Mohon tunggu...
Prajna Dewi
Prajna Dewi Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang terus berjuang untuk menjadi pendidik

Humaniora, parenting, edukasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyetop Si Preman Cilik

3 Juni 2022   05:30 Diperbarui: 19 Juni 2024   02:06 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak "preman". Sumber: www.freepik.com

“Wiii, gue maluuuuu!!! Josh (bukan nama sebenarnya) jadi preman…. !!!”, melengking teriakan panik sahabatku saat WA call kemarin malam. Sahabatku dipanggil kepala sekolah anaknya, karena ternyata akhir-akhir ini Josh ketahuan sering mengancam teman-temannya.

Berbadan besar seperti Bapaknya yang orang asli Australia, ancaman Josh (bukan nama sebenarnya) tentunya cukup mengerikan. Walaupun tidak sampai memukul, teman-temannya 'auto' takut kalo Josh memaksakan kehendak sambil mengancam.

“Terus apa yang lo lakukan?”, penasaran dengan langkah yang diambil sahabutku. “Gue panggil Josh, dia gak mau ngaku, gue ancam aja, “Awas kalau sampe Mommy dipanggil lagi, kamu tinggal aja di sekolah, gak usah pulang ke rumah, bikin malu !”, jawabnya dengan jengkel.

“Lah, lo sendiri bergaya preman gitu, main ngancem-ngancem,” komentarku.

Mengancam, menurut KBBI adalah menyatakan maksud untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan atau membuat pihak lain celaka.

Josh, baru berusia tujuh tahun, kok sudah bisa bergaya ala preman pakai mengancam segala kalau kemauannya tidak diikuti teman-temannya? Emang usia tujuh tahun sudah bisa ya begitu?

Bisa, sangat bisa. Loh? Belajar dari mana, kok kecil-kecil jadi preman? Pertanyaan bagus.

Mengapa Anak Bisa Mengancam, Bergaya Bak Preman?

Banyak faktor yang membuat seorang anak memunculkan perilaku mengancam, orang tua perlu introspeksi diri dan mencari sebabnya secara jujur, beberapa faktor pemicu perilaku mengancam pada anak adalah: 

1. Meniru Interaksi Orang Sekitarnya

Ingat, anak adalah peniru ulung. Walaupun sepertinya dia tidak memperhatikan dan sedang asyik bermain, sesungguhnya dia pasang telinga terhadap sekitarnya. 

Apalagi jika menangkap adanya pembicaraan yang serius antara kedua orang tuanya.

 Terkadang di saat emosi, perdebatan sengit antar pasangan bisa meningkat menjadi saling mengancam.

Atau bisa juga dia melihat mamanya yang kesal dengan asisten rumah tangga yang teledor, dan mengeluarkan ancaman, “Marniii.. sudah 3x kamu pecahin piring, pecah sekali lagi saya potong gaji kamu ya!”

Kejadian-kejadian yang memuat ancaman seperti contoh di atas akan mereka rekam, dan keluar menjadi perilaku jika bertemu dengan kondisi yang pas.

2. Anak Kerap Mendapatkan Ancaman

Sedihnya, tanpa disadari, orang tua atau pengasuh kerap mengancam anak jika tidak mengikuti apa yang diminta. Seperti “Loh, ini kok mainannya tidak dibereskan, Mama buang ya !”

Bahkan ancaman sudah dilakukan secara prematur, sebelum anak mengulangi kesalahannya,   seperti kalimat yang diucapkan oleh sahabat saya di atas, “Awas kalau sampe Mommy dipanggil lagi, kamu tinggal aja di sekolah, gak usah pulang ke rumah, bikin malu !”

Siapa coba yang lebih preman? 

Terkadang ancaman orang tua/pengasuhnya lebih ngawur lagi, kenapa ngawur? Karena sama sekali tidak berhubungan. 

Contohnya ketika anak tidak mau mandi sore, Mama langsung berteriak, “ Mbak !!!, panggilin Pak polisi, ini Adek gak mau mandiii..” 

Apa coba hubungannya polisi dengan anak yang tidak mau mandi.

3. Anak Merasa Superior

Anak dapat melakukan ancaman kepada teman sebaya, saudara, bahkan kepada orang tuanya sendiri karena tahu bahwa dia punya kekuatan.

Mengancam teman sebaya karena tahu bahwa badannya lebih besar, teman-temannya atau saudaranya yang lebih kecil takut menolak permintaannya kalau dia sudah memaksa apalagi mengancam.

Anak juga bisa mengancam orang tuanya ketika dia tahu bahwa dia unggul secara posisi karena keadaan/statusnya. Contohnya anak yang sudah ditunggu lama, atau anak yang sakit-sakitan, atau anak yang merupakan cucu kesayangan kakek neneknya.

Jika permintaannya tidak dituruti, dia akan mudah mengancam, memaksa sampai keinginannya terpenuhi. Mulai dari menangis, pura-pura batuk sampai mau muntah, bahkan menjatuhkan diri dan membenturkan kepala.

4. Butuh Perhatian 

Anak yang kurang perhatian dari orang tua, juga dapat tumbuh menjadi anak yang temperamental, mudah marah jika permintaannya ditolak dan lalu mengancam.

Anak yang kurang perhatian juga berusaha mencari-cari perhatian supaya dianggap ada. Seeking of attention, adalah salah satu faktor pencetus perilaku mengancam. 

Contoh Mama yang terlalu memperhatikan adik, tentunya membuat kakaknya jadi cemburu karena merasa diabaikan. Maka ketika terjadi sedikit saja perselisihan, dia akan mudah mengancam adiknya, ketika adiknya menangis, setidaknya dia jadi perhatian mamanya saat itu.

Karena dimarahi masih jauh lebih baik daripada dianggap tidak ada.

Disisi lain, orang tua yang terlalu memanjakan anak juga tanpa sadar menjadi pendorong perilaku mengancam. Mereka merasa lucu dan tertawa saat melihat anaknya mengeluarkan ancaman ke pihak lain. 

Menceritakan dengan bangga ke orang lain bahwa anaknya jagoan.  Maka anak yang membutuhkan perhatian akan termotivasi untuk meneruskan perilaku bak premannya karena tahu orang tuanya memperhatikan dan bangga karenanya.

Jika Sudah Terlanjur Terbentuk Kebiasaan Mengancam Pada Anak, Apa Yang Harus Dilakukan?

1. Jelaskan Ke Anak Bahwa Mengancam  Melakukan Tindakan Kekerasan Adalah Hal Serius

Sampaikan bahwa semua tempat, termasuk sekolah ada aturan yang berlaku. Mengancam, apalagi sampai memukul pasti dikategorikan sebagai pelanggaran peraturan yang bisa membuat anak mendapat hukuman dari pihak sekolah.

Bacakan bunyi tata -tertib peraturan di sekolah terkait tindak kekerasan yang dilakukan.

Bila perlu dapat disampaikan pada anak, bahwa perilaku mengancam dan memukul, jika terus dilakukan sampai dewasa, dapat disebut sebagai tindak pidana, yang berakibat pelaku bisa masuk penjara. Tunjukkan berita-berita pelaku ancaman dan tindak kekerasan yang harus mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka ke ranah hukum.

2. Ajarkan Komunikasi Dan Negosiasi

Anak mengancam karena sudah kehabisan cara untuk mendapatkan apa yang dia mau. Ajarkan mereka menyampaikan apa keinginannya dengan bahasa yang baik.

Bila perlu lakukan simulasi/bermain drama bersama anak bertema meminjam barang, meminta dibelikan sesuatu, atau apapun itu yang kita ketahui merupakan kejadian dimana anak sering mengancam.

Momen bermain drama ini adalah momen yang tepat untuk anak melatih cara berkomunikasi yang tepat dan belajar cara bernegosiasi saat mengalami penolakan. Karena saat bermain, anak cepat menyerap informasi yang disampaikan kepadanya.

3. Kesepakatan Keluarga Dan Konsistensi

Orang tua, pengasuh, termasuk kakek nenek dan semua yang terlibat dalam pengasuhan harus sepakat dan memiliki satu pandangan bahwa kebiasaan anak mengancam harus diubah.

Tunjukkan kepada anak bahwa tidak ada orang yang mendukung perilaku mengancam ketika mau mendapatkan sesuatu.

Bahkan jika anak mulai menangis sampai muntah, biarkan saja, toh muntah tidak akan berakibat fatal. Kecuali ketika anak akan melakukan tindakan berbahaya, perlu segera dipeluk untuk menyetop tindakannya tersebut. Namun ingat, tetap tidak memberikan apa yang dia mau.

Karena sekali anak menemukan bahwa tindakannya yang menekan orang tua akan  membuahkan hasil, maka tindakan itu akan dia teruskan bahkan hingga dewasa.

4. Apresiasi

Berikan pujian dan apresiasi jika anak menunjukkan sikap yang baik saat permintaannya ditolak. 

Pelukan dan pujian seperti "Adek pintar ya, tahu bahwa sekarang sedang pilek dan tidak boleh makan es krim". "Kalau sudah sembuh, ingatkan Mama untuk belikan es krim ya."

Atau "Mama dengar dari Ibu guru Adek sekarang baik ke teman-teman,  Mama senang sekali anak Mama baik." 

Dengan mengapresiasi sikapnya yang baik, anak akan termotivasi untuk meneruskan perilaku positifnya karena dia tahu orang tuanya memperhatikan sikap positifnya dan menghargainya.

Mengubah kebiasaan mengancam pada anak memang tidak mudah, namun bukan hal mustahil. Lebih baik mengeluarkan upaya lebih sekarang daripada perilaku mengancam ini terus melekat pada anak dan melekat menjadi kebiasaan buruk yang akan membuatnya susah suatu hari nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun