Mohon tunggu...
Prajna Delfina Dwayne
Prajna Delfina Dwayne Mohon Tunggu... Penulis - Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan tahun 2022. Saat ini bekerja sebagai Legal Manager and Government Relationship di Rekosistem, perusahaan pengelolaan sampah berbasis teknologi.

Tujuan publikasi di Kompasiana untuk menggali potensi sebagai penulis, melatih metode penelitian, dan memperdalam kemampuan analisis. "Learn, unlearn, relearn"

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Kompetisi Sesungguhnya ialah Melawan Diri Sendiri

22 Juni 2024   07:00 Diperbarui: 26 Juni 2024   12:40 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI Sukses dan Gagal | SHUTTERSTOCK/DIMJ via Kompas.com

Dari pengalaman mengikuti tes penempatan ini, Fari langsung mengajakku untuk berlatih berbicara menggunakan Bahasa Inggris. Menurut Fari, cara berbicaraku menggunakan Bahasa Inggris masih bisa dimengerti. Aku hanya perlu lebih percaya diri dan tidak harus selalu memikirkan tentang grammar sebelum berbicara. Serupa dengan apa yang dikatakan oleh atasanku yang lebih dari setengah hidupnya tumbuh dan mengenyam pendidikan di luar negeri dengan bahasa sehari-hari Bahasa Inggris. Intinya, aku hanya perlu untuk lebih percaya diri dalam menggunakan Bahasa. 

Jujur, aku memang seharusnya lebih bisa mengapresiasi diriku sendiri yang belakangan ini terutama saat sudah bekerja, aku dapat lebih lancar berbicara menggunakan Bahasa Inggris, terutama dengan native speaker. 

Sedangkan terakhir aku mengikuti perlombaan menulis essay yang mengharuskan diriku untuk presentasi menggunakan bahasa inggris di tahun 2019, aku sama sekali tidak dapat menjawab pertanyaan juri. Karena sebelumnya saat presentasi aku hanya membaca naskah yang telah kutulis dan kuterjemahkan sebelumnya menggunakan Google Translate. 

Menurutku, ini merupakan salah satu dampak positif dari bekerja di Ibukota Jakarta, yaitu dapat bertemu orang yang dapat diajak berbicara menggunakan Bahasa Inggris tanpa 'sok' memperbaiki grammar. Bisa jadi karena masih ada sedikit trauma yang membekas di alam bawah sadarku karena guru bahasa inggris di sekolah dulu sering mengejek kemampuan berbahasa inggris siswa. Antar siswa pun sering mengejek teman yang berusaha belajar menggunakan bahasa inggris. Akhirnya, rasa malu terus menghantui hingga hari ini. 

Belakangan ini aku semakin menyadari bahwa kebutuhan mendasar dari mempelajari suatu bahasa baru ialah dapat berkomunikasi dengan orang lain sehingga lawan bicara dapat mengerti apa yang disampaikan. Kecuali memang memutuskan untuk sekolah di luar negeri (atau berbagai alasan lain) yang membutuhkan sertifikat kemampuan bahasa. Seperti yang sedang aku rencanakan saat ini.

Kami mengenang masa kecil sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar hingga menengah atas. Sering kali kami dibanding-bandingkan dengan kemampuan orang lain dibandingkan mendapatkan arahan untuk menjadi lebih baik sesuai dengan versi diri sendiri. 

Contoh: "Lihat tuh si A aja bisa, masa kamu ga bisa."; "Dia pinter lho sekolahnya bisa juara, kok kamu rangking paling bawah?"; dan berbagai cibiran lainnya. 

Dewasa ini, kami menyadari bahwa sesungguhnya lawan terbesar kami ialah diri sendiri. Setiap orang memiliki potensi dan keunikan masing-masing yang perlu digali dan diasah, bukan dibandingkan dengan kemampuan dan karakter orang lain. 

Seandainya dulu para siswa diberikan pemahaman mengenai yang seharusnya diperbaiki ialah kebiasaan sehari-hari dan pembagian rapot merupakan momen untuk evaluasi perkembangan siswa (bukan untuk menjatuhkan), mungkin lonjakan generasi NEET (Not in education, employment, and training) tidak akan terjadi. 

Seandainya sejak dulu sifat dan perilaku saling mendukung (support) satu sama lain, bukan saling mengejek itu sudah tertanamkan, mungkin banyak orang yang mau untuk terus belajar seumur hidupnya. "Sekolah" tidak akan menjadi tempat penindasan atau momok bagi banyak siswa. 

Belakangan ini di media sosial sedang dihebohkan dengan David Beckham --pemain bola yang sudah pensiun-- berkebun dan berternak di halaman rumahnya bisa menjadi sangat menakjubkan. Sedangkan di Indonesia banyak berita yang mengangkat isu tentang banyaknya petani yang menjual lahannya dan beralih profesi karena tidak ada penerus dan tidak terlihat masa depan yang cerah tentang pertanian Indonesia -- padahal Indonesia merupakan negara agraris. Bahkan tongkat kayu dan batu pun dapat menjadi tanaman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun