Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Yang Abadi adalah Cinta

6 Februari 2019   09:39 Diperbarui: 6 Februari 2019   12:06 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penutupan Pentas Teater

Hampir selama dua jam, pementasan yang berkisah tentang kehidupan penyair Amir Hamzah ini mengajarkan penonton tentang cinta yang abadi. Bahkan selepas jasadnya tak lagi berada di dunia.

Yang fana adalah waktu. Kita abadi.

Penggalan puisi Sapardi Djoko Damono itu sejenak tak relevan setelah saya larut dalam pentas berjudul "Nyanyi Sunyi Revolusi". "Kita" sama fananya dengan waktu. Setidaknya bagi orang-orang terkasih yang pasti suatu saat akan kita tinggal ke alam yang abadi.

Warisan nilai yang kita tinggalkan lah yang abadi. Tak hanya abadi, jika nilai yang menjadi prinsip kita sampai akhir hayat itu adalah nilai kebaikan dan berhasil "menyentuh" orang-orang di sekitar kita, maka nilai itu juga akan menyebar dan akan terus diwariskan. 

Seperti cinta yang sangat luhur yang dianut oleh Tengku Amir Hamzah dan isterinya Tengku Kamaliah.

Penutupan Pentas Teater
Penutupan Pentas Teater
Revolusi, dalam sejarahnya tak pernah hadir tanpa didampingi maut. Babak-babak perjuangan, kemerdekaan, hingga transisi kekuasaan yang lahir dari teriakan "Revolusi", selalu menelan korban. Menyisakan luka, ketakutan, trauma, hingga kebencian, kesumat dan dendam pada generasi setelahnya.

Atas dasar revolusi itu pula, Amir menjadi tumbal kemarahan orang-orang revolusioner. Tahun 1946, di masa pergerakan pasca kemerdekaan, dalam peristiwa Revolusi Sosial di Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara), Amir Hamzah, penyair yang menempuh jalan sunyi dalam mewujudkan cita-cita kedaulatan Republik, diculik dan dieksekusi.

Walaupun karyanya tak menghentak masa dan membakar gelora seperti Chairil Anwar, tapi kontribusi Amir untuk kesusastraan, bahasa Indonesia dan cita-cita pergerakan, sama sekali tidak remeh. 

Bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane, Amir mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe demi melawan penerbit Balai Pustaka milik pemerintah Hindia Belanda yang penuh pembatasan dalam berkarya.

Kisah kehidupan, cinta, cita-cita, keluarga, sikap, hingga kematian Amir Hamzah disuguhkan dalam pentas. Perjalanan sang penyair yang oleh H.B Jassin disebut Raja Penyair Pujangga Baru.

Dilema
Amir kecil protes pada gurunya saat berlatih silat. Amir protes karena hanya diajarkan cara menangkis serangan, bukan menyerang. Dengan penuh hormat, sang guru Ijang Wijaya, memberi nasihat bahwa silat pada dasarnya bukan untuk menyerang dengan kemarahan. 

Gerakan silat yang lembut adalah simbol cinta dan kesabaran. Bukan kemarahan dan kebencian yang muncul saat kita menyerang dengan ganas. Semakin marah musuhmu, semakin mudah untuk dilumpuhkan. Melumpuhkan tanpa membunuh. Melumpuhkan tanpa membenci. Melumpuhkan tanpa mendendam.

Adegan pembuka itu berakhir dengan Amir, yang digendong oleh seseorang, serta gurunya beranjak ke surau untuk mengaji.

Dalam pentas itu, Amir diceritakan hidup dalam dilema. Dilema yang pada akhirnya mengantarkannya ke hari eksekusinya. Dilema besar dirasakan Amir dewasa yang diperankan aktor Lukman Sardi. 

Sepeninggal orang tuanya, biaya sekolah Amir di Solo ditanggung oleh pamannya yang sekaligus Raja Kesultanan Langkat yang dekat dengan Belanda. Biaya itu tentu bersyarat. 

Amir tak boleh berdekatan dengan kaum pergerakan dan terjun ke dunia politik. Hal itu dapat menjadi ancaman bagi kemesraan Kesultanan Langkat dengan Belanda.

Hal itu tentu saja dilanggar oleh Amir. Di Solo, ia bergerak bersama pemuda. Ia menempuh jalan kesusastraan. Konsekuensinya, kegiatan Amir di Solo perlahan tercium oleh Raja.

Dilema lain Amir adalah kisah cintanya dengan Ilik Sundari. Teman Amir di Solo. Gadis Jawa, anak seorang guru biasa. Cintanya harus kandas karena hal yang dengan lantang sangat Amir tentang. Yaitu pembatasan antara kasta bangsawan dan rakyat yang tak boleh berhubungan langsung, apalagi menjalin cinta. Lagi-lagi, Amir kalah pada dilemanya.

Kegalauan Amir ia curahkan pada rekannya, Tengku Burhan. Dalam dialognya, mereka membahas surat perintah untuk pulang dari Raja Langkat pada Amir. 

Satu sisi ia berhutang budi pada raja yang menanggung biaya sekolahnya, di sisi lain Amir mendapat tawaran mengajar bahasa Indonesia di Jepang. Ibaratnya, satu kaki ditarik ke depan menyongsong kedaulatan Republik, tapi kaki yang lain ditarik ke masa lalu oleh kehidupan Kesultanan.

Amir pun kembali ke Langkat, ke 'pelukan' Kesultanan Langkat. Di sana, Amir tetap hidup dalam idealisme dan cinta kasihnya, namun dalam tatanan Kesultanan yang feodal.

 Tak ada pilihan pasti. Di masa revolusi yang bergejolak dan panas, tak pasti dalam pilihan bisa jadi bahaya. Walaupun Amir sempat jadi bupati Binjai yang dekat dengan Republik, tapi ia masih pula seorang Tengku. 

Dan pada akhirnya, hidupnya berakhir oleh mata pedang Ijang Wijaya, ya, Ijang Wijaya guru silatnya. Ijang Wijaya harus memilih antara mengeksekusi tuannya, atau keluarganya dieksekusi oleh kaum revolusioner.

Adegan ini buat saya sangat menyentuh. Keikhlasan Amir sebelum dieksekusi begitu dramatis. Lampu panggung berubah merah, kemudian biru suram saat Ijang meratapi apa yang telah ia perbuat. 

Di tengah raungannya, Amir kecil muncul sedang belajar silat dan hendak pergi ke surau. Gambaran memori Ijang mengenang Amir kecil yang jadi muridnya.

Cinta
Tiga wanita hidup di sekeliling Amir. Ilik Sundari kekasihnya di Solo diperankan oleh Sri Qadariatin, Tengku Kamaliah istrinya di Langkat diperankan oleh Desi Susanti, dan Tengku Tahura anaknya yang saat Amir dieksekusi masih anak-anak diperankan oleh Prisia Nasution.

Dari dan untuk merekalah cinta itu abadi. Percakapan antara Kamaliah dan Tahura dewasa menyiratkan cinta seorang isteri yang nyaris mustahil dimiliki wanita lain.

Kamaliah tahu, jika di hati Amir hanya ada Ilik Sundari seorang. Tapi, cinta Kamaliah pada Amir yang tak terbatas, menjadikan Kamaliah isteri yang lantas berharap suaminya bisa bahagia jika menikah dengan Ilik. 

Kamaliah pernah memimpikan pergi ke Mekah bertiga bersama Amir dan Ilik. Dia berharap, Amir akan pulang hanya bersama Ilik Sundari untuk melanjutkan kisah cinta mereka yang kandas.

Setelah kematian Amir yang simpang siur beritanya, rasa bersalah dan empati Kamaliah pada cinta Ilik dan Amir tambah besar. Ia merasakan bagaimana rasanya kehilangan cinta. 

Bagaimana rasanya Ilik yang harus merelakan Amir menikah karena perjodohan Kesultanan. Cintanya pada Amir dan empatinya pada Ilik menjadi beban hingga akhir hayatnya.

Tahura yang tak habis pikir pada kehidupan cinta orang tuanya, menjadi pewaris beban itu. Ia diberi wasiat untuk pergi ke Jawa dan menyampaikan permintaan maaf Kamaliah pada Ilik. 

Walau bingung, tapi sifat mencintai dan mengasihi yang turut pula diwariskan pada Tahura menjadi alasan utamanya untuk menyampaikan amanat itu. Walaupun pada akhirnya tak tersampaikan karena Ilik telah meninggal saat Tahura tiba di Jawa.

Pementasan yang disutradarai oleh Iswadi Pratama dan diselenggarakan oleh Titimangsa Foundation di Gedung Kesenian Jakarta itu ditutup oleh monolog Tahura. 

Monolog tentang revolusi yang merenggut hidup orang tuanya, dan pada akhirnya berdampak pada dirinya yang mendapatkan cap "anak seorang kontra revolusi".

Namun, dalam diri Tengku Tahura mengalir darah Amir Hamzah dan Tengku Kamaliah. Apapun yang terjadi, manusia tak boleh memendam kebencian dan dendam dalam dirinya. Hanya cinta dan rasa memaafkan yang harus disemai tanpa terikat waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun