"Saya minta pertanggung-jawaban orang tuanya segera, atau anak saya akan saya visum, jika perlu saya minta autopsi !!!"
Begitu luapan emosi seorang ibu yang mendapatkan berita anaknya terluka ditendang oleh temannya di sekolah. Sampai mengancam dengan istilah visum dan autopsi, mungkin karena  sering menonton "Criminal Minds" (padahal autopsi artinya bedah mayat oleh tim forensik).
Anak berkelahi di sekolah adalah hal yang umum terjadi sejak zaman saya bersekolah dulu, sampai hari ini saat sudah menjadi guru selama dua puluh tahun lebih. Jika anak berkelahi, reaksi orang tua pun bermacam-macam. Ada yang menanggapi dengan tenang, ada yang penuh emosi.
Sesungguhnya apa penyebab anak berkelahi di sekolah?
1. Cari perhatian
Ternyata salah satu penyebab anak membuat keributan adalah karena ia ingin diperhatikan. Walau perhatian yang didapat bukan dalam pengertian positif, bagi anak yang haus perhatian, diperhatikan karena membuat ribut tetap lebih baik daripada tidak diperhatikan sama sekali.
Menyedihkan sekali bukan? Maka dari itu, ahli pendidikan dan perkembangan anak tidak jemu-jemunya menghimbau guru dan orang tua untuk memberikan perhatian kepada anak. Puji anak ketika kita melihatnya melakukan hal baik, maka dia akan mengubah cara dalam menarik perhatian dari membuat ribut menjadi melakukan hal baik.
2.Tidak dapat mengontrol emosi
Anak yang kurang kontrol emosi cenderung reaktif dalam menanggapi hal yang kurang menyenangkan. Banting, tendang, jambak, adalah jawabannya jika merasa terganggu. Jangan sepelekan jika anak memiliki kecenderungan seperti ini, karena lambat laun intensitasnya akan makin meningkat jika dibiarkan.
Satu catatan berdasarkan pengalaman dan hasil diskusi dengan sesama rekan pendidik, orang tua yang tidak dapat mengontrol emosi dapat dipastikan mewariskan perilaku ini kepada anaknya.
3. Tidak paham cara bersosialisasi
Sosialisasi, bahasa sederhananya: bergaul, menjadi bagian dari lingkungan dan masyarakat. Menyesuaikan diri dengan budaya dan tata cara, perlu dipelajari anak sejak kecil. Dimulai dari lingkungan keluarga inti, dan tentunya dimulai dari mengamati dan meniru orang tua sebagai guru pertamanya.
Masalah akan timbul jika orang tua terlalu sibuk, pergi pagi pulang malam, tidak ada interaksi dengan anak. Tidak ada contoh cara bicara, cara bersikap yang dapat diamati dan ditiru oleh anak.
Begitu pula jika orang tua adalah tipe yang pendiam, sangat serius, tidak pernah bergurau. Anak pun akan gagap dalam menyikapi lingkungan sekolah yang ramai dan bereaksi berlebihan jika ada teman yang mengajaknya bercanda.
4. Terlalu sering terpapar media yang memicu perilaku agresif
Jurnal psikologi dari Fakultas psikologi Universitas Gajah Mada yang berjudul "Pengaruh Terpaan Kekerasan Media Audio-Visual Pada Kognisi Agresif dan Afeksi Agresif Studi Meta-Analisis", membahas penjelasan Anderson dan Bushman, bahwa kekerasan pada media seperti film dan televisi memicu agresivitas anak.
Terlebih games kekerasan, Â dengan sifat interaktifnya melibatkan anak secara aktif melakukan kekerasan (walau sebatas game), ternyata membentuk kebiasaan agresif yang berpengaruh pada interaksi sosial anak.
Perhatikan penyebab-penyebab di atas, segera cari solusinya sehingga kebiasaan anak berkelahi di sekolah dapat di ubah.
Apa yang harus dilakukan ketika anak berkelahi di sekolah?
1. Cari tahu duduk perkaranya
Hubungi pihak sekolah, tanyakan kronologi kejadiannya.
Sekolah  tentu akan menyelidiki semua kejadian perkelahian anak. Mulai dari bertanya kepada anak yang terlibat perkelahian, anak yang menyaksikan, dan untuk perkara yang serius, mereka juga akan membuka rekaman CCTV (jika ada) untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang apa yang terjadi.
Jangan mencari tahu sendiri dari sumber lain yang tidak benar-benar paham kejadiannya. Terlebih lagi, jangan langsung mencari tahu ke orang tua atau anak yang berkelahi dengan anak kita. Alih-alih menyelesaikan masalah, yang ada malah kedua orang tua jadi ribut berselisih paham.
2. Cari solusi
Setelah tahu apa yang terjadi termasuk apa pemicunya, kita dapat lebih mudah mencari solusi. Tidak jarang solusi baru akan tercipta jika ada kesepakatan dari kedua pihak.
Untuk itu bisa saja sekolah merasa perlu mempertemukan kedua orang tua. Harap dicatat, pertemuan ini bukan untuk menekan pihak yang dianggap bersalah.
Tidak perlu ada kemarahan yang diumbar, apalagi sampai mengancam mau memanggil pengacara ataupun memvisum anak yang pada akhirnya membuat masalah makin meruncing. Sekadar catatan, visum et repertum dilakukan atas permintaan kepolisian/penyidik kepada fasilitas kesehatan untuk mendapatkan informasi akurat kondisi korban kekerasan. Jadi bukan atas permintaan pribadi.
Apakah perkara seperti ini perlu sampai naik ke kepolisian? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Sangat tergantung pada tingkat bahaya dan keseriusannya. Yang perlu diingat, anak pun mengamati langkah yang diambil oleh orang tuanya. Ini akan menjadi bagian pembelajaran yang akan dia tiru kelak di kemudian hari.
3. Tanya apa yang anak rasakan dan apa yang dia harapkan
Sejak awal mendengar anak berkelahi, orang tua perlu mengajak anak bicara. Tanya apa yang terjadi, apa yang dia rasakan. Jika kejadian serupa terjadi, harus bagaimana? Ajak anak berdiskusi dan memahami apa yang terjadi secara obyektif.
Misal: " Ooo... jadi tadi Adek dipukul Andrew karena mengambil pensilnya tanpa izin?"
"Apakah Adek senang kalau ada yang mengambil barang tanpa izin?"
"Lain kali harus bagaimana kalau mau memakai pensil milik orang lain?"
Tentunya kita perlu menjelaskan bahwa tindakan Andrew yang memukul tidak benar, namun anak perlu tahu bahwa dia juga salah dan memicu terjadinya tindakan pemukulan.
Setelah ada kesepakatan dan penyelesaian, tetap pantau perkembangan yang terjadi.
Orang tua boleh saja sibuk bekerja, tapi harus tetap menyisihkan waktu untuk berkomunikasi dengan anak dan mencari tahu apa saja yang dia alami.
Sumber: www.jurnal.ugm.ac.id jpsi article
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H