Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Sore Bersahaja di Tongkonan Sederhana

5 Agustus 2018   14:55 Diperbarui: 6 Agustus 2018   00:13 1486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto perpisahan sebelum meninggalkan Buntu' Pune. (dok. pribadi)

"Adat kematian masyarakat Toraja yang sudah ada sejak berabad-abad lalu ini hanya akan berakhir jika masyarakat Toraja sudah tidak lagi mengenal gotong royong," ujar Bu Marla saat bercerita tentang adat kematian Toraja.

Bu Marla menjadi teman ngobrol dan ngopi saya saat singgah menuntaskan sore di Buntu Pune', Toraja Utara. Beliau adalah seorang yang menurut penilaian saya membaktikan diri untuk menjaga sejarah, budaya, dan nilai-nilai yang ada di masyarakat Toraja dengan sangat ikhlas. 

Caranya bercerita dan menjelaskan tentang Toraja dan masyarakatnya, menunjukan bahwa beliau seorang terpelajar. Baru kemudian saya tahu bahwa beliau adalah seorang arkeolog lulusan Universitas Hassanudin.

Lewat cerita-cerita Bu Marla di bawah alang (lumbung padi) yang memang berfungsi sebagai tempat penerima tamu itu, saya dapat sedikit mengetahui tentang masyarakat Toraja, tidak sekedar situs-situs kunonya saja. Walaupun tak secara detail diceritakan oleh Bu Marla.

Sebelumnya, Buntu Pune' sendiri merupakan situs kuno di mana terdapat Tongkonan tua dan tampak sederhana. Letaknya dekat dengan Kete Kesu', namun kondisinya jauh berbeda. Jika Kete Kesu' adalah tempat wisata yang cukup riuh dan komersil,Buntu Pune' lebih tepat disebut tempat menggali cerita (jika mau sekedar 'menyapa' Bu Marla) yang tenang dan bersahaja.

Kepercayaan Kuno

Hal paling pertama yang saya tanyakan tentu saja bagaimana segala hal tentang kematian menjadi sangat ikonik di Toraja. Budaya kematian di Toraja merupakan warisan dari kepercayaan kuno, Aluk Todolo. Aluk Todolo sendiri bukan hanya kepercayaan, tetapi sebuah tata hidup masyarakat Toraja yang mengatur sistem pemerintahan, kemasyarakatan, dan budaya.

Menurut Bu Marla, dasar dari ajaran Aluk Todolo ada tiga, yaitu, sebagai manusia kita harus menjaga keharmonisan dengan sang pencipta, sesama manusia, dan alam. Tampak mirip dengan Tri Hita Karana yang dianut oleh masyarakat Bali. Ya, Aluk Todolo diakui sebagai aliran dari Hindu-Bali atau Hindu Dharma Aluk Todolo.

Bu Marla bercerita tentang masyarakat Toraja. (dok. pribadi)
Bu Marla bercerita tentang masyarakat Toraja. (dok. pribadi)
Kepercayaan Aluk Todolo adalah kepercayaan animisme yang mempercayai roh-roh leluhur. Leluhur orang Toraja konon turun dari langit menggunakan tangga. Tangga gaib itulah yang dipercaya menjadi jalur komunikasi roh orang-orang Toraja yang telah meninggal dengan sang pencipta.

Dalam adat kematian orang Toraja, setidaknya ada tiga hal yang dilakukan oleh penganut Aluk Todolo. Pertama, percaya bahwa orang yang sudah meninggal tapi belum melalui upacara, dianggap belum meninggal. Mayatnya akan disimpan di dalam rumah dengan pengawet hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Mayat itu diperlakukan layaknya orang hidup namun sedang sakit. Keluarga akan memberinya makan, minum, rokok, mengganti baju, hingga menaruh mangkok sebagai tempat buang air.

Kedua memperlakukan mayat secara istimewa dalam upacara pemakaman. Kesiapan keluarga untuk "mematikan" mayat itu tak hanya kesiapan emosional tapi juga finansial. Upacara pemakaman yang mewah itu menelan biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah. Dalam acara itu keluarga wajib menyembelih kerbau dan babi yang jumlahnya tidak sedikit. 

Hewan-hewan itu dipercaya akan menjadi kendaraan si mayat di akhirat kelak. Filosofinya mirip Kurban bagi umat Islam. Daging hasil sembelihannya pun dibagikan. Upacara itulah yang dikenal dengan rambu' solo, ikon kunci wisata festival di Toraja.

Terakhir, setelah mayat dikuburkan, tiga tahun sekali (tergantung kesiapan keluarga) ada upacara manene atau pembersihan jenazah. Mayat dikeluarkan dari kuburan kemudian dibersihkan, diganti pakaiannya, ditambah sesajennya, hingga difoto bersama keluarga untuk memperbarui foto keluarga. Setelah selesai proses bersih-bersihnya, mayat akan diarak. Di situlah dipercaya bahwa arwah leluhur akan turun sehingga mayat tampak bergerak sendiri.

Semua kegiatan itu, tujuannya yaitu menjaga kenangan dan ikatan emosional antara yang meninggal dan yang ditinggalkan. Yang meninggal mungkin sudah lebih bahagia di akhirat sambil menunggu reinkarnasinya.

Filosofi Tongkonan

"Tidak semua rumah yang berbentuk seperti ini disebut Tongkonan," kata Bu Marla membuka cerita mengenai rumah adat Toraja itu. Rumah yang ada di Buntu Pune' ini bisa disebut Tongkonan, karena merupakan tempat yang memiliki fungsi bagi masyarakat dan bukan rumah pribadi. Untuk yang hanya berperan dalam keluarga disebut Batu Ariri. Tetapi ternyata semuanya disebut Tongkonan, hanya memang memiliki beberapa tingkatan.

Ada tiga hal yang menarik perhatian saya soal Tongkonan ini. Bentuk atapnya, posisinya, dan makna ukiran-ukiran yang ada.

Bentuk atapnya yang melengkung punya dua makna, pertama dianggap seperti perahu. Perahu dipercaya sebagai kendaraan orang-orang pertama Toraja untuk tiba di tanah Celebes ini. 

Walaupun tentu saja semua bangsa penjelajah zaman dulu pasti menggunakan kapal atau perahu. Kedua, bentuknya yang setengah lingkaran artinya sebuah hal yang belum sempurna atau setengah dari bumi. Orang Toraja percaya bahwa hidup di dunia memang hanya setengah dari kehidupan, setengahnya lagi setelah mereka bersatu dengan leluhur di alam kematian.

Tongkonan sederhana namun masih utuh di Buntu' Pune. (dok. pribadi)
Tongkonan sederhana namun masih utuh di Buntu' Pune. (dok. pribadi)
Tongkonan selalu tampak rapi. Selalu menghadap ke arah utara berpasangan dengan alang. Menurut Bu Marla, utara dan selatan memiliki makna yang bertolak belakang. Utara adalah tempat suci di mana leluhur orang Toraja berada. 

Mereka menyebutnya Puang Matua yang bisa diartikan Tuhan yang Maha Esa. Sedangkan selatan sebaliknya, yaitu tempat hal-hal yang buruk harus ditinggalkan. Selain utara selatan, mereka juga memaknai timur sebagai tempat awal kehidupan dan barat sebagai kematian.

Seperti rumah adat di manapun di Indonesia pasti lekat dengan oranamen khas. Dengan bahan dasar kayu, ukiran menjadi salah satu ornamen yang lazim ditemui tak terkecuali di Tongkonan. 

Dari sekian banyak ukiran bermotif geometris yang yang menarik, paduan warna menjadi hal yang tidak berubah. Ukiran Toraja di dominasi wana hitam, merah, kuning dan putih. Tiap warna memiliki karakter dan makna masing-masing.

Warna hitam berarti kematian, kuning menggambarkan cahaya atau keilahian, merah dimaknai sebagai darah dan putih menggambarkan tulang.

Tak semua ukiran dijelaskan oleh Bu Marla karena memang sangat banyak. Ukiran yang paling terkenal menurutnya yaitu ukiran Pa Tedong. Ya, ukiran itu begitu familiar juga buat saya. Pa Tedong berarti kerbau. Sebagaimana sapi yang dikeramatkan di India, Kerbau juga menjadi hewan utama yang lekat dengan Toraja. Kerbau adalah persembahan utama dan sangat berharga pada upacara kematian rambu' solo atau manene.

Selain ukiran, lazim kita tahu bahwa tongkonan selalu dihiasi tanduk-tanduk kerbau bertumpuk-tumpuk hasil upacara-upacara rambu' solo atau manene  yang pernah diadakan pemiliknya.

Emas Hitam Toraja

Bu Marla pergi sebentar ke dapurnya dan kembali dengan membawa nampan, lengkap dengan teko dan gelasnya. Suguhan yang menunjukan betapa Bu Marla menganggap kita tamu dan bukan sekedar wisatawan. Aroma dan mengepulnya asap kopi panas saat dituang ke dalam gelas, menandai bahwa obrolan masih akan berlanjut.

"Sejarah kopi Toraja itu panjang. Bahkan dulu ada yang namanya perang kopi. Dan musyawarah untuk mengakhiri perang kopi ini yang di sini. Di Buntu Pune' ini," ujar Bu Marla. Saya pun menyimak cerita beliau.

Perang kopi yang pernah terjadi adalah perang antar suku yang sama-sama ingin menguasai komoditas kopi di Toraja. Kopi Toraja pada abad ke-18 merupakan hasil bumi yang sangat berharga. Biji yang dibawa oleh pedagang Arab ini disebut dengan istilah emas hitam.

Foto perpisahan sebelum meninggalkan Buntu' Pune. (dok. pribadi)
Foto perpisahan sebelum meninggalkan Buntu' Pune. (dok. pribadi)
Pada masa itu perdagangan kopi diincar oleh dua kekuatan besar. Di Utara ada pedagang-pedagang Palopo dari Kerajaan Luwu. Sedangkan di selatan kopi pun diburu oleh saudagar-saudagar Pare-pare dari Kerajaan Sindreng.

Perang pecah saat Toraja diinvasi oleh kerajaan Sindreng yang ingin merebut jalur perdagangan kopi yang banyak dikuasai oleh pedagang Palopo. Konon, serangan militer orang-orang bugis, yang merupakan suku mayoritas di Kerajaan Sindreng, itu pun berbuah kemenangan.

Namun, perang tidak benar-benar berakhir sampai kemudian Pemerintah Kerjaan Belanda tiba di Toraja, sehingga membuat dua kubu yang bertikai itu memilih berdamai dan bekerja sama mengusir penjajah. Akhir perang kopi ini sekaligus menjadi contoh kecil bentuk persatuan bangsa, yang sekarang disebut Indonesia, dalam mengusir orang asing yang mau berkuasa.

Tak sedikit cerita seperti ini hadir pada zaman perjuangan, seperti akhir perang Padri yang melibatkan Kaum Adat dan Kaum Padri (agama) pimpinan Tuanku Imam Bonjol yang memutuskan bersatu melawan Belanda, alih-alih terus berperang antar saudara setanah air.

Kopi di gelas saya perlahan habis. Begitu juga dengan matahari yang perlahan meredup. Petang itu, dengan penuh rasa terima kasih atas cerita yang menarik kami berpamitan. Saya dan teman-teman berniat memberi sedikit "hadiah terima kasih" pada Bu Marla, tapi ketulusan beliau bercerita lebih kuat dan tentu saja menolak.

"Daripada dikasi ke saya, lebih baik kalau ketemu panti asuhan, disumbangkan ke sana saja," sebuah penolakan yang sangat bagus. Kami berpamitan pulang dan saya merasa sore itu sangat menyenangkan, sederhana dan bersahaja walaupun dalam keadaan sangat lelah. Oh iya, di kemudian hari, amanah Bu Marla untuk menyumbangkan uang tersebut benar-benar kami jalankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun