Masih ingat acara sinetron komedi yang berjudul “Tetangga Masa Gitu” (TMG) yang ditayangkan di NET TV? TMG merupakan komedi situasi yang menampilkan kehidupan sehari-hari dua pasangan suami istri yang tinggal dalam satu komplek dan hidup bertetangga. Sitkom yang dibintangi oleh Sophia Latjuba, Dwi Sasono, Deva Mahenra dan Chelsea Islan ini tayang sejak 20 Maret 2014 dan telah mendapatkan penghargaan Asian TV Awards 2014 dan Anugerah Komisi Penyiaran Indonesia 2015.
Berbicara soal tetangga, dua hari lalu secara tak sengaja saya bertemu dengan seorang teman lama yang baru pindah kontrakan, sebut saja Ujang. Karena sudah lama tak bersua, kami pun meluangkan waktu untuk saling berbincang sembari minum kopi. Kami saling menggambarkan kehidupan pribadi masing-masing semenjak lulus SMA. Setelah satu jam duduk di warung kopi, Ujang menceritakan peristiwa yang ia alami dengan tetangga barunya.
Ujang dan istrinya tengah disibukkan dengan kontrakan barunya. Mereka membeli perabot rumah tangga sesuai dengan kebutuhan seperti peralatan dapur dan tempat tidur. Seharian penuh mereka mendekorasi kontrakan barunya. Istrinya, Dara mengeluh kecapekan sehingga ia berniat untuk mencari jasa tukang pijat tradisional.
Keesokan harinya, Dara bertanya ke tetangga sebelah kontrakan, siapa dan dimana ia bisa mendapatkan jasa tukang pijat. Maklum, karena masih orang awam di lingkungan pedesaan, hanya tetangga sebelah kontrakan yang dijadikan sasaran bertanya. Setelah beberapa menit berbincang-bincang dengan seorang nenek yang berusia sekitar 65 tahun, ternyata nenek tersebut menyediakan jasa pijat tradisional. Nenek tersebut sudah terbiasa memijat orang dewasa baik pria maupun wanita. Akhirnya Dara bersepakat dengan nenek untuk memijat malam harinya.
Malampun tiba dan nenek datang ke rumah sesuai kesepakatan sebelumnya. Selagi Dara mempersiapkan diri untuk dipijat, Ujang berbincang dengan nenek tentang riwayat keahlian memijat yang dikuasai nenek. Setelah Dara siap, nenek masuk ke kamar dan pijatpun dimulai. Kurang lebih 80 menit berlalu, Dara telah usai dipijat oleh nenek. Kemudian Ujang memberikan secangkir teh kepada nenek untuk sekedar menghilangkan rasa haus.
Setelah selesai berganti pakaian, Dara memanggil Ujang ke kamar untuk mendiskusikan ongkos pijat. Dara telah menanyakan ongkos pijat kepada nenek namun nenek hanya menuturkan “seikhlasnya” saja. Karena masih bingung dengan kata “seikhlasnya” yang disampaikan nenek, maka Dara pun masih melanjutkan pertanyaannya. Nenek malah menceritakan bahwa kemarin juga memijat lima orang dewasa di kampung sebelah dan memperoleh Rp. 500.000,-
Pernyataan nenek membuat mereka semakin bingung, apakah memang benar bahwa ongkos sekali pijat di pedesaan Rp. 100.000,-? Padahal jika dibandingkan dengan desa tempat tinggalnya yang dulu, ongkos sekali pijat Rp. 50.000,-. Kondisi keuangan yang masih kembang-kempis menimbulkan sedikit sensitif jika berkaitan dengan uang Rp. 100.000,- . Dengan sedikit mengernyitkan dahi, akhirnya mereka memberikan Rp. 100.000,- kepada nenek sebagai ongkos sekali pijat.
Dari cerita tersebut, dapat ditemukan suatu permasalahan enteng namun kadang terasa berat. Enteng dalam pengucapannya, namun berat dalam penerapannya. Perkataan “seikhlasnya” sang nenek memang enteng diucapkan sebagai penyedia jasa. Namun bagi Ujang, untuk menafsirkan kemudian mengaplikasikannya dalam bentuk tindakan nyata dengan memberikan Rp. 100.000,- sebagai ongkos pijat masih terasa berat.
Uang memiliki peranan dan pengaruh yang sangat kuat terhadap kehidupan seseorang. Tentu kita akan bertanya kepada diri kita sendiri ketika harus membayar ongkos jasa dari apa yang telah dilakukan orang lain. Tidak adanya ketentuan pokok dalam penentuan besar ongkos jasa membuat kita sebagai orang awam khawatir. Khawatir dengan ongkos yang nantinya kita keluarkan apakah wajar atau malah mahal karena kita tidak tahu seluk beluk jasa tersebut.
Sebagai contoh, sewaktu pagi motor kita tidak mau dihidupkan saat kita ingin bergegas berangkat kerja. Secara pintas kita akan mencari pertolongan supaya motor cepat hidup dan kita dapat segera berangkat kerja. Saat montir di bengkel dekat rumah dapat memperbaiki motor kita maka berapapun ongkos yang diucapkan montir tersebut pasti kita bayar. Hal ini terjadi karena kita berada dalam keadaan darurat daripada harus terlambat dan mendengar bos marah-marah.
Keesokan harinya, Dara mulai mengakrabkan diri dengan ibu-ibu di lingkungan sekitar. Sambil ngobrol tentang adat dan kebiasaan di lingkungan tersebut, dengan wajah lugu Dara bertanya soal jasa tukang pijat. Sontak ibu-ibu menunjuk ke rumah nenek sebagai penyedia jasa pijat tradisional. Tak lama kemudian ibu-ibu menceritakan pengalamannya dipijat sang nenek. Mencengangkan bagi Dara karena ternyata ongkos sekali pijat bervariasi. Ada yang memberi Rp. 40.000, Rp. 50.000, Rp. 60.000, dan Rp. 75.000 tergantung kemampuan finansial masing-masing keluarga. Namun tidak ada yang pernah memberikan Rp. 100.000 untuk ongkos sekali pijat karena terlalu mahal jika diterapkan di pedesaan.
Tetangga memang memiliki peran yang cukup esensial dalam penyebaran informasi di pedesaan. Baik informasi positif maupun negatif dapat dengan mudah terdengar di telinga kita berkat tetangga. Informasi inilah yang menyebabkan Ujang sedikit kecewa karena memberikan uang berlebih kepada nenek.
Dapat memberikan sesuatu dengan ikhlas kepada orang lain adalah suatu pencapaian tak ternilai bagi diri kita. Namun apabila di kemudian hari terdengar bahwa pemberian kita terlalu berlebih menurut takaran orang lain sehingga kita terbayang-bayang dengan takaran tersebut, dapatkah dikatakan bahwa sebenarnya kita belum ikhlas memberikannya? Atau sudah ikhlas namun masih tertunda? Jika kata kegagalan dapat diartikan sebagai kesuksesan yang tertunda, lantas kata apa yang tepat untuk mengartikan keikhlasan yang tertunda?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H