Mohon tunggu...
Pradipta Aditya Siagian
Pradipta Aditya Siagian Mohon Tunggu... Relawan - Dog & Cancer

Seorang penggemar bola yang sangat mudah diajak ngobrol dan menikmati hidup. Fokus pada tulisan olahraga (terutama bola), politik, sains-teknologi, dan dunia hiburan (terutama musik).

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"A Head Full Of Dreams", Memahami Coldplay dari Empat Sudut Pandang yang Berbeda

15 November 2018   09:58 Diperbarui: 15 November 2018   11:07 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Live Performance, Paris 2017. Sumber Gambar: losbuffo.com

Yellow, The Scientist, Fix You, Viva la Vida, Paradise, A Sky Full of Stars dan Hymn for the Weekend. Kumpulan lagu tersebut merupakan lagu-lagu 'A Class' representasi dari tujuh album rekaman major dari Coldplay.

Dari ketujuh lagu ini penonton seharusnya sudah dapat menarik alur cerita dari film, namun anda akan salah bila mengantisipasi yet another documentary film in 2018. Sejatinya A Head Full of Dreams tidak mencoba untuk men-dokumentasi-kan perjalan grup band Coldplay, tetapi alih-alih malah membawa para penonton untuk menjadi 'anggota grup band' selama kurang lebih dua puluh tahun. 

Film ini mencoba untuk menarasikan ups and downs atau me-monolog-kan momen menyenangkan dan menyakitkan yang dilewati keempat sahabat kampus ini, yang dirangkum menjadi sebuah epos un-linear yang membingungkan namun juga pada satu sisi sangat menyenangkan. 

Singkat kata, A Head Full of Dreams adalah film yang mencoba menghadirkan Coldplay dan menurunkannya ke dalam level kehidupan para penggemarnya, memanusiakan Coldplay melalui dialog resiprokal antar keempat personil band.


Bukan hanya cuplikan video Behind the Scenes yang difilmkan?

Film A Head Full of Dreams ini mirip seperti sebuah latihan warm-up sebelum gig bareng sebuah band. Mat Whitecross, selaku produser dari film, menyajikan montage klip-klip yang dirangkum bersama voice over percakapan keempat anggota band mengenai perjalanan mereka selama dua puluh tahun. 

Di film ini anda akan melihat bagaimana sebuah grup band menjalani proses persiapan live show dan proses perekaman album, sampai pada titik dimana terdapat pertengkaran dan disagreement antar para personil. 

Terdengar sangat klise? Jangan khawatir, film ini bukanlah film yang anda kira seperti sebuah episode dokumenter National Geographic, namun malah seperti catatan kecil dari para anggota grup band dan disatukan tanpa sepengetahuan mereka. Anda akan menemukan sebuah film yang berisikan obrolan santai dengan ditemani oleh suguhan visual-visual apik.

A Head Full of Dreams sebagai refleksi perjalanan keempat orang sahabat.

Film ini mencoba untuk menceritakan bagaimana Coldplay menurut keempat anggota band. Tiap cuplikan akan dijelaskan siapa yang menceritakan cuplikan tersebut. Lead singer Chris Martin, gitaris Jonny Buckland, bassis Guy Berryman dan drummer Will Champion, semua akan mendapati nama mereka di pojok kiri atau kanan bawah pada setiap klip dengan representasi nama mereka masing-masing, Chris-Jonny-Guy-Will. Setiap anggota band dibebaskan untuk bercerita semau hati mereka, dan tidak dibatasi atau dikontrol pada satu isu maupun tema tertentu. 

Disinilah letak keunikan dari film ini, dimana obrolan-obrolan tersebut sangatlah tidak jelas arahnya. Terkadang (dan seringkali) anda akan mendapati klip yang muncul tidak sama dengan cerita yang diceritakan oleh masing-masing anggota band. 

Keunikan ini membuat anda selayaknya melihat sebuah film yang tidak beraturan dan bisa loncat kesana-kesini alurnya, namun tetap dibawa menuju klimaks yang megah dan besar. Selain keempat anggota grup band, ada beberapa pihak yang mendapatkan jatah bercerita (yang penulis tidak akan spoil) dan pihak-pihak ini mengisi kekosongan dan diposisikan sebagai transisi dari satu plot ke plot lain.

Apa yang ditawarkan dan tidak ditawarkan oleh film ini?

Film ini menawarkan element of surprise. Anda akan menikmati bagaimana ide yang sangat abstrak dan tidak beraturan dapat menyatu dan dengan halus menjadi sebuah kesatuan. Loncatan tidak karuan dari satu omongan ke omongan lain ini bisa dirangkum dengan apik menjadi sebuah narasi yang koheren. 

Film ini juga menawarkan intimasi, sebuah kedekatan yang sangat resiprokal dan hangat. Anda akan merasakan bagaimana keempat teman ini selayaknya tengah bercengkrama di depan anda, tanpa filter apapun. Anda akan merasa sangat homey dan familiar, namun di saat yang sama juga merasa ada keseriusan dan pesan yang ingin disampaikan.

Namun film ini bukanlah film yang mampu menjabarkan sebuah kisah yang runtut dan jelas. Anda akan menemukan koherensi, tetapi film ini tidak akan memberikan jawaban-per-jawaban dengan runtut dan jelas. Struktur film ini agak bebas, sehingga anda harus santai dan (sebaiknya) tidak mengharapkan adanya alur yang nyaman diikuti. 

Struktur yang longgar dan sangat maju-mundur akan membuat anda mengharapkan penutup yang puncak dan grandieur, namun anda hanya akan disuguhi penutup yang cukup untuk ukuran film dokumentari (yang tidak dikemas layaknya film dokumenter pada umumnya. 

Oh ya, apabila anda belum memiliki pengalaman menonton film dokumenter, maka bukan tidak mungkin anda akan selalu membandingkan dengan film-film umum (seperti film superhero ataupun misteri). Anda akan terus menanyakan hal-hal klise seperti mana gregetnya? Mana konfliknya (yang benar-benar menohok)? Mana tokoh hero-nya? Mana antagonisnya? Siapa lawan siapa? Siapa yang menang?

Once in lifetime, sekali seumur hidup.

Sebagai penggemar berat Coldplay, penulis berangkat menuju ke bioskop dengan sebuah antusiasime besar. Dengan latar belakang memiliki tujuh album rekaman major dari Coldpay + dua album Live Recording + Brothers and SistersExtended Playlist awal mereka (dan pada suatu masa sampai hapal urutan setiap track dari masing-masing album) penulis ingin sekali melihat sebuah film yang mengupas tuntas Coldplay, terutama menganalisa setiap kekuatan album-per-album dan mana saja yang dapat dikategorikan sebagai track-track favorit atau hidden gems. 

Namun ketika melihat film ini, penulis mendapati sebuah film yang sangat berbeda. Film ini bukanlah film analisa kuat, tetapi film yang menggunakan penjabaran santai. 

Film ini bukanlah sebuah dokumenter linear, tetapi menjadi sebuah film dengan suguhan sesi cerita yang sangat down-to-earth sekali. Penjabaran album per album tetap ada, tetapi hanya sebagai pembantu transisi antar plot, malah letak asyiknya berada di bagaimana kita, sebagai penonton, menebak-nebak plot apa yang selanjutnya akan muncul.

Seperti bertemu kawan SMA akrab dulu yang terpisah karena kuliah di kampus yang berbeda. Ketika bertemu, nostalgia bareng. Canda dan tawa menjadi satu, semua diceritakan, tanpa bumbu, tidak difilter dan apa adanya. 

A Head Full of Dreams adalah sebuah proyek dari orang-orang terdekat Coldplay. Mat Whitecross, Produser yang telah mengenal Coldplay sejak mereka hanyalah band pengisi di cafe-cafe di Inggris hingga menjadi grup band multi-mega-internasional saat ini, hanya ingin menyajikan sebuah cerita perjalanannya mengenal dan memahami eksistensi Coldplay sebagai aktor penting dalam dunia musik internasional. 

Dengan dikemas layaknya empat orang sahabat yang tengah berada di warung kopi dan ngobrol sesuka hati, film ini menjawab sisi humanis dari Coldplay, sisi-sisi yang selama ini jarang terekspos dan dimengerti oleh para fans. 

Layaknya sebuah fan-fiction, garapan film ini sangatlah santai. Lebih dari profesional namun tidaklah contender for Movie of  the year. Keren dan asik tetapi juga bukan film yang sempurna secara sinematografi. 

Ada celah, ada kekurangan. Banyak flaw, tetapi ketidak-sempurnaan inilah yang membuat film ini sangat dewasa dan relatable dalam hidup.  Adanya sisi kerapuhan, ketakutan akan masa depan, ketidak-pastian dalam hidup membuat Coldplay menjadi sebuah grup band yang dibumikan serta dimanusiakan lalu dijadikan sebagai sebuah cerita mengenai kehidupan. Kehidupan keempat personilnya yang menjadikan mereka sebuah, maaf, seorang Coldplay.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun