Dari ruang utama, kita akan diarahkan ke halaman belakang museum. Sebuah amphitheater kecil berpayung hijau rindangnya pepohonan dan dikelilingi patung-patung berukuran besar, cocok untuk bersantai melepas lelah. Jika ingin sambil bersantap, di sana ada Laxmi Cafe yang artsy. Nuarta sepertinya tidak hanya menjadikan tempat ini sebagai museum, tapi menjadikan patungnya dapat dinikmati dari semua sudut.
Menangkap yang tak kita sadari
"Durjana" menyambut saat saya memasuki lobby. Patung besar berbentuk lelaki kekar dan telanjang ( dengan sensor bagian penisnya) khas patung-patung dewa Yunani itu mencuri perhatian saya. "Durjana" menyiratkan makna tentang kekejian hati manusia di balik kegagahan tubuh dan kejatmikaan parasnya. Tubuhnya terbelah dua, dengan efek transisi di bagian tengahnya. Mukanya memandang burung yang hinggap di tangan kirinya dengan senyuman penuh arti.
Tapi, sisi kanan badannya berlainan sifat. Tangan kanannya menyembunyikan pedang di belakang tubuhnya. Saya mengartikan bebas patung itu sebagai sifat manusia dengan sisi jahat dan baiknya. Penempatan penis di bagian kanan (sisi jahat) juga pasti punya makna. Setidaknya menurut saya. Sama halnya seniman yang bebas berkarya, pengunjung juga bebas mengartikannya, kan?
Pesan yang bisa ditangkap yaitu, ada hal-hal dalam menjalani hidup yang jika kita lakukan bisa menyebabkan kita menjadi "Condemned". Dan konsekuensinya, kita akan merasa 'kecil', terasing, kalah, terhina, bahkan bosan hidup.
Tema lain yang juga banyak adalah menangkap yang tak terlihat. "Tarian Daun" menjadi salah satu patung yang mencoba menangkap wujud angin. Angin memang tak bisa dilihat, tapi gejala adanya angin bisa terasa. Daun yang beterbangan digunakan Nuarta untuk menggambarkan adanya hembusan angin.
Peristiwa di negeri ini juga tak luput dari kepekaan Nuarta. Salah satunya peristiwa yang diulik adalah peristiwa kerusuhan 1998 yang lekat dengan SARA. Chaos yang terjadi meninggalkan kenangan buruk bagi etnis Cina. Mereka jadi sasaran kekejian. Sayangnya, sampai sekarang kasusnya tak kunjung 'nampak wujudnya'.
Kehidupan sosial juga dipotret dan dihidupkan oleh Nuarta. Karya "Oplosan" dan "Rush Hour" misalnya. "Oplosan" menceritakan kehidupan (khususnya) mahasiswa yang gemar nongkrong di tangga kampus. Tak jarang sambil sedikit banyak menenggak minuman keras. Dengan dompet tipis mereka, oplosan menjadi siasat alternatif. Tak jarang alkohol mahal dioplos dengan sari buah saset.
"Rush Hour" juga bercerita kehidupan masyarakat urban yang lekat dengan kata terburu-buru. Digambarkan seorang pria dengan sepeda ontelnya melaju kencang dengan tatapan serius ke depan. Efek gerak hingga membuat lima bayangan menggambarkan seberapa tergesanya pria itu.
Bagi saya, berkunjung ke galeri atau museum seni adalah salah satu cara untuk menikmati keindahan, mengasah rasa, dan melihat apa yang selama ini ada namun tak kita sadari wujudnya. Tak peduli benar atau salah dalam mengartikan, saya hanya perlu membebaskan pikiran untuk mengartikan karya sesuai keinginan saya.