Mohon tunggu...
Rio agung
Rio agung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Tentang perdesaan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyelamatkan Demokrasi

13 Mei 2023   15:11 Diperbarui: 13 Mei 2023   15:11 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demikian pula berbagai hoax masih bekerja. Sebagai dampak merajalelanya dinasti era post-truth. Sebuah era di mana kebenaran hanya yang ingin didengar. Bukan kenyataan apa adanya. Fakta di atas menunjukan defisit demokrasi yang berbahaya.

Pertama, terdapat gejala partisipasi publik kurang mendapat wahana yang leluasa. Ini dikonfirmasi gelombang aksi tolak RUU revisi UU KPK, RUU KUHPid dan RUU Pertanahan misalnya.

Partisipasi publik seolah tidak penting. Karena ada pemilu yang sudah mewakafkan suara publik pada parlemen. Padahal, demokrasi tidak demikian.Partisipasi publik tidak dapat ditebang hanya karena sudah ada pemilu. Partisipasi harus selalu ada di dalam ruang publik. Baik pra maupun pasca pemilu.

Kedua, hukum yang kehilangan karakternya yaitu menciptakan rasa adil. Praktik tebang pilih penegakan hukum masih ditemukan. Be lum lagi soal hukum yang dibentuk diam-diam seperti pada kasus di atas.

Maka, bila hukum tidak bekerja. Ancaman anarki di depan mata. Ini yang tentu harus kita perbaiki dan tidak kita harapkan. Semua pihak harus membangun kembali hukum yang tegak secara op timal.

Ketiga, partai politik. Partai politik tidak memiliki visi yang bernafas panjang. Partai politik terjebak mahalnya biaya politik. Akibatnya, transaksi hak publik menjadi seperti kewajaran. Perlu perbaikan sistem kepartaian, pola rekrutmen dan menekan biaya dalam pemilu.

Tidak dapat disangkal terkait pemilu memang berbiaya tinggi. Pemilu berbiaya tinggi karena praktik politik uang masih pula bercokol.

Aspinall dan Ward Berenchot (2019) mencatat bahwa dari masa ke masa, pemilu di era reformasi semakin mahal dari mulai level lokal sampai nasional dengan pemilu 2019 sebagai pemilu termahal.

Biaya pemilu yang tinggi ini berdampak pada maraknya praktik korupsi di berbagai level lembaga negara karena para calon terpilih baik di legislatif berkepentingan meng embalikan modal yang telah mereka keluarkan.

Bahkan, penelitian Edi Rohaedi dan R. Muhammad Mihradi (the Practices of Licence and Politics of Local Leader Election In Indonesia, American Journal of Humanities and Social Sciences Research, Vol.03-Issue 09,pp122-127) menunjukan pemilu yang mahal khususnya di daerah melahirkan praktik penyimpangan perizinan akibat praktik cukong saat pra dan pasca pilkada.

Agenda Ke Depan Demokrasi harus diperbaiki. Oleh semua pihak. Ruang publik harus kembali disehatkan. Melalui partisipasi publik. Bukan koersi apalagi mobilisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun