Mohon tunggu...
Prajna Dewi
Prajna Dewi Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang terus berjuang untuk menjadi pendidik

Humaniora, parenting, edukasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merangkul Siswa SMP Lewat Komunikasi

16 April 2022   05:09 Diperbarui: 16 April 2022   06:11 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Hukum Komunikasi Albert MehrabianSumber: www.pintrest.co.uk

Mengisi waktu akhir minggu yang panjang dengan membaca kompasiana, mataku tertumbuk pada  artikel yang ditulis  Pak Cipto Lelono ,  berjudul "Pentingnya Mengelola Lisan dalam Mewujudkan Harmoni Sosial".  Ditambah  semangat  hari libur masih panjang, aku putuskan untuk mengulik tema komunikasi menghadapi siswa SMP

Siswa SMP umumnya berada pada periode usia 12 – 15 tahun, yang merupakan periode remaja yang diawali dari usia 12 tahun melalui tanda tanda pubertas yang membawa implikasi pada bukan hanya perubahan fisik namun juga psikis.

Pakar Psikologi pendidikan, John W. Santrock mengatakan bahwa siswa SMP menginginkan pengakuan dan penerimaan kelompok seiring perkembangan harga diri remaja yang ingin dilihat, diperhatikan dan “terkenal”.  

Karakteristik ini menyebabkan siswa SMP cenderung menyembunyikan kesalahan untuk menghindari konsekuensi karena hukuman menjatuhkan harga diri. Mereka jadi sulit disentuh dan diajak berdisiplin.

Siswa SMP juga mempunyai pola hubungan guru dan siswa yang berbeda dengan pola hubungan pada siswa sekolah dasar. Siswa sekolah dasar dengan mudah menerima dan bergantung kepada guru mereka. 

Namun pada usia remaja hubungan ini berkembang menjadi lebih rumit. Kadang siswa dapat menjadi sangat dekat dengan guru, beberapa siswa menjadikan guru sebagai panutan,  namun pada saat yang sama beberapa remaja dapat membantah gurunya dengan cara yang bahkan tidak terpikirkan oleh mereka sebelumnya dan beberapa menentang gurunya secara terbuka.

 Apakah Hukuman Merupakan  Alternatif Terbaik Mengajak Siswa  Berdisiplin?

Banyak guru memandang konsekuensi berupa hukuman  sebagai jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi terkait perilaku siswa. Bahkan ada yang  berpendapat bahwa hukuman adalah cara mendidik dan itu dinyatakan sebagai bentuk dari kasih dan perhatian (Ardiyanto 2010, 35).

Hal ini didukung oleh hasil survei yang dilakukan oleh UNICEF pada tahun 2006  yang mendapatkan bahwa 90% guru Indonesia menghukum muridnya dengan cara menyetrap dan membentak, dan 47% menghukum siswa dengan membersihkan WC. 

Tahun 2006, bagaimana dengan kondisi sekarang? Sepertinya tidak lebih baik, bahkan di Januari 2022, beredar berita guru di Buton yang menghukum muridnya dengan memberi makan sampah.

Pada kenyataannya bukanlah akibat positif yang didapat, konsekuensi  berupa hukuman malah makin menjauhkan siswa dari guru, meningkatkan kekerasan dan perilaku buruk mereka. Karena konsekuensi berupa hukuman membawa guru untuk hanya memusatkan perhatian pada perilaku buruk siswa semata.

Kekerasan yang dilakukan guru bahkan membuat siswa semakin berani menentang, karena balik kepada teori cara bekerja otak seperti yang saya uraikan pada artikel di kompasiana yang berjudul "Mengintip Fenomena Klitih Lewat Kacamata The Triune Brain", saat reptilian brain/otak reptil dipicu kemarahan dan emosi, maka arus berpikir siswa tidak akan pernah sampai pada kesadaran dan evaluasi terkait kekeliruannya.

Lantas, bagaimana caranya untuk membuat siswa disiplin?

Komunikasi Sebagai Alternatif Meningkatkan Kedisiplinan Siswa

Salah satu alternatif untuk meningkatkan disiplin siswa adalah melalui komunikasi. Komunikasi sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh guru Bimbingan Konseling namun oleh semua guru.

Dalam buku psikologi pendidikan, Santrock     menyebutkan    keahlian komunikasi sebagai salah satu pengetahuan dan keahlian profesional  yang membuat guru menjadi efektif. 

Dengan langkah-langkal sebagai berikut:

1. Kejelasan Dalam Berkomunikasi

Komunikasi menurut Brran  adalah transmisi pesan dari suatu sumber kepada penerima. Sampai si penerima pesan mau dan mampu menjalankan pesan, diperlukan kejelasan dalam penyampaian. Turunkan ekspektasi kita terkait pemahaman siswa.

Contoh: Saat guru lukis memerintahkan siswa mencuci kuas yang habis dipakai hingga bersih, perlu dijelaskan apa akibatnya jika kuas menyimpan sisa cat. Pemahaman bahwa sisa cat dapat membeku dan merusak bulu kuas, akan membuat siswa berdisiplin mencuci kuas hingga bersih.

Mungkin sebagian orang berpikir, masa sih begitu pun harus dijelaskan? 

Kenyataannya adalah guru cenderung menggunakan pola pikir kita sebagai manusia dewasa yang sudah banyak tahu. Namun kenyataannya kita berhadapan dengan murid yang berbeda pengetahuan dan pengalamannya dengan guru.

2. Menggunakan Bahasa yang Baik

Konteks bahasa di sini adalah  bahasa verbal maupun non verbal. Seperti yang dikatakan oleh Albert Mehrabian lewat hukum komunikasi nya, bahwa faktor verbal hanya memegang peranan 7%  sebagai kunci impresi dan pemahaman.

Yang dominan adalah intonasi/vocal  dan non verbal/visual  seperti ekspresi dan gesture.

Artinya saat kita bicara, perlu dijaga intonasinya terkendali, gesture tidak menunjukkan ketidaksukaan apalagi kemarahan. Dengan bahasa yang baik akan membawa pula perubahan sikap menjadi baik.

Perlu diingat, apapun  pendekatan yang diambil dalam menghadapi perilaku siswa, pada dasarnya kita sedang menawarkan suatu model untuk dicontoh oleh mereka.

 Hukum Komunikasi Albert MehrabianSumber: www.pintrest.co.uk
 Hukum Komunikasi Albert MehrabianSumber: www.pintrest.co.uk

3. Masukkan Unsur Empati   

Komunikasi juga membutuhkan empati, yakni kemampuan untuk menempatkan diri kita pada situasi yang dihadapi orang lain. 

Mencari tahu alasan yang ada dibalik pelanggaran siswa dapat membangun empati kita. 

Saat Siswa merasakan adanya empati, biasanya mereka akan lebih terbuka menceritakan permaslahannya.

Contoh Siswa yang tidak mau menyalakan camera saat belajar daring. Sementara aturan sekolah jelas tertera bahwa siswa wajib menyalakan kamera. Ternyata saat diajak bicara, didapati bahwa siswa terpaksa mematikan kamera karena malu dengan kondisi rumahnya yang kecil, dan ayahnya yang selalu lalu lalang hanya dengan kaos singlet.

 Empati saja tidak menyelesaikan masalah, perlu langkah selanjutnya, kita bisa ajak mereka memikirkan alternatif apa saja untuk mengatasi problem ayahnya yang lalu-lalang. 

Apakah dengan membuat penghalang di belakang punggung, mengganti arah duduk dan sebagainya.

Ajakan ini mengacu pada teori yang diungkapkan Thomas Lickona, bahwa pembentukan karakter berarti pembentukan "Lifelong learner and critical thinker"  yang membentuk siswa sebagai pembelajar sepanjang hayat yang kritis.

Nah, punya murid yang tidak disiplin? Mungkin Tips di atas dapat dicoba. Selamat mencoba.

Sumber:

Ardiyanto, Gunawan. A to Z Cara Mendidik Anak. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010.

Baran, Stanley J. Introduction to Mass Communication, Mc Graw-Hill, 2008.

Santrock, John W. Educational Psychology. McGraw-Hill Company.Inc, 2004.

           

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun