Mohon tunggu...
Pradita Utama
Pradita Utama Mohon Tunggu... -

Santai..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kampung Dolanan Luhurkan Budaya Lokal

20 September 2012   13:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:09 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya Tradisional semakihtersisih di zaman modern ini,banyak sekali hal-hal yang baru, menyingkirkan budaya nenek moyang kita ini. Di samping itu., sebagai generasi penerus, sudah semestinya kita ikut andil dalam perwarisan budaya ini. Bila saat ini anak-anak di kota besar gencar mencari gadget terbaru seperti playstation dan game internet, masyarakat di Dusun Pandes, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, justru gencar mengembangkan permainan tradisional anak. Bahkan mereka pun menyebut dirinya sebagai kampung dolanan (mainan) anak.

[caption id="attachment_206868" align="aligncenter" width="350" caption="Guru among siwi memberikan materi pelajaran"][/caption]

Bagi para wisatawan yang berminta tentang permainana tradisoanal., kampung dolanan merupakan tempat yang tepat untuk rekereasi belajar. Lokasinya pun, sangat mudah dijangakau. Dengan melewati jalan Parang tritis, lurus sampai bertemu belokan pertama, ambil kanan, jalan terus, sampai ketemu perempatan kedua, ambil kiri, jalan terus ikuti jalan, dan disana aka nada tulisan Padukuhan Pandes. Pandes merupakan nama desa di kampung dolanan. menginjakkan kaki di desa Pandesitu terasa suasana yang asri seakan menyapa,sangat terasa suasana yang nyaman dan tenang. Ketikamasuk di desa Pandes itu yang juga disebut sebagai kampung dolanan kami sudah disambut dengan banyaknya anak-anak yang bermain dengan senangnya, dengan tawa yang terlihat sangat lepas dari raut wajah mereka sudah cukup menggambarkan kebahagiaan mereka yang dengan senangnya bermain dengan sesukanya. Saat itu yang kami jumpai banyak anak-anak yang bermain dengan berbagai jenis mainan diantaranya

Kampung dolananan, merupakan tempat pembuatan permainna tradsioanal. Kampung ini terlihat asri dan tentram. Keramahan waraga setempat membuat daya tarik tersendiri bagi desa tersebut. banyak anak-anak kecil bermain dengan ceria. Hal itu tergambar jelas di suasana kampung dolanan. Penduduknya yang mayoritas sebagai petani ini,memiliki banyak sawah yang memanjang di areal kampung dolanan. hewan-hewan ternak pun menjadi sumber mata pencaharian bagi warga setempat.

Semangat dalam perwarisan budaya disini, digambarkan dengan pelestarian permainan tradisional. Hal tersebut dilakukan oleh salah satu warga di Desa Pandes, Wahyud anggoro budi (40). Warga yang memiliki pekerjaan apoteker ini merasakan prihatin dengan kondisi permainan tradisioanal. Oleh karena itu, dia dan teman-temannya mengagaskan ide untuk melestarikan mainan tradisional tersebut. hal itu dia lakukan dengan mendirikan suatu komunitas, yakni Pojok Budaya.Komunitas ini memiliki fungsi untuk melestarikan nilai-nilai dalam budaya tradisional, khususnya pada mainan tradisional.Di lain sisi , Komunitas Pojok Budaya ini ternyata menarika perhatian orang banyak, sehingga banyak yang datang baik itu dari jawa maupun luar jawa mengunjungi kampung dolanan tersebut. banyak wisatawan datang, karena penasaran dengan permainan tradisonal.

Dengan adanya Pojok Budaya dan Kampung Dolanan ini. Berharap bisa melakukan tiga hal utama. Pertama, pelestarian tradisi. Upaya ini adalah memberikan kesempatan bagi semua pihak yang ingin mengerti dan memahami cara bermain dan membuat dolanan. Tidak hanya di gubuk Pojok Budaya tersebut. Kedua, revitalisasi nilai. Dalam setiap aktivitas apapun, terdapat nilai yang terkandung di dalamnya. Begitu pula dalam proses pembuatan dolanan yang menurutnya sarat akan nilai-nilai yang unik dan bijaksana. Tradisi membuat dolanan itu sendiri telah ada sejak abad ke-18. Tentunya, nilai lokal yang cocok dengan karakter bangsa terkandung di dalamnya. Pemahaman mengenai ruh lingkungan hidup, kreativitas, dan kemandirian harus ditanamkan dalam kepribadian anak-anak sebagai penerus bangsa kelak.ang lansia pewaris dolanan anak.

Ketiga, pendidikan. Pendidikan merupakan proses yang serius. Pendidikan harus jauh dari segi-segi komersialisasi, apalagi dalam hal ini yang dididik adalah anak-anak yang notabene memiliki kemampuan menyerap sangat cepat. Dalam Among Siwi yang dikelolanya tersebut, dirinya pun hanya memosisikan diri sebagai coordinator. Orang yang kompeten dalam sistem mengajarlah yang harus mengajar.

Ketika kita mendatangi kampung dolanan anak, permainan tradisional seperti wayang dan payung kertas, kelontongan, othok-othok, masih bisa kita temui. Uniknya, permainan tradisional di Dusun Pandes ini dibuat hanya oleh ibu-ibu desa berumur lebih dari 80 tahun yang jumlahnya sekitar 4 orang.

Mbah karto utomo, merupakan salah satu pembuat mainan tradisioanal, umurnnya yang telah mencapai 100 tahun, menjadi daya tarik di kampung dolanan tersebut. beliau membuat wayang tanpa pola yang berbahan kardus bekas, “ ya saya membuat wayang ini sejak kecil” kata mbah karto (2/6) . Tanganya yang tua , tidak membuat patah semangat, dengan lincah tangannya bergerak menggunting karton denganmembentuk pola wayang.Hal tersebut dia tunjukan dengan hanya waktu 10 menit saja. Bahkan, 90 karakter wayang dari kardus bekas pun bisa ia gambar dengan cepat tanpa membuat pola terlebih dahulu. Ia juga bercerita, sewaktu muda, ia sering menjual hasil karyanya tersebut ke luar daerah Yogyakarta.Meski terlihat renta dan sudah mengalami gangguan pendengaran, wanita ini masih semangat membuat dolanan anak. “Kalau

saya belum meninggal, saya tetap akan membuat permainan anak tradisional ini,” ujar Mbah Karto, di rumahnya, Kamis (3/5).

selain mbah karto, ada mbah jumiyo yang merupakan anak bungsu dari mbah karto. Mbah jumiyo ikut membantu mbah karto dalam pembuatan wayang, ruang kerja yang hanya sebuah gubuk tua. Mereka tempati berdua dalam melakuakan pembuatan wayang tanpa pola.hal tersebut mereka lakukan dengan pembagian tugas. Dimana mbah karto yang membuat pola wayangnya,dan mbah jumiyo yang mewarnai wayangnya.

Kemapuan fisik yang telah senja tidak sedikitpun mematahkan semangat mereka untuk selalu melestarikan budaya tradisional. Dalam satu hari mereka dapat membuat lima puluh buah wayang. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya jumlah pesanann dari masayarakat, seperti ada kuli pasar yang mengambil wayang tersebut untuk dijual ke pasar. Ada juga pesanan untuk suatu acara besar, seperti kampanye, Hajatan dan sebagainya. Sisa-sisa pesananwayang yang tidak terambil pun masih sangat banyak.hal itu membuktikan bahwa usia senja tidak menghalangi semanagat tradiasional.

Dari mbah karto, saya mampir ke rumah joyo. Umurnya yang telah uzur, telah mencapai kurang lebuh 85 tahun. Pendengarannya yang masih bagus, membuat mbah joyo menjadi enak diajak bicara. Tangannya yang sangat luwes tidak berhenti untuk membuat mainan tradsional. Sejak bisa bikin, ya terus mengerjakan ini. Sejak bocah. Cuma ini saja bisa buat, othok-othok, kitiran... ada lima jenis mainan tradisional yang saya bisa.” Kata mbah joyo.

Seringkali ada anak-anak yang ikut membantu mbah joyo untuk membuat mainan tradisional. Hal itu membuat mbah joyo senang, karena dapat mengajari anak-anak untuk membuat permainan tradisonal. Respon masyarakat kampung itu sangat positif, terlihat dari kerjasamanya ketika ada buku tulis bekas atau koran yang sekiranya bisa dijadikan bahan-bahan untuk membuat dolanan itu,mereka berikan kepada si pembuat dolanan. Dengan begitu, secara tidak langsung selain bertujuan melestarikan budaya dolanan , masyarakat juga ikut membantu si pembuat dolanan yang memang menggantungkan kehidupannya dengan mencari nafkah menjual hasil karya dolanan tersebut.

Peralatan yang digunakan mbah joyo masih sangat sederhana,seperti mainan kicir angin,yang terbuat dari kertas minyak yang digunting, lalu diberi lem nasi, dan bambu kecil sebagai tangkainya.

Mbah joyo, memiliki kekhwatiran sendiri dalam pelestarian mainan tradisonal ini, Dulu yang membuat mainan semacam ini banyak. Tapi sekarang sudah banyak yang meninggal. Kalau saya nanti meninggal ya tidak ada lagi yang membuat.” Kata mbah joyo. Beliau merupakan generasi tersisa dari pembuat mainan tradisional, dan yang tersisa hanya tinggal tiga orang, mbah karto, mbah kariyem, dan mbah joyo.jika tidak ada lagi generasi yang membuat mainan tradsional ini, maka mainan ini akan semakian tersisih dengan mainan plastik dari jepang dan cina. Harga seribu perak perbuah saja pun tidak bisa mengalahkan maianan plastik buatan pabrik tersebut.

Bukan hanya cara-cara membuat dan memainkan dolanan , yang coba disosialisasikan tetapi . Lagu-lagu daerah dan tradisi aktivitas warga pedesaan juga diajarkan di sini, misalnya kegiatan menumbuk padi dengan lagu “Ancak-ancak Alis” atau permainan baris-berbaris “Baris Rampak.Dolanan tradisional, memiliki nilai-nilai luhur yang sangat baik. Di dalam dolanan tersebut ada nilai yang berfungsi untuk meningkatakan kecerdasan anak. Hal tersebut dapat diihat daricirinya seperti, wicoro, wirogo, wiroso,wiromo. Pertama, wicoro adalah adalah nilai dalam bentuk penyampaian sesuatu, lalu wirogo, fungsinya untuk meningkatlkan rasa sosial pada anka, lalu wiroso, dapat meningkatkan spiritual anak, dan Wiromo, anak dapat belajar bekerja sama dengan sesamanya.selain itu Di dalam permainan tradisional terdapat nilai kemandirian, peduli lingkungan, kerjasama, dan kesadaran geografis.

“Kita tidak akan pernah bisa membendung arus globalisasi, akan tetapi kita dapat menanamkan nilai-nilai dalam permainan tradisioanal terhadap anak-anak”tegas wahyudi. Hal itulah yang membuat bapak dari dua anak ini, merasa iba dengan kondisi yang ada. Para pembuat mainan tradisional di Kampung dolanan, hanya tinggal empat orang, dan itu membuat rasa khawatir akan tidak adanya generasi dalam membuat mainan tradisonal. Nilai- nilai yang terkandung di mainan tradisonal harus selalu tetap ada, wahyudi berharap setelah para pembuat tradisonal yang telah memasuki usai senja telah tiada, maka anak-anaklah yang akan menjadi generasi penerus berikutnya. Hal tersebut membuat pendiri komunitas Pojok Budaya ini, mendirikan sekolah pendidikan budaya.

Sekolah yang berbasis Budaya ini berdiri pada tahun 2006, yang dinamakan sekolah Among Siwi. Tempatanya dibagi menjadi dua tempat kerena terdapat dua kelas,yaitu A dan B. bangunannya kecil, hanya terbuat dari bilik bambu sehingga membentuk sebuah pondok taman bermain untuk anak-anak di Desa Pandes. Keceriaan anak-anak, tergambar jelas, mereka bermain, berteriak, guling-guling di lantai, berlari kesana kemari di sekolah kecil itu. Among siwi menyambut hangat semangat anak-anak tersebut, mereka belajar dengan riang tanpa ada beban sedikitpun di raut wajah mereka. Ibu guru yang mengajar pun sering kewalahan, menghadapi anak-anak, bahkan tidak cukup satu orang guru, melainkandua atau tiga guru sekaligus ikut membantu dalam mentertibkan murid di Among siwi. jam belajar di among siwi dimulau dari jam setengah delapan pagi sampai jam 10 pagi, anak –anak pun diantar dan dijemput bersama orang tua masing-masing. Para ibu-ibu rela menunggu anaknya sekolah sampai pelajaran selesai.

“ya seperti mengajarkan tari tradisional, mainan tradisional, mainan tradisional, dan permainan tradisioanal seperti ancak-ancak alis dan sebagainya” Tegas Umi Khasanah . Hal itulah yang diungkapkan Ketua yayasan Among Siwi ini,yang telah mengajar selama dua tahun, dalam membangkitkan rasa kesadaran akan kebudayaan tradisonal terhadap anak.” Karena dengan mengajarkan Budaya Tradisonal pada umur anak-anak seperti ini, sifat anak sangat mudah dibentuk karena mereka merupakan calon generasi bangsa” tegasnya lagi. Hal itulah yang dilakukan untuk mempertahankan budaya tradisonal di zaman Globalisasi ini.

Bukan hanya belajar Budaya Tradisional, Among siwi mengajarkan pada anak,-anak tentang etika moral terhadap sesamq, hal ini dilakukan oleh Bu Anis yang telah lama juga mengajar di Sekolah sederhana ini. Niat tulusnya terpancar dari raut wajahnnya yang sangat sabar dengan dengan anak-anak. Kelembutan seorang Ibu melukiskan sifat lembutnya terhadap tingkah nakal anak-anak di Among Siwi.Hal inilah yang membuat Guru yang penuh kesabaran ini dipilih sebagai Guru bimbingan Konseling. Hal tersebut dikarenakan agar setiap keluh kesah dari orang tua murid dapat disampaikan kepada tenaga pengajar di Among Siwi.

Seni tari menjadi daya pelajara utama, dalam mempertahankan budaa tradisioanal di Zaman Globalisasi, hal ini dilakukan oleh Lina Seorang Wanita Lulusan Seni Tari ISI Yogyakarta. Dia mengajarkan kepada anak-anak, betapa pentingnya mempelajari Tarian Tradisional, hal ini dia lakukan dengan mengadakan pentas tari pada saat Acara Perpisahan Among Siwi tahun ajaran 2011/2012. Sedikit mengalami kesulitan dalam mengajarakan seni tari terhadap anak-anak, akan tetapi hal itu tidak pernah mematahkan semangatnya untuk tetap memberikan ilmu seni tari tradisonal tersebut, Tarian yang di ajarkan adalah,Gundul-gundul Pacul, uniknya lagi Tarian ini sangat lucu dibawakan oleh anak-anak di umur 3 tahun, gerakan mereka sangat natural dan polos, sehingga kadang membuat mereka merasa tertawa sendiri melihat temannya sedang menari. Lina sendiri menerapkan metode belajar dengan menggunakan Gerak contoh gerakan, jadi Lina berdiri di depan anak-anak dengan melakuakan gerakan tarian,sehingga anak-anak pun mengikuti gerakan, lina. Meskipun ada juga yang anak yang tidak bisa menari, tetapi mereka tetap bergerak mengikuti gerakan Guru Seni Tari tersebut.

Sering sekali ketika Mood anak sedang tidak Baik, Guru-guru yang mengajar pun kadang ,merasa sedikit kesulitan untuk membangun mood anak tersebut. “ketika mood anak sedang tidak baik maka pengelolaan akan mengalami keributan” keluh Umi. Dibalik duka pasti ada suka, dan ini menjadi faktor semangat yang tidak pernah padam di Guru-guru Among Siwi. “Saya sangat senang mengajar disini, kerena dapat bertemu Anak-anak, dan belajar sosilisasi terhadap Wali murid yang tidak pernah kita dapatkan di tempat kuliah “ tegasnya lagi

Saat ini Sekolah tersebut telah memiliki 40 murid, yang dibagi menjadi dua kelas, yakni A dan B. Among siwi berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya,, hal tersebut dapat dilihat dari Metode belajar, Kurikulum dan pembayaran uang sekolah. Dalam hal Kurikulum yang digunakan adalah Kurikukulum dari orang tua murid, hal ini dikarenakan untuk mengembalikan fungsi orang tua sebagai agen pendidik. Orang tua murid diberikan hak untuk menyusun kurikulum belajar untuk anaknya, hal ini dilakukan untuk mengemabalikan fungsi utama orang tua murid sebagai pendidik utama. Orang tua murid diberikan hak untuk memilih dan memecat guru-guru di sekolah Among siwi. Dalama metode pembelajaran Sekolah Among Siwi, lebih mengutamakan pemahaman tradisi sebagai metode belajar. Pelajaran yang disampaikan tidak berdasarkan bahan-bahan pabrik, tetapi menciptakan materi belajar berdasarkana apa yang telah disediakan di Lingkungan sekitar. Hal ini membuat segala bentuk material apapun dapat digunakan, bisa menjadi materi belajar, seperti daun, batu, ranting, kertas, botol bekas dan sebagainya. Apapun segala bentuk material dapat digunakan sebagai bahan Belajar. Untuk Pembayaran sekolah Among Siwi, murid-murid membayar tanpa menggunakan uang, Di tengah-tengahmasyarakatmempermasalahkan mengenai biaya sekolah yang semakin mahal, Among Siwi mempunyai sisi menarik dalam hal pembayarannya. Cukup membawa seonggok sampah ataupun barang bekas, mereka bisa mengikuti Sekolah Among Siwi. Mungkin bisa dibilang satu banding seribu sekolah semacam itu ada di negeri kita.

Hal ini dikarenakan, untuk tidak dapat memberatkan biaya operasional murid tersebut. setiap minggu Murid-murid membawa Sampah, lalu Sampah tersebut dipilih lagi dan dipisahkan sesusai jenisnnya. Dari sampah-sampah tersebut dapat dijadikan materi belajar, sehingga dapat menghasilkan mainan tradisional, dan dijual kepada masyarakat untuk menjadi biaya bantuan opersional Sekolah Among Siwi..ketika sampah ataupun barang bekas yang dianggap itu sebagai alat pembayaran, bisa diolah menjadi sebuah karya seni berwujud“dolanan” yang sederhana tapi punya nilai seni tradisional yang cukup tinggi, karena dilihat dari bahan bakunya seperti bekas buku tulis,koran,kaleng susu, lilin, bambu, dan bahan-bahan yang sederhana lainnya bisa menciptakan sesuatu yang berbeda dari karya yang lainnya. Di sekolah Among Siwi ini masyarakat seperti anak-anak dan ibu-ibu rumah tangga dilatih membuat karya seni itu. “Untuk tenaga pengajar kita memiliki empat pengajar tetap, tetapi kita banyak mengundangorang luar untuk mengisi materi di Sekolah Among siwi” Kata Wahyudi. Di sekolah Among Siwi, telah banyak tenaga pelajar dari luar yang pernah memberi materi di sekolah tersebut. hal tersebut dikarenakan untuk membangkitkan rasa persepektif anak. Ada banyak berbagai macam profesi yang telah mengajar di sekolah Among Siwi, seperti Polisi, Kyai, Ahli Sejarah, Psikolog, Wartawan, Fotografer, Bahkan Ibu Rumah Tangga pun ikut mengajar di sekolah tersebut. Setiap Peridoe, Among Siwi, selalu mengadakan acara khusus tiap satu bulan sekali untuk mengajarakan pada Murid-murid Among Siwi, yang Dinamakan Tokoh Kita. Hal tersebut dilakukan dengan mengundang orang yang memiliki Profesi Berkompeten sesuai Bidangnya. Bahkan ada Orang dari Osaka University ikut andil dalam mengajarkan Budaya Jepang di Sekolah Among Siwi.

Semoga pemerintah menjadi menjadi tanggap terhadap sekolah Among Siwi ini,karena Swadaya masyarakat pandes membutuhkan bantuna Pemerintah, Tegas Umiitulah harapan tulus yang mewaikili dari berbagai pihak pengajar untuk sekolah Among Siwi tersebut. Harapan akan selalu tetap ada jika ada usaha tanpa lelah, kebudayaan tradisional yang semakin tersisih oleh kerasnya zaman Globalisasi dan barang Pabrik impor. Kekhawtiran akan hilangnya budaya tradisonal sangat mudah terjadi ketika kita melupakanya bagitu saja, kita pun berharap pada anak-anak ini, semoga mereka dapatmewarisi Budaya dari Nenek moyang Indonesia dan tetap menjadi generasi Penerus untuk menanamkan Nilai-nilai Luhur Budaya Tradisioanal terhadap generasi yang akan datang. Perjuanngan titik darah Penghabisan

“Harapan saya, dapat menyekolahkan Anak-anak di Among siwi sampai Jenjang SD”Kata Wahyudi. Itulah Harapan terbesar Dari Pendiri Sekolah Among siwi ini. Delapan puluh Persen sifat Motorik Anak ditentukan di Umur 5-12 tahun , dan itu ada pada Jenjang Sekolah dasar” Tegasnya lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun