Hari ini saya menutup hari dengan makan kwetiau goreng buatan Mas Karyo di pinggir jalan Melawai, tepat sebelum jalan pulang ke kediaman. Saya baru mengenal rasa masakan Mas Karyo kurang lebih satu minggu lalu, padahal sudah hampir 2 (dua) tahun saya bekerja di daerah Melawai.
Saya dikenalkan oleh teman kantor saya yang pada waktu itu membeli capcay sehabis olahraga lari. Ternyata enak dan harganya murah. Lewat didepannya saja sudah tercium harum bawang putih yang ditumis.
Dalam seminggu terakhir setidaknya sudah 3 kali saya mencoba makan beberapa variasi masakannya seperti nasi goreng mawut, capcay, dan kali ini kwetiau. Lumayan untuk memberikan variasi makan malam saya. Maklum, anak kos yang malas masak.Â
Biasanya saya menghindari untuk memegang handphone atau melakukan sesuatu sambil makan. Saya memilih untuk fokus makan dan menikmati makanan saya. Namun, majalah The Economist yang kebetulan sedang saya tenteng sangat menggoda untuk dibaca. Karena iseng, saya makan sambil membaca halaman yang menurut saya tidak banyak yang perlu dicerna, yaitu "Letters".
Saya cukup kaget ketika membaca salah satu kolom yang ditulis oleh anak berusia 11 tahun asal Edinburgh. Ia menanggapi artikel tentang Taylor Swift yang kurang lebih terbit pada bulan April 2024. Pikiran saya langsung terbang ke masa saat usia saya berusia 11 tahun, sepertinya untuk mencerna koran pun belum sanggup, tertarik saja pun tidak, kecuali hanya membaca kata per kata.Â
Apa yang saya baca tadi merupakan tulisan seorang anak 11 tahun yang sudah berani dan bisa mengirimkan opininya mengenai artikel yang berjudul "Has Taylor Swift peaked?" bahkan menentangnya dengan menuliskan "you are wrong to ask ...", sangat mengesankan. Meskipun tulisan ini bisa jadi dibantu oleh orang tuanya, tetap saja saya sangat mengapresiasi orang tua yang sudah mengekspos isu global (salah satunya melalui Majalah The Economist) kepada anaknya sejak dini.Â
Kemarin, atasan saya yang merupakan lulusan SMP di Malaysia, SMA di Singapura, dan S1 di Australia, juga cukup kaget melihat saya membawa The Economist ke kantor dengan mengatakan, "lo baca The Economist, Praj? OMG dulu gue juga baca ini pas gue masih 15 tahun.
Di jaman itu kan media sosial belum sekenceng sekarang, jadi kalau mau tau isu global masih harus beli ginian". Saya hanya menjawab, "karena gue baru mampu baca (karena sebelumnya masih kurang menguasai Bahasa Inggris) dan mampu beli baru-baru ini, Kak". Sehingga, ketika saya membaca tulisan sang anak perempuan tadi, langsung terbesit di pikiran saya bisa jadi hal ini memang hal yang 'biasa' di luar negeri.Â
Terlebih di era digital ini, sudah sangat jarang (bahkan belum pernah) saya melihat secara langsung maupun di media sosial mengenai anak sekolah dasar yang membaca majalah. Kalaupun ada, biasanya langsung 'didewa-dewakan'. Padahal seharusnya membaca majalah, koran, buku merupakan hal yang 'biasa' dan wajib dilakukan untuk memperkaya wawasan dan pada akhirnya melahirkan penulis baru.
Meskipun hanya bisa menulis email ataupun surat cinta, semuanya membutuhkan struktur bahasa yang perlu diasah dimulai dari kebiasaan membaca.Â