Dalam paradigma konstruktivis, sistem internasional dianggap "dibangun secara sosial," peran negara-negara dan institusi menjadi kunci dalam membentuk sifat hubungan internasional. Hal ini sesuai dengan pendapat Alexander Went yang menekankan bahwa negara dan institusi memiliki peran penting sebagai pemain utama yang menentukan sifat hubungan internasional.Â
Selain itu, Konstruktivis mengklaim bahwa negara dan institusi adalah elemen inti dan pengambil keputusan utama yang bertanggung jawab atas dinamika hubungan internasional dalam konteks stabilitas dan ketidakstabilan. Disisi lain, dalam konstruktivis terdapat 2 faktor penting yakni identitas dan norma, dimana keduanya juga memainkan peran penting.
ASEAN, sebagai institusi yang terbentuk oleh negara-negara kawasan Asia Tenggara, mencerminkan konsep konstruktivis ini. Identitas kolektif ASEAN berkembang sebagai hasil dari interaksi sosial dan norma-norma yang mereka anut bersama. Dalam menghadapi ancaman terorisme, identitas bersama ini mendorong negara-negara anggota untuk merespons dengan tindakan bersama, mengakui bahwa keamanan kawasan adalah kepentingan bersama yang memperkuat identitas kolektif mereka.
Norma-norma regional, seperti prinsip non-intervensi dan penyelesaian konflik melalui diplomasi, menjadi landasan bagi respons ASEAN terhadap ancaman terorisme. Deklarasi mengenai terorisme yang diinisiasi oleh ASEAN mencerminkan adopsi norma-norma ini. Keputusan untuk mengubah deklarasi tersebut menjadi konvensi menunjukkan bahwa ASEAN berusaha untuk bertanggung jawab sebagai sebuah institusi dengan memberikan dasar hukum yang lebih mengikat, menggambarkan komitmen serius mereka dalam menghadapi ancaman ini sesuai dengan norma-norma yang dipegang teguh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H