Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Sore Bersahaja di Tongkonan Sederhana

5 Agustus 2018   14:55 Diperbarui: 6 Agustus 2018   00:13 1486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tongkonan sederhana namun masih utuh di Buntu' Pune. (dok. pribadi)

Kedua memperlakukan mayat secara istimewa dalam upacara pemakaman. Kesiapan keluarga untuk "mematikan" mayat itu tak hanya kesiapan emosional tapi juga finansial. Upacara pemakaman yang mewah itu menelan biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah. Dalam acara itu keluarga wajib menyembelih kerbau dan babi yang jumlahnya tidak sedikit. 

Hewan-hewan itu dipercaya akan menjadi kendaraan si mayat di akhirat kelak. Filosofinya mirip Kurban bagi umat Islam. Daging hasil sembelihannya pun dibagikan. Upacara itulah yang dikenal dengan rambu' solo, ikon kunci wisata festival di Toraja.

Terakhir, setelah mayat dikuburkan, tiga tahun sekali (tergantung kesiapan keluarga) ada upacara manene atau pembersihan jenazah. Mayat dikeluarkan dari kuburan kemudian dibersihkan, diganti pakaiannya, ditambah sesajennya, hingga difoto bersama keluarga untuk memperbarui foto keluarga. Setelah selesai proses bersih-bersihnya, mayat akan diarak. Di situlah dipercaya bahwa arwah leluhur akan turun sehingga mayat tampak bergerak sendiri.

Semua kegiatan itu, tujuannya yaitu menjaga kenangan dan ikatan emosional antara yang meninggal dan yang ditinggalkan. Yang meninggal mungkin sudah lebih bahagia di akhirat sambil menunggu reinkarnasinya.

Filosofi Tongkonan

"Tidak semua rumah yang berbentuk seperti ini disebut Tongkonan," kata Bu Marla membuka cerita mengenai rumah adat Toraja itu. Rumah yang ada di Buntu Pune' ini bisa disebut Tongkonan, karena merupakan tempat yang memiliki fungsi bagi masyarakat dan bukan rumah pribadi. Untuk yang hanya berperan dalam keluarga disebut Batu Ariri. Tetapi ternyata semuanya disebut Tongkonan, hanya memang memiliki beberapa tingkatan.

Ada tiga hal yang menarik perhatian saya soal Tongkonan ini. Bentuk atapnya, posisinya, dan makna ukiran-ukiran yang ada.

Bentuk atapnya yang melengkung punya dua makna, pertama dianggap seperti perahu. Perahu dipercaya sebagai kendaraan orang-orang pertama Toraja untuk tiba di tanah Celebes ini. 

Walaupun tentu saja semua bangsa penjelajah zaman dulu pasti menggunakan kapal atau perahu. Kedua, bentuknya yang setengah lingkaran artinya sebuah hal yang belum sempurna atau setengah dari bumi. Orang Toraja percaya bahwa hidup di dunia memang hanya setengah dari kehidupan, setengahnya lagi setelah mereka bersatu dengan leluhur di alam kematian.

Tongkonan sederhana namun masih utuh di Buntu' Pune. (dok. pribadi)
Tongkonan sederhana namun masih utuh di Buntu' Pune. (dok. pribadi)
Tongkonan selalu tampak rapi. Selalu menghadap ke arah utara berpasangan dengan alang. Menurut Bu Marla, utara dan selatan memiliki makna yang bertolak belakang. Utara adalah tempat suci di mana leluhur orang Toraja berada. 

Mereka menyebutnya Puang Matua yang bisa diartikan Tuhan yang Maha Esa. Sedangkan selatan sebaliknya, yaitu tempat hal-hal yang buruk harus ditinggalkan. Selain utara selatan, mereka juga memaknai timur sebagai tempat awal kehidupan dan barat sebagai kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun