Teror, menurut KBBI artinya menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh golongan. Kata teror, sudah akrab di telinga kami, bentuk dan motifnya beragam, mulai dari teror SMS, perampokan, teror pelaku begal yang marak beraksi di jalanan, dan terakhir serangan teror bom di Sturbuck Coffe Jalan MH. Thamrin, Jakarta, Kamis, (14/01/2015).
Jika mengikuti nalar KBBI, serangan yang terjadi kemarin untuk menciptakan ketakutan, reputasi Jakarta sebagai ibukota negara, seperti halnya kota-kota besar di Indonesia, yang angka kriminalitasnya juga tinggi, saya rasa tidak mempan. Lihat saja reaksi warga yang dengan santainya justru mendekati lokasi kejadian, dan melihat langsung baku tembak antara polisi dan terduga teroris, layaknya menonton syuting film, saat aparat kemanan mengambil posisi berlindung, justru warga Jakarta asyik menonton, bahkan ada yang melakukan foto selfi dengan latar pelaku teror yang mengacungkan pistol, berbeda dengan reaksi warga Paris, Perancis ketika terjadi serangan teror beberapa waktu lalu. Kejadian ini tidak mengakibatkan warga trauma, justru direspon dengan kampanye Kami Tidak Takut!
Secara psikologis, warga negara Indonesia memiliki ketahanan mental yang baik “ngotot” telah terbiasa hidup dalam kondisi yang tidak ideal, kelaparan, banjir dan tanah longsor yang mengancam ketika musim penghujan tiba, yang ini biasanya akan menjadi sajian berita Ibukota, meski terjadinya tiap tahun, mereka memilih diam, bukan eksodus untuk antisipasi banjir di tahun-tahun berikutnya. Belum lagi, letak Indonesia pada jalur pegunungan sirkum Fasifik dan Mediterania, gunung meletus dan gempa bumi bisa terjadi kapan saja, ditambah lagi kabut asap yang kerap melanda beberapa daerah di Indonesia, apakah masyakat Indonesia frustasi? Jawabannya tentu saja tidak.
Terorisme dan Indonesia
Kembali berbicara kejadian di MH Thamrin, adalah sangat tidak bijak jika ada pernyataan yang menyudutkan agama tertentu, dan menyatakan terorisme bersumber dari ajaran Islam. Apalagi sampai menyatakan ciri utama pelaku teroris adalah memelihara jenggot dan memakai celanan cingkrang, sedang, istri terduga teroris memakai burka atau cadar. Sekali lagi, pernyataan itu adalah salah. Meski terkadang terduga pelaku terorisme itu menunjukkan demikian. Saya tegaskan bahwa Islam tidak hanya mengatur pakaian atau tampilan, tetapi juga akhlak dan perilaku manusia seutuhnya.
Serangan terorisme yang terjadi di Indonesia, bisa saja ada motif lain di dalamnya dan tidak murni atas nama agama. Beberapa tahun belakangan ini, dunia dihadapkan pada konflik kepentingan global. Indonesia sebagai entitas global mau tidak mau akan terseret di dalamnya. Konflik kepentingan ini dipicu oleh ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan ketersediaan sumberdaya alam sebagai pemenuhan kebutuhan di tiap-tiap negara.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam hayati dan non hayati, berpotensi menjadi arena persaingan kepentingan nasional dari berbagai negara. Persaingan itu tidak melulu ditunjukkan dengan perang terbuka, kemungkinan terjadinya perang konvensional kecil, sifat dan karakteristiknya telah bergeser, salah satunya Proxy war.
Mengutip pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, “Ancaman utama Indonesia pada abad ini (21) adalah Proxy war,” Hal ini dipahami sebagi konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan pengganti guna mengurangi resiko konflik langsung yang berujung pada kerusakan fatal. Pihak ketiga yang berperan sebagai pengganti, adalah negara kecil atau bisa juga ormas, LSM atau gerakan separatis dan jaringan terorisme.
Jika diperhatikan, gerakan terorisme memiliki motivasi yang berbeda. Indonesia adalah negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, jika terjadi aksi teror dan terdapat pelakunya adalah beragama Islam, tidak bisa serta merta disangkut pautkan dengan ajaran Islam, sekali lagi itu adalah salah besar, karena islam tidak mengajarkan kekerasan. Pelaku teror rata-rata berasal dari mereka atau kelompok yang merasa tidak diakomodir oleh pemerintah dan penguasa, atau memang ditunggangi oleh kepentingan asing, murni bukan atas dasar agama.
Bagaimana Islam memandang terorisme?
Sebagai seroang yang lahir dan besar dari keluarga Islam yang taat, saya akan menguraikan bagaimana Islam memandang terorisme. Jika merunut asal muasal kata Islam, yakni “salm” artinya damai. Syariat Islam datang untuk menjaga 5 (lima) pokok yang amat mendasar serta mengharamkan untuk diterjang, yaitu; Agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal.