Dekade 60-an menjadi salah satu dekade yang menarik di Amerika. Banyak perubahan atau berita-berita yang hingga kini masih diromatisasi. Dari pembunuhan presiden flamboyan John F. Kennedy (JFK) pada tahun 1963 yang jadi headline utama dunia kala itu, hingga dicetuskannya Civil Right Act of 1964 yang menjadi fondasi formalnya keadilan bagi hak-hak sipil, hukum tenaga kerja atau buruh, dan soal diskriminasi rasial.
Di belahan bumi lain, di negeri yang pernah jadi superpower, Inggris, juga terjadi peristiwa yang tak akan dilupakan. Peristiwa kelahiran sebuah senjata yang di kemudian hari menjajah seluruh dunia. Tapi... dunia yang dimaksud yaitu dunia musik populer. Setelah matang di dalam negeri, senjata itu digunakan untuk merebut tanah jajahan mereka dulu tak lain yaitu Amerika.
Pada Februari 1964, empat pemuda necis asal Liverpool, The Beatles, mendarat di Bandara Kennedy, New York dengan sambutan histeria dari ribuan muda-mudi. Kemudian mereka tampil di acara sakral, The Ed Sullivan Show, dan memecahkan rekor penonton acara itu dengan 70 juta penonton. Majalah Life pada 1964 pernah menulis begini "Pada 1776, Inggris kehilangan tanah jajahannya, Amerika. Minggu lalu The Beatles merebutnya kembali". Peristiwa itu menjadi awal eksodus musisi-musisi Inggris ke Amerika yang dikenal dengan British Invasion.
Ada perdebatan tentang kata "invasion", karena Beatles tiba di Amerika dengan membawa musik berbasiskan rock n roll. Musik yang merupakan anak dari blues dan saudara dari rockabilly di mana artis-artis terkenalnya yang pasti jadi influence mereka juga, seperti Elvis Presley, Little Richard, Buddy Holly dan Chuck Berry adalah artis Amerika.
Namun invasion disini bukan soal jenis musik, justru lebih pada penaklukan pasar. Invasion bisa diartikan kesuksesan anak-anak muda Inggris mengkudeta pasar musik Amerika (dan kemudian dunia) hingga menduduki puncak tangga-tangga lagu Amerika.
Demam rock n roll memang terjadi di Inggris sekitar tahun 1964. Berusaha menjawab zaman, anak-anak muda di sana tampak sangat bergairah untuk ngulik dan menciptakan kembali bentuk-bentuk lain dari rock n roll klasik ala Amerika.Â
Hasilnya, Beatles menjadi pembuka jalan bagi gerbong besar musik Inggris menduduki pasar Amerika, merubah wajah musik populer masa itu dan menciptakan fans-fans garis keras baru atau "mania" baru yang dikenal dengan Beatlemania. Sekelompk penggemar militan yang bahkan teriakan histerisnya lebih kencang dari suara amplifier panggung idolanya.
Melihat Beatles memang sangat menarik. Ada selentingan jika era musik dunia itu dibagi dua, yaitu sebelum dan setelah Beatles. Mereka merevolusi selera dan industri musik. Tak hanya dari warna musiknya, bahkan hingga cara berdandan. Di era itu, di Inggris sedang hip kultur fashion bernama Mods, yang berisi remaja kelas pekerja yang ingin tampil necis. Mereka itu lah yang mengisi pit-pit festival Beatles di Inggris.
Di Inggris sendiri, Beatles menjadi batu pertama musik pop (dan rock n roll) yang menyenangkan. Menurut Nik Cohn, penulis dan kritikus musik asal Irlandia, musik pop Inggris sebelum Beatles adalah "murni sebuah lelucon". "Tak ada yang bisa bernyanyi, tak ada yang bisa menulis (lirik)" katanya lagi.
Lain Liverpool, lain pula London. Berada di kutub yang berlawanan dengan Beatles, The Rolling Stones hadir dengan sound yang lebih raw, keras tapi bluesy. Ditambah attitude panggung Mick Jagger sebagai vokalis murni yang lebih luwes dibandingkan personel Beatles yang semua memegang alat musik dan semua menjadi vokalis -- setidaknya backing vocal dan harmonisasi.Â
Walaupun Stone setahun lebih muda dari Beatles dalam menginvasi Amerika, dan mungkin tidak seheboh Beatles sebagai pionir, tapi hingga hari ini Stones adalah satu-satunya band yang masih nyata ada, utuh, dan produktif dari era British Invasion. Mick Jagger tahun ini (2020) usianya 77 tahun dan masih aktif merilis lagu.