Saat si anak mengangguk saat bapaknya menawari minum, sang bapak mengeluarkan 'tempat minum' portable terbaik yang dimiliki dari tas gendong hijau. Aku terhenyak saat tempat minum yang dimaksud adalah sebuah toples plastik kecil bekas madu yang diisi air putih.Â
Karena memang bukan berfungsi sebagai tempat minum, saat tutupnya dibuka cukup banyak air yang tumpah. Apalagi dalam angkot yang mulai bergerak menyalip. Tapi si anak terlihat meneguk dengan nikmat. Dan mata seorang bapak yang tidak lepas menyadarkanku akan banyak hal yang menggambarkan cinta orangtua.
Seketika aku merasa jahat, egois, dan tidak bersyukur. Jujur saja, dalam hati aku sempat menyalahkan anak temanku karena sakit di saat kami janjian. Sempat mengecapnya menjadi perusak suasana. Tapi bapak-anak di angkot nomor 19 dengan cepat menyadarkanku, bahwa orangtua akan memberikan apapun untuk anaknya. Termasuk waktu yang telah dipersiapkan temanku untuk bertemu denganku hari ini. Pasti ia pun merasa tidak enak membatalkan janjinya tiba-tiba. Aku yakin ia pun rindu berbincang seperti dulu. Tapi cinta orangtua pada anaknya tidak memiliki bentuk, syarat dan ketentuan yang membatasi. Apapun itu.
Aku bertekad setelah sampai di apartemen nanti, aku akan mengirim pesan pada temanku. Akan kuceritakan apa yang kulihat di angkot nomor 19. Dan tentu bangga dan berterimakasih padanya telah menjadi orangtua yang baik dan tidak egois. Hari ini aku sungguh banyak belajar.
Maafkan aku ya, teman. Semoga anakmu cepat sembuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H