Dalam misi membebaskan ibundanya (Sang Winata) dari perbudakan yang dilakukan Sang Kadru (ibu para ular), Sang Garuda mendapatkan syarat untuk 'menebus' ibundanya dengan air suci Tirta Amarta. Di tengah pencariannya, manusia-burung itu bertemu dengan Dewa Wisnu. Dewa Wisnu menawarkan Tirta Amarta dengan syarat Sang Garuda mau menjadi wahana atau kendaraan baginya.
Cerita itulah salah satu yang menjadi sebab Dewa Wisnu mengendarai Garuda dalam memelihara semesta. Beberapa arca Wisnu menaiki Garuda pun ditemukan. Salah satunya di situs peninggalan Majapahit, karena Raja Airlangga dianggap sebagai inkarnasi Dewa Wisnu.ww
Tahun 2018 lalu, wujud itu menjadi buah bibir. Tak lain karena pada akhirnya proyek mercusuar pariwisata Bali yaitu patung baru Garuda Wisnu Kencana (GWK) berhasil rampung dan diresmikan. Dari angka-angka yang dicatat (di luar polemik 29 tahun tarik ulur pembangunannya) terutama soal dimensi, GWK dipastikan menjadi ikon baru pariwisata Bali (dan Indonesia).
Di balik kemegahan patung raksasa itu, ada sosok maestro patung Indonesia yang mengarsitekinya. I Nyoman Nuarta berada di balik pencapaian artistik GWK. Selain GWK, kelindan seninya (dan bisnis) melahirkan karya-karya patung besar di beberapa sudut kota di Indonesia. Mungkin beberapa dari kita sudah familiar dengan patung-patung berikut.
Patung Arjuna menaiki kereta kencana yang ditarik oleh empat kuda dengan efek bayangan sehingga nampak bergerak adalah salah satu karya Nuarta. Patung berjudul "Arjuna Wijaya" itu sangat ikonik karena berada di pusat Jakarta.
Ada lagi patung "Gerbang Garuda" yang berbentuk dua burung yang melesat berlawanan arah. Patung yang menarik perhatian saat kita menuju Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Tak ketinggalan patung dwitunggal Soekarno dan Hatta di Monumen Proklamasi, Jakarta Pusat.
Antitesa pusat Kota Bandung
Di samping patung-patung besar penghias kota, dengan citra yang gagah perkasa, optimis, dan penuh semangat. Nuarta memiliki karya dengan tema dan pesan yang beragam. Itu saya saksikan ketika mengunjung museumnya, yaitu NuArt Sculpture Park di Kota Bandung.
Museum ini jaraknya kira-kira 10 km dari pusat kota Bandung. Pada hari Minggu dan liburan Natal, kawasan seluas 3 hektar ini seolah menjadi antitesa Kota Bandung. Antitesa dari keramaian, keriuhan, kemacetan, kesibukan dan kesesakan Bandung, kota belanja dan liburan.
Letaknya di sebuah perumahan. Petunjuk utamanya adalah patung berbentuk telapak tangan karya Nuarta juga. Masuk ke halamannya, nuansa asri sudah terasa. Pohon-pohon rindang menggugah untuk bernafas panjang merasakan sejuk dan bersihnya udara.
Saya tiba cukup pagi sehingga pengunjung belum banyak. Masih bisa berlama-lama mengamati dan mendiskusikan karya yang dipajang. Dua lantai bangunan utama berisi patung berbagai ukuran yang menangkap beragam tema dan citra. Sebagian besar berbahan dasar tembaga dan kuningan (copper and brass).
Dari ruang utama, kita akan diarahkan ke halaman belakang museum. Sebuah amphitheater kecil berpayung hijau rindangnya pepohonan dan dikelilingi patung-patung berukuran besar, cocok untuk bersantai melepas lelah. Jika ingin sambil bersantap, di sana ada Laxmi Cafe yang artsy. Nuarta sepertinya tidak hanya menjadikan tempat ini sebagai museum, tapi menjadikan patungnya dapat dinikmati dari semua sudut.
Menangkap yang tak kita sadari
"Durjana" menyambut saat saya memasuki lobby. Patung besar berbentuk lelaki kekar dan telanjang ( dengan sensor bagian penisnya) khas patung-patung dewa Yunani itu mencuri perhatian saya. "Durjana" menyiratkan makna tentang kekejian hati manusia di balik kegagahan tubuh dan kejatmikaan parasnya. Tubuhnya terbelah dua, dengan efek transisi di bagian tengahnya. Mukanya memandang burung yang hinggap di tangan kirinya dengan senyuman penuh arti.
Tapi, sisi kanan badannya berlainan sifat. Tangan kanannya menyembunyikan pedang di belakang tubuhnya. Saya mengartikan bebas patung itu sebagai sifat manusia dengan sisi jahat dan baiknya. Penempatan penis di bagian kanan (sisi jahat) juga pasti punya makna. Setidaknya menurut saya. Sama halnya seniman yang bebas berkarya, pengunjung juga bebas mengartikannya, kan?
Pesan yang bisa ditangkap yaitu, ada hal-hal dalam menjalani hidup yang jika kita lakukan bisa menyebabkan kita menjadi "Condemned". Dan konsekuensinya, kita akan merasa 'kecil', terasing, kalah, terhina, bahkan bosan hidup.
Tema lain yang juga banyak adalah menangkap yang tak terlihat. "Tarian Daun" menjadi salah satu patung yang mencoba menangkap wujud angin. Angin memang tak bisa dilihat, tapi gejala adanya angin bisa terasa. Daun yang beterbangan digunakan Nuarta untuk menggambarkan adanya hembusan angin.
Peristiwa di negeri ini juga tak luput dari kepekaan Nuarta. Salah satunya peristiwa yang diulik adalah peristiwa kerusuhan 1998 yang lekat dengan SARA. Chaos yang terjadi meninggalkan kenangan buruk bagi etnis Cina. Mereka jadi sasaran kekejian. Sayangnya, sampai sekarang kasusnya tak kunjung 'nampak wujudnya'.
Kehidupan sosial juga dipotret dan dihidupkan oleh Nuarta. Karya "Oplosan" dan "Rush Hour" misalnya. "Oplosan" menceritakan kehidupan (khususnya) mahasiswa yang gemar nongkrong di tangga kampus. Tak jarang sambil sedikit banyak menenggak minuman keras. Dengan dompet tipis mereka, oplosan menjadi siasat alternatif. Tak jarang alkohol mahal dioplos dengan sari buah saset.
"Rush Hour" juga bercerita kehidupan masyarakat urban yang lekat dengan kata terburu-buru. Digambarkan seorang pria dengan sepeda ontelnya melaju kencang dengan tatapan serius ke depan. Efek gerak hingga membuat lima bayangan menggambarkan seberapa tergesanya pria itu.
Bagi saya, berkunjung ke galeri atau museum seni adalah salah satu cara untuk menikmati keindahan, mengasah rasa, dan melihat apa yang selama ini ada namun tak kita sadari wujudnya. Tak peduli benar atau salah dalam mengartikan, saya hanya perlu membebaskan pikiran untuk mengartikan karya sesuai keinginan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H