Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Sejumput Cita Rasa Kota Malang

6 Juni 2019   15:34 Diperbarui: 7 Juni 2019   19:55 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tahu Campur (tahu-campur-telkom-lamongan-bang-suki.business.site)

Pukul 4 dini hari. Kereta Api Majapahit yang saya tumpangi berhenti di stasiun Sragen. Stasiun pemberhentian terakhir di Jawa Tengah. Selanjutnya, kota terdekat yaitu Ngawi, sudah masuk Jawa Timur. Tapi perjalanan masih jauh, baru setengah perjalanan dan sudah menempuh waktu 8 jam. 

Total perjalanan kereta kelas ekonomi Majapahit jurusan Jakarta - Malang adalah 16 jam. Ditambah sedikit-sedikit telat karena harus mengalah dan berhenti di stasiun kecil di luar jadwal jika berpapasan atau akan disalip oleh kereta yang kelasnya lebih tinggi. Belum adanya jalur ganda atau double track pada rute Sragen ke arah Malang membuat kereta harus saling bergantian memakai satu jalur.

Ah, akhirnya perjalanan panjang usai juga. Stasiun Malang Kota Baru menyambut badan lelah dan mata ngantuk saya. Santap siang jadi agenda pertama tentunya. Sembari menunggu waktu check in penginapan kurang lebih 4 jam lagi yakni jam 2 siang. 

Pilihan siang itu jatuh pada Sate Gebug yang konon katanya legendaris karena sudah ada sejak 1920. Baiklah, saya juga sadar kok, sekarang ini selain menambahkan "khas kota mana", penambahan "berdiri sejak kapan" juga jadi semacam strategi pemasaran. Semakin tua "sejak"-nya otomatis dianggap semakin legendaris dan jadi buruan wisatawan standar macam saya ini.

Jarak warungnya sekitar 1,5 km dari stasiun. Terletak di Jalan Kajoetangan. Saya memilih berjalan kaki melewati Alun-alun Tugu Malang, ke arah Jalan Kahuripan, menuju persimpangan Jalan Kajoetangan. Walau hampir tengah hari, tapi pepohonan rindang di sepanjang jalan cukup membuat teduh. Warung kecilnya berada persis di sebelah McDonald's.

Pengunjungnya tampak sepi siang itu. Saya memesan dua porsi sate biasa dan tanpa lemak, nasi putih, dan es teh manis. Saat tersaji, ukurannya lumayan besar dan gemuk. Sekilas mirip sate buntel di Solo. Tapi setelah coba dipotong, ternyata berbeda. 

Satu Buntel terbuat dari daging cincang dibungkus lemak, sedangkan sate gebug adalah daging yang seperti namanya "digebug" hingga agak halus, kemudian dililitkan ke tusuk bambu. Jadi tekstur dagingnya masih terasa.

Sate Gebug (Dok. Pribadi)
Sate Gebug (Dok. Pribadi)
Sajian sate memang tak pernah gagal membuat saya ngiler. Tapi sayangnya, saya kurang cocok dengan rasanya. Ada bumbu rempah-rempah yang saya tak tahu apa namanya, tapi buat saya mengganggu rasa original daging bakar yang saya sukai. Rasa yang sama juga terasa pada bumbu kecapnya. Tapi karena dasarnya daging bakar, dan saya sangat lapar, ya cukup pas dijadikan menu santap siang merangkap sarapan ini.

Seperti lapar, badan pegal pun harus dibayar tuntas. Tentu saja dengan beristirahat dan tidur siang sejenak di penginapan.

Hujan cukup lebat sore hingga malam itu. Tampaknya saya kurang beruntung untuk malam mingguan. Karena itu, makan malam saya pun sedikit telat. Makan malamnya tak seberapa istimewa dan unik. Hanya di sebuah depot mie ayam bernama Hot Cui Mie yang gerainya tersebar di beberapa tempat di Malang termasuk di mall. Saya tidak pernah memasukkan makanan mall sebagai makanan yang wajib di-explore dan diceritakan. Hehehe.

Namun, yang istimewa justru makanan penutupnya. Wedang Angsle. Bisa dibilang saya jatuh hati pada minuman yang pertama kali saya coba ini. Warungnya bernama Ronde Titoni yang terletak di Jalan Zainal Arifin. Satu kompleks dengan Rawon Nguling yang legendaris (tapi saya gagal mencicipinya). Lagi-lagi ada embel-embel legendarisnya karena warung ini sudah berdiri sejak 1946.

Wedang Angsle (Dok. Pribadi)
Wedang Angsle (Dok. Pribadi)
Saya memesan Wedang Angsle untuk di minum di sana dan Wedang Ronde untuk dibawa pulang. Wedang Angsle mirip dengan kolak karena kuahnya bersantan dan manis oleh gula aren atau gula jawa. Isiannya ada ketan, sekoteng, pacar cina, kacang ijo dan roti tawar yang dipotong kotak kecil. Gurih santan dan manisnya gula yang disajikan masih mengepul hangat, sangat cocok jadi pelipur hawa dingin Malang selepas hujan. Apalagi diminum di penghujung hari sebelum waktu istirahat malam. Sedap.

Untuk Wedang Ronde berkomposisi kuah jahe, bola-bola mirip mochi berisi kacang tanah yang disebut ronde, dan taburan kacang tanah sangrainya tidak meninggalkan kesan istimewa bagi saya. Ya, tentu saja karena Wedang Ronde sudah sering saya nikmati dan sudah cukup akrab dengan lidah saya.

Tanpa sengaja

Hari berikutnya, agenda saya ke Kota Wisata Batu dan baru tiba lagi di penginapan sekitar pukul 8 malam. Karena seharian berkendara motor, akhirnya memutuskan untuk tidak berkuliner malam harinya.

Tapi apa daya, perut terasa lapar menjelang tengah malam. Saya putuskan untuk keluar penginapan dan mencari late night street food macam nasi goreng, sate, atau pecel lele. 

Tapi siapa sangka, saya malah menemukan makanan dengan cita rasa yang menurut saya paling berkesan selama saya berada di Malang dan sekitarnya ini. Bukan warung legendaris, hanya bapak-bapak gerobakan yang mangkal di kantor Telkom jalan Kajoetangan. Tepat sebelah wifi corner di mana anak-anak muda bisa puas berinternet murah. Dekat pula dengan Nomaden Coffee. Makanan itu adalah tahu campur.

Tahu Campur (tahu-campur-telkom-lamongan-bang-suki.business.site)
Tahu Campur (tahu-campur-telkom-lamongan-bang-suki.business.site)
Tahu campur khas Jawa Timur ini rasanya unik dan mengesankan buat lidah saya. Bahannya yaitu tahu kuning goreng, tauge, selada, bakwan yang dipotong-potong, dan kikil. Semua dicampur dan disiram kuah kaldu kikil dan diberi bumbu petis. Petis yang berbahan dasar udang, bisa sangat harmonis dengan kaldu kikil sapi. Malam itu secara tak terencana, saya dengan lahap bisa menikmati makanan enak ini. Apalagi malam itu lagi-lagi sehabis hujan dan saya kehujanan sepanjang jalan dari Batu.

Makan malam sederhana namun nikmat itu menjadi lengkap dengan kopi susu dari Nomaden Coffee. Kopinya tak istimewa memang, tapi karena momennya istimewa dan mood yang istimewa karena tahu campur, ngopi sambil merencanakan agenda ke Bromo keesokan harinya pun jadi sangat istimewa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun