Mohon tunggu...
Praditya Mer Hananto
Praditya Mer Hananto Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Pengamat Kriminogenik Urban dengan latar belakang Arsitek Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kriminologi Universitas Indonesia dan Damai Resolusi Konflik Universitas Pertahanan. Pengamatannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sukena dan Landak Jawa: Hukum tanpa Empati dan Mens Rea

11 September 2024   17:00 Diperbarui: 11 September 2024   17:06 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: AI Generated

"Polisi memiliki empati terhadap korban. Jika hanya membaca hukum dan sanksinya, AI juga bisa." Kalimat ini berasal dari dialog dalam manhwa Korea Selatan berjudul Vigilante (Hangul: 비질란테; RR: Bijillante) dan menunjukkan pentingnya memahami konteks serta empati dalam penegakan hukum. Ketika hukum ditegakkan secara mekanis tanpa mempertimbangkan niat atau latar belakang, seperti yang terjadi pada kasus Sukena, esensi keadilan sosial dapat terabaikan.


Sukena, terdakwa dalam kasus ini, adalah seorang warga sipil biasa yang dikenal memiliki hobi memelihara hewan. Kini, ia didakwa melakukan pelanggaran hukum karena melanggar Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDA-HE) karena memelihara Landak Jawa, yang merupakan spesies yang dilindungi. Sukena mendapatkan landak tersebut sebagai hadiah dari mertuanya, yang menemukannya saat masih kecil di kebun. Ia kemudian merawat landak tersebut hingga berkembang biak, tanpa ada niat untuk menjual atau mengambil keuntungan dari hewan tersebut.


Kasus ini menjadi contoh jelas bagaimana penegakan hukum bisa menjadi tidak adil jika unsur mens rea—atau niat jahat—tidak diperhitungkan. Dalam hukum pidana, mens rea adalah elemen penting yang harus dibuktikan untuk menentukan apakah seseorang benar-benar bersalah. 

Namun, dalam kasus ini, Sukena tidak memiliki niat jahat. Ia tidak memelihara Landak Jawa untuk tujuan komersial atau untuk mendapatkan keuntungan utilitarian. Sebaliknya, tindakan Sukena lebih mendekati upaya konservasi daripada eksploitasi, karena ia merawat dan memelihara spesies yang terancam punah.


Jika logika hukum dibalik, seharusnya Sukena malah diberi penghargaan karena telah membantu menjaga kelangsungan hidup spesies yang terancam punah. Ia berperan dalam memperpanjang hidup Landak Jawa di lingkungannya. Namun, penegakan hukum dalam kasus ini seolah mengabaikan fakta bahwa tidak ada korban dalam situasi ini. Landak-landak tersebut tidak dijual, tidak dibunuh, dan tidak dieksploitasi.


Penahanan Sukena selama sebulan atas sesuatu yang tidak melibatkan mens rea, tanpa motif keuntungan, dan bahkan tanpa korban, mengungkapkan masalah mendasar dalam sistem hukum kita. Menghukum seseorang tanpa memperhatikan faktor sosial dan niat di balik tindakan tersebut menunjukkan bahwa penegakan hukum lebih mementingkan tampilan ketertiban daripada mengejar keadilan yang sesungguhnya. Kasus ini tidak menunjukkan bahwa hukum bekerja dengan baik, tetapi lebih sebagai simbol kekuasaan yang digunakan untuk menghukum siapa pun, bahkan tanpa alasan moral yang jelas.


Penegakan hukum seharusnya tidak hanya berhenti pada teks aturan, tetapi juga harus memperhatikan keadilan sosial dan proporsionalitas. Menghukum Sukena bukan hanya tidak adil, tetapi juga bertentangan dengan tujuan utama konservasi, yaitu melindungi dan melestarikan spesies. Di sisi lain, menunjukkan empati dan penilaian yang lebih bijaksana terhadap tindakan Sukena bisa membuktikan bahwa hukum benar-benar berfungsi untuk membangun masyarakat yang adil, bukan sekadar menghukum demi menghukum.


Penegakan hukum, terutama dalam hal konservasi, harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, bijaksana, dan mempertimbangkan niat serta dampak dari tindakan seseorang. Sebagai masyarakat, kita harus bertanya: apakah memenjarakan seseorang yang tidak memiliki niat jahat atau tidak mengambil keuntungan dari tindakannya benar-benar mencerminkan keadilan? Jika kita hanya membaca hukum dan sanksi, maka kita tidak jauh berbeda dengan kecerdasan buatan yang menjalankan instruksi tanpa memperhatikan empati atau keadilan sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun