami yang khas dan lekat anak-anak muda yang memiliki nyali dan kemandirian untuk bersama-sama turun ke bawah bersama masyarakat. Hal ini jarang di jumpai, kok ada sekumpulan anak-anak muda yang mau memberikan dirinya untuk kepentingan orang banyak. Sungguh organisasi ini sangatlah sehat pada waktu itu, dan bersyukur pula kami kompak dan seenergi dalam melakukan tugas mulia ini.

Akhirnya bisa bertemu banyak orang, kemudian membangun relasi dimana-mana sehingga kami di mudahkan dalam segala hal. Tetapi permasalahan muncul setelah badai Covid-19 mulai membaik, sebab semangat teman-teman yang ada di awal tadi mulai luntur, dalam organisasi biasa mengalami up and down. Di mulai dari berbagai aktivitas dan kesibukan teman-teman, dan lain sebagainya. Tetapi bagi saya wajar terjadi, konflik selalu hadir tetapi bukan berarti kita dengan se-enaknya menyalahkan ini dan itu, tidak demikian. Bagaimana saya mencoba membuat strategi baru untuk mengelola organisasi ini agar jangan sampai mati. Semangat perjuangan tetap harus di kibarkan, apapun resiko dan kendalanya tetap berjuang, karena bagi saya membangun kekeluargaan ini menjadi kunci arti dari kesuksesan menjadi seorang pemimpin dan di situlah seni dari seorang pemimpin sejati.

Daftar Pustaka

Brooks, D. (2012, November 27). How people change. The New York Times. https://www.nytimes.com/2012/11/27/opinion/brooks-how-people-change.html

Meyerson, D., Linsky, R. H. and M., Kotter, J. P., & Nayar, V. (2015, November 10). The real reason people won't change. Harvard Business Review. https://hbr.org/2001/11/the-real-reason-people-wont-change

Peramesti, N. P. D. Y., & Kusmana, D. (2018). Kepemimpinan ideal pada era generasi milenial. TRANSFORMASI: Jurnal Manajemen Pemerintahan, 73-84.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun