Untuk mencapai long-term goal tersebut tentu tidak bisa dilakukan sendiri. Harus ada kolaborasi tripartite antara pemerintah, masyarakat dan swasta. Maka dari itu, pemerintah mengatur proporsi iuran JHT tidak hanya dari karyawan saja tetapi juga ada bagian perusahaan.
Jadi anggapan bahwa iuran JHT hanya dari karyawan saja tentu kurang tepat. Karena masih ada keterlibatan juga dari perusahaan. Pemerintah ingin memastikan seluruh masyarakat sejahtera dengan kolaborasi seluruh stakeholder. Jadi jika ada anggapan bahwa tidak ada peran pemerintah dalam program JHT sama sekali tentu tidaklah benar.
Lantas jika ada kebutuhan mendesak bagaimana? Sebenarnya dalam peraturan menteri sudah memberikan kelonggaran. Dana JHT bisa diambil minimal keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan 10 tahun. Itu pun maksimal 10 persen untuk kebutuhan lain-lain dan 30 persen untuk program hunian rumah. Sisanya tetap tidak bisa diambil sebagai tabungan jaminan hari tua karyawan.
Meskipun demikian, pemerintah tetap perlu mempertimbangkan jika ada karyawan yang terkena PHK. Jika harus menunggu sampai usia 56 tahun tentunya akan juga menyulitkan. Bahkan bisa jadi tujuan SDGs tidak akan tercapai.
Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi alternatif bagi karyawan yang terkena PHK. Solusi yang memungkinkan adanya grading durasi jarak saat dibebastugaskan. Misalnya 1 tahun dana JHT yang bisa dicairkan 10 persen dan seterusnya sampai yang bersangkutan dapat pekerjaan kembali. Hal itu penting agar tetap memastikan masyarakat dapat melangsungkan hidupnya.
Peraturan Menteri mengenai JHT merupakan salah satu bentuk inisiatif pemerintah untuk mencapai proses pengembangan pembangunan secara berkelanjutan/ SDGs melalui kolaborasi semua pihak. Hal itu untuk memberikan jaminan seluruh masyarakat tetap memiliki akses secara finansial, kesehatan dan pangan saat memasuki usia tidak produktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H