Kedua memperlakukan mayat secara istimewa dalam upacara pemakaman. Kesiapan keluarga untuk "mematikan" mayat itu tak hanya kesiapan emosional tapi juga finansial. Upacara pemakaman yang mewah itu menelan biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah. Dalam acara itu keluarga wajib menyembelih kerbau dan babi yang jumlahnya tidak sedikit.Â
Hewan-hewan itu dipercaya akan menjadi kendaraan si mayat di akhirat kelak. Filosofinya mirip Kurban bagi umat Islam. Daging hasil sembelihannya pun dibagikan. Upacara itulah yang dikenal dengan rambu' solo, ikon kunci wisata festival di Toraja.
Terakhir, setelah mayat dikuburkan, tiga tahun sekali (tergantung kesiapan keluarga) ada upacara manene atau pembersihan jenazah. Mayat dikeluarkan dari kuburan kemudian dibersihkan, diganti pakaiannya, ditambah sesajennya, hingga difoto bersama keluarga untuk memperbarui foto keluarga. Setelah selesai proses bersih-bersihnya, mayat akan diarak. Di situlah dipercaya bahwa arwah leluhur akan turun sehingga mayat tampak bergerak sendiri.
Semua kegiatan itu, tujuannya yaitu menjaga kenangan dan ikatan emosional antara yang meninggal dan yang ditinggalkan. Yang meninggal mungkin sudah lebih bahagia di akhirat sambil menunggu reinkarnasinya.
Filosofi Tongkonan
"Tidak semua rumah yang berbentuk seperti ini disebut Tongkonan," kata Bu Marla membuka cerita mengenai rumah adat Toraja itu. Rumah yang ada di Buntu Pune' ini bisa disebut Tongkonan, karena merupakan tempat yang memiliki fungsi bagi masyarakat dan bukan rumah pribadi. Untuk yang hanya berperan dalam keluarga disebut Batu Ariri. Tetapi ternyata semuanya disebut Tongkonan, hanya memang memiliki beberapa tingkatan.
Ada tiga hal yang menarik perhatian saya soal Tongkonan ini. Bentuk atapnya, posisinya, dan makna ukiran-ukiran yang ada.
Bentuk atapnya yang melengkung punya dua makna, pertama dianggap seperti perahu. Perahu dipercaya sebagai kendaraan orang-orang pertama Toraja untuk tiba di tanah Celebes ini.Â
Walaupun tentu saja semua bangsa penjelajah zaman dulu pasti menggunakan kapal atau perahu. Kedua, bentuknya yang setengah lingkaran artinya sebuah hal yang belum sempurna atau setengah dari bumi. Orang Toraja percaya bahwa hidup di dunia memang hanya setengah dari kehidupan, setengahnya lagi setelah mereka bersatu dengan leluhur di alam kematian.
Mereka menyebutnya Puang Matua yang bisa diartikan Tuhan yang Maha Esa. Sedangkan selatan sebaliknya, yaitu tempat hal-hal yang buruk harus ditinggalkan. Selain utara selatan, mereka juga memaknai timur sebagai tempat awal kehidupan dan barat sebagai kematian.