Selalu ada cerita-cerita selama perjalanan yang sekalipun itu amat remeh tapi menyenangkan untuk diceritakan.
Perjalanan darat 300 km lebih Makassar - Toraja memang melelahkan. Ditambah saya dan kawan-kawan start dari Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar jam dua dini hari. Otomatis jam tidur pun harus banyak tergadaikan. Jalanan berlubang banyak ditemui dari Maros hingga Pare-pare. Dilanjutkan, jalanan berliku dan menanjak di Kabupaten Enrekang. Enrekang memang merupakan kabupaten yang sebagian besar tanahnya berada di pegunungan sehingga dijuluki Massenrenpulu' yang artinya meminggir gunung atau menyusur gunung.
Matahari pagi yang mulai bersinar, berbanding terbalik dengan stamina yang mulai meredup. Kami memutuskan singgah di warung pinggir jalan Enrekang untuk menikmati minuman hangat dan melepas lelah. Pemandangan di warung itu langsung menghadap Gunung Nona, jadi sedikit berlama-lama sambil menikmati cerahnya perbukitan yang merefleksikan cahaya matahari pagi bukanlah suatu kesalahan.
Perjalanan kami lanjutkan untuk sekitar 20 persen lagi jarak memasuki Toraja. Sepanjang perjalanan berseliweran baliho foto-foto para calon "pemimpin". Enrekang juga akan menyambut Pilkada serentak. Tapi tunggu, dari tadi hanya ada baliho dari satu pasangan calon yang wajah calon wakil bupatinya terlihat mirip Sutradara Pengabdi Setan, Joko Anwar. Ternyata, Kabupaten Enrekang terjebak dalam pasangan calon tunggal yang diusung hampir semua parpol di DPRD.
Ah sudahlah, lupakan sejenak politik. Tak terasa baliho-baliho itu hilang dan dengan perasaan lega, akhirnya terpampang sambutan "Selamat Datang di Tana Toraja". Kami lanjut menuju Kota Makale yang menjadi tempat singgah untuk sarapan sekaligus makan siang dan sore. Karena kabarnya semakin ke arah Toraja Utara, makanan halal semakin sulit ditemui.
Makale merupakan Ibu Kota Kabupaten Tana Toraja. Salah satu Landmark-nya yaitu Bundaran Kolam Makale yang di tengahnya berdiri patung gagah yaitu Puang Lakipadada. Konon beliau adalah orang sakti dari Tana Toraja yang mengembara mencari pusaka untuk keabadian. Sayang sekali kolam ini nampak kering dan alang-alang tumbuh liar dan berantakan. Padahal, kolom ini digadang-gadang akan menjadi kolam air mancur yang indah dengan anggaran daerah hingga 2,2 miliar.
Buntu Burake mungkin lebih tersohor dibanding kolam yang hidup segan mati tak mau itu. Bahkan di luar Sulawesi dan sangat mungkin hingga luar Indonesia. Di sana terdapat Patung Yesus Kristus yang mirip dengan Patung Yesus di Rio De Janeiro, Brazil. Walaupun patung di Brazil itu lebih mendunia dan tampak bagus di film animasi tentang burung biru berjudul Rio. Jika dilihat sekilas yang paling membedakan kedua patung itu adalah posisi telapak tangan Yesus. Di Brazil tangan Sang Kristus menghadap ke depan seolah ingin memeluk, sedangkan di Makale menghadap ke bawah seolah berkata "calm down, Bro".
Sepanjang jalan setelah memasuki Toraja tampak orang-orang baru bubar dari gereja. Berpakaian serba hitam nan rapi, mereka tengah merayakan Hari Paskah.
Orang Toraja mayoritas beragama Kristen Protestan yaitu sekitar 75 persen. Islam menjadi minoritas di sana dengan tak lebih dari 10 persen populasi. Tapi walaupun begitu tak sulit mencari masjid besar di pinggir jalan.
Di Rantepao (Ibu Kota Kabupaten Toraja Utara) kami solat Jum'at di Masjid Agung di tengah kota dan pasar, Masjid Agung Rantepao namanya. Khutbah hari itu dibuka dengan kalimat yang sejuk. "Saudara-saudara kita yang beragama Kristen sedang berbahagia merayakan Hari Paskah. Jadi sudah seharusnya kita menghormati mereka." Ah sayang sekali kalimat sejuk itu ditambah sejuknya masjid dan rasa kantuk yang akut membuat saya tak bisa untuk tidak tidur. Bahkan baru bangun saat Iqomah sudah selesai dan jemaah sudah mulai berdiri. Hehehe.
Mulai Berwisata
Tiba juga waktunya berwisata. Energi sedikit pulih berkat tidur sejenak setelah sholat Jum'at. Wisata utama di Toraja tentu melihat Tongkonan dan Kuburan. Seperti tujuan pertama kami ini, Kete Kesu. Letaknya tak jauh dari masjid agung. Berada di jalan dengan nama yang sama, Kete Kesu bertetangga dengan Istana Saleko dan Buntu Pune' (yang akan saya ceritakan terpisah).
Rerumputan hijau menghampar luas dengan latar rumah tongkonan adalah pemandangan pertama saat memasuki areal parkir. Kete Kesu adalah sebuah desa adat dimana sebenarnya jika kita mau sedikit 'mengulik', kita bisa menemukan kehidupan tradisional orang Toraja. Namun, sebagai objek wisata, Kete Kesu menampilkan rumah Tongkonan, kuburan batu, dan tanah upacara dengan batu-batu menhir. Toko pernak-pernik dan oleh-oleh ala Toraja juga berderet, Termasuk Kopi Toraja. Tapi di satu kios saya melihat ada Top Kopi Toraja Blend yang dipajang sebagai salah satu oleh-oleh khas Toraja. Hehehe.
Berjalan mengikuti petunjuk arah yang sudah jelas, kita akan menuju kuburan batu. Perhatian saya teralihkan pada sebuah bangunan kecil dengan foto-foto di dinding bagian atas dan patung kayu nenek-nenek duduk di depannya. Patung kayu itu tidak sembarangan ternyata. Patung itu disebut Tau-tau. Hanya orang-orang yang sudah melalui upacara dengan persembahan minimal 24 ekor kerbau, bisa dibuatkan Tau-tau. Dan mayoritas yang bisa melakukan itu tentu saja orang yang berkedudukan.
Beranjak menaiki anak tangga di samping batuan karst yang keras, saya melihat banyaknya peti-peti mati tergeletak. Tengkorak dan tulang belulang juga bukan hal yang aneh. Itulah memang kuburan batu, di mana jenazah orang Toraja disemayamkan. Untuk yang sudah berupa tulang-belulang, tentu usia kematiannya sudah cukup lama. Dan dengan letaknya yang berada di tempat yang lebih rendah, mereka adalah orang-orang biasa, karena semakin tinggi letak kuburannya, semakin tinggi pula kedudukan sosialnya semasa hidup.
Sebenarnya di sisa sore itu masih ada tempat yang kami kunjungi yaitu Istana Saleko dan Buntu Pune, sebelum kami menuju tempat bermalam yang juga berkesan di daerah Batutumonga. Untuk Istana Saleko saya tidak masuk dan untuk Buntu Pune, ada sore yang bersahaja untuk diceritakan sambil menghirup kopi.
Di sana, alih-alih menyantap makanan di restoran yang ada, kita memilih masak sendiri. Ya, rencana awal kita adalah camping di Lolai, Negeri Diatas Awan Toraja yang sedang hits itu. Namun sayangnya kami tidak mendapatkan tenda dan infonya Lolai sangat ramai. Kompor dan gas sudah siap membawa sendiri. Selagi bapak-bapak sholat Jum'at tadi, ibu-ibu berbelanja lauk mentah, sayuran, hingga pisang.
Alat masak untung saja boleh meminjam wajan dari sana. Alhasil, menu masakan ala-ala lengkap dengan gorengan dan kopi melengkapi obrolan kita menjelang tidur. Tentu tak hanya melengkapi, tapi memuaskan perut. Ah, malam yang begitu tenang di hari yang berakhir menyenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H