9 April 2024, Jakarta Selatan
Hari ini kuhabiskan waktu setengah hari bersama mentorku (Nicky Fahrizal - Peneliti CSIS). Dari makan siang di Bakmi Sinar Utama, ngopi di Tuang - Barito, sampai dengan makan bubur dan nasi campur di Kaca Mata Grand Wijaya.
Selama itu kami banyak berdiskusi tentang pedagog - metodologi yang digunakan para guru atau calon guru yang sedang atau sudah menempuh pendidikan (S.Pd).
Berawal dari pembicaraan tentang pendidikan di sekolah waktu masih di Palembang yang dulu cukup diskriminatif. Kebetulan aku dan Nicky sempat bersekolah di salah satu sekolah yang sama. Nicky bercerita bahwa ia dulu pernah disebat (dipukul dengan penggaris kayu panjang) gara-gara berisik di kelas.
Saat gurunya melontarkan pukulan ke kakinya, penggaris tersebut patah. Gurunya minta anak terpintar di kelas untuk mengambil penggaris baru ke bagian alat tulis di bawah.
Dari sanalah terbesit pikiranku bahwa anak-anak sudah ditunjukkan atau diberi contoh oleh gurunya untuk bersikap diskriminatif. Kenapa yang dihukum selalu yang nakal? padahal anak nakal belum tentu salah dan anak pintar juga bisa dan berpotensi untuk berbuat salah. Mengapa anak yang pintar selalu dielu-elukan dan dianak emaskan, padahal semua murid berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Siapapun yang melakukan hal benar patut diapresiasi dan yang salah atau melanggar patut untuk diberi pelajaran.
Kemudian ada lagi contoh sikap diskriminatif sekolah yang membuat pandangan anak IPA adalah lebih pintar dibandingkan anak IPS, apalagi Bahasa. Padahal, kecerdasan manusia itu beranekaragam. Dari kemampuan berhitung, menggambar, bermusik, bertutur kata, beretorika, sampai dengan bercocok tanam dan merawat hewan/binatang.
Cukup sering kutemui "anak berkebutuhan khusus", bukan karena ia terlahir spesial. Tapi karena lingkungannya tidak baik dan tidak mendukung anak-anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara ideal. (Saya tidak mengatakan harus sempurna).
Contoh, anak yang kedua orangtuanya bekerja lebih dari 8 jam sehari sehingga hanya tinggal dengan pembantu yang selalu dipaksa untuk menuruti segala keinginan sang anak. Sehingga sang anak tidak punya kontrol atas keinginan / nafsu pribadi dan kurang perhatian. Padahal kita juga ga bisa memberikan beban 100% pada orang tua. Karena "it takes a village to raise a child".
Kalau dipikir-pikir, mayoritas guru di Indonesia itu cuma lulusan S1 pendidikan atau bahkan sarjana muda. Sering mengikuti pelatihan yang diadakan setiap tahun atau semester yang diadakan oleh sekolah untuk dapat mengikuti kurikulum yang terbaru dari kemendikbud. Tapi pengalamannya kurang. Akibatnya, pelajaran di kelas pun jadi kurang menarik.
Makanya aku bilang ke Nicky, kalau ada kesempatan yang terbuka atau ada yang membutuhkan, aku bersedia untuk jadi guru, mentor, narasumber kuliah umum atau apapun itu yang memberikanku kesempatan untuk bisa sharing pengalaman. Aku harus mempersiapkan diri mulai dari sekarang agar layak dan pantas untuk dapat membagikan pengalaman dan pengetahuan tersebut ke orang lain.
Aku memang terlihat banyak keinginan, tapi aku percaya. Apa yang kuinginkan ini sekarang atau suatu saat nanti akan berguna untuk diriku sendiri dan orang lain. Aku mau menuliskan sebanyak mungkin apa yang aku dengar dari dan diskusikan dengan Nicky.
Contohnya tadi sempat aku menyampaikan tentang pentingnya organisasi zaman sekarang untuk bisa beradaptasi dengan media digital. Dan bukan cuma kerjaan salah satu admin atau karyawan doang tapi juga kalau bisa tiap individu punya bekal untuk menggunakan media sosial -- salah satunya Instagram.
Kalau dulu ada pelajaran TIK, diajarkan ilmu mengetik 10 jari, menggunakan photoshop sederhana, ngerakit pc, dan lain sebagainya). Sekarang bisa jadi pelajaran teknologi informatikan sudah mengolah data, membuat dan mengedit video, powerpoint, sekaligus presentasi. Di sisi lain juga mengingatkan adanya bahaya dari media sosial dan menggunakan Artificial Intelligence. Namun apabila digunakan dengan tepat dapat bermanfaat dan membantu kehidupan sehari-hari bahkan masa depan manusia.
Tantangan selanjutnya adalah kolaborasi, menyatukan karakter orang yang berbeda, lebih dari dua bidang usaha yang berbeda untuk satu tujuan. Biar bangsa ini jadi bangsa yang kuat, ga rapuh.
Aku sudah mulai posting hasil bacaan, mulai menulis untuk menanggapi isu masa kini meski jarang di publish. Mungkin kalau ada kesempatan juga mau ikut kelas menulis atau jurnalistik untuk dapat mengasah kemampuan menulis.
Kalau kata Nicky, bisa juga saat ini aku tabung bacaan. Suatu saat ada yang berkaitan dengan pengetahuan yang sudah aku tabung bisa tinggal dituangkan. Riset yang dilakukan tidak perlu dilakukan dari awal. Aku juga ingat dengan apa yang dikatakan oleh dr. Yudhi Gejali, saat latihan meditasi bulan April yang lalu. Kalau kita lagi sering ngawang-ngawang pikirannya, ingatlah unsur tanah, jangan lupa untuk berpijak ke bumi. Manifestasikan dalam perbuatan dan kebiasaan sehari-hari.
4 Juni 2024 - 22.20 WIB
Demikian diary yang dapat saya salin. Mohon maaf atas kesalahan kata-kata yang digunakan. Belum banyak yang dapat saya sunting lagi dari buku harian karena cukup banyak yang ingin disalin. Apabila terdapat tanggapan mengenai cerita yang saya sampaikan hari ini, dengan senang hati saya terima masukan dan kritiknya :)
Dipersilakan juga kepada pembaca untuk membagikan pengalamannya waktu masih duduk di bangku sekolah dan harapan untuk sekolah saat ini dan masa yang akan datang.
Salam hangat dan selamat beristirahat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H