Pencuri zaman sekarang sudah tidak melakukan pencurian secara diam-diam lagi, tapi sudah dilakukan secara terang-terangan dan tak sedikit juga yang justru digembar-gemborkan. Bahkan beberapa dari meraka sudah berani berpesta. Ya, merayakan kegembiraan sebagai pencuri. Itulah tema utama pentas Indonesia Kita yang ke-25 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, yang dihelat pada Jumat dan Sabtu, 21 dan 22 Juli 2017.
Secara terang-terangan, hampir semua tokoh utama di panggung itu berperan sebagai pencuri dengan berbagai tingkatan atau kelas. Pentas yang berjudul "Pesta Para Pencuri" itu mengajak penonton tak henti tertawa sepanjang dua jam lebih durasi pementasan. Mentertawakan atau tertawa bersama para pencuri.
Semua Bisa Dicuri
Seperti pentas-pentas Indonesia Kita sebelumnya, tim dan para pemainnya tidak banyak berubah dalam pementasan kali ini. Setiap babak yang diselingi tarian dan nyanyian ini menampilkan pelawak-pelawak dengan beragam gaya yang berbeda.
Cak Lontong dan Akbar membuka pentas dengan guyonan-guyonan logika absurb yang membalikkan cara berpikir penonton. Mereka berdua diceritakan sebagai pencuri kelas teri yang ingin menjadi pencuri yang besar dengan mencuri selendang ajaib bernama selendang Wewe Gombel. Konon selendang itu bisa membuat pemakainya tidak terlihat, mirip selimut Harry Potter.
Duet kedua pelawak modern yang muncul bersama booming-nya stand up comedy ini memang selalu menjadi primadona dalam setiap pentas Indonesia Kita. Setidaknya, begitulah dalam setiap pentas yang pernah saya saksikan. Selalu pecah menghidupkan suasana di awal pentas.
Guyonan yang tak kalah lucu walaupun dengan gaya lawakan yang dibilang kuno ditunjukkan oleh kelompok Trio GAM. GAM yang merupakan singkatan dari Guyonan Ala Mataraman itu menampilkan lawakan yang bisa ditemui di pentas-pentas, seperti srimulat atau ketoprak humor zaman dulu. Mereka bertiga yang terdiri dari Gareng, Wisben, dan Joned juga tak pernah absen dari panggung ini.
Trio GAM berperan sebagai kelompok pencuri yang meresahkan namun selalu sial. Mereka juga berniat mencuri selendang Wewe Gombel dan kemudian bekerja sama dengan Marwoto dan Susilo.
Di akhir cerita, Cak Lontong dan Akbar yang berhasil mencuri selendang Wewe Gombel dengan memperdaya Putri Nyai Salma harus berebut dengan Trio GAM dan Marwoto Susilo. Karena merasa sama-sama pencuri kelas teri, akhirmya mereka sepakat menghadap pencuri agung di sebuah goa angker. Pencuri Agung digambarkan sebagai sosok yang konon akan datang ke dunia untuk mencuri sesuatu yang paling berharga milik manusia. Mungkin versi kecil dari Dajjal.
Mereka menghadap pencuri bercadar yang penonton pasti tahu, itu adalah Inayah yang bicaranya cadel. Tapi ternyata dia juga Pencuri Agung Palsu. Pencuri yang sebenarnya muncul dengan berjubah hitam yang tak lain ternyata Nyai Salma sendiri. Dialah pencuri agung yang akan mencuri barang berharga milik manusia. Hati nurani.
Tak terduga memang, ternyata semuanya adalah pencuri. Penuh tipu daya, lobi-lobi licik, dan picik. Dan ya, begitulah para pencuri itu. Mereka berpesta karena ternyata di dunia (negeri) ini semua bisa dicuri termasuk hati nurani.
Selain para pemain yang tidak asing di jagad pentas modern Indonesia, yang tak kalah penting adalah otak dari pentas yang satir, penuh kritik tersirat, dan kaya artistik ini. Mereka adalah Butet Kertaredjasa, Djaduk Ferianto, dan Agus Noor. Trio tim kreatif yang mengomandoi pentas yang tiketnya selalu sold out dalam waktu cepat ini.
Tentang Para Pencuri
Seperti  biasa, naskah pentas ini ditulis oleh Agus Noor. Mengikuti buah pikir Agus Noor tentang pencuri akhir-akhir ini bagi saya menarik. Bagaimana dia dengan sangat-sangat satir dan lucu mempresentasikan pencuri di Indonesia ini, lewat tulisan dan pentas. Salah satunya melalui sebuah esai berjudul "Koruptor Kita Tercinta", terbit di rubrik opini Kompas tanggal 15 Juli 2017.
Sebuah esai yang satir dan mengajak kita untuk mencintai para koruptor di negeri ini. Karena baginya, koruptor itu orang yang banyak berjasa bagi negeri ini. Bagaimana tidak, menjadi koruptor berarti menyelamatkan uang negara di rekening pribadi. Jika ketahuan maka uang itu akan dikembalikan ke negara, impas. Bayangkan jika uang itu tidak diselamatkan dulu, mungkin uang itu akan terpakai untuk proyek-proyek yang nantinya terbengkalai. Uang itu yang sebenarnya untuk rakyat akan menguap begitu saja.
Selain esai tadi, sebuah buku dan cerpen karya Agus Noor juga terbit. Cerpen yang terbit di Kompas Minggu edisi 23 Juli 2017, berjudul "Lelucon Para Koruptor". Dengan ringan dan penuh candaan satir, cerpen itu menceritakan kisah seorang koruptor yang baru dipenjara. Dia mengalami bullying dari napi koruptor lain yang sudah senior dengan jumlah korupsi serta hukuman yang lebih banyak dan lebih lama.
Tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut, juga merupakan plesetan dari nama-nama para napi kasus korupsi di negeri ini. Ada Hakil, Jayus dan Unas. Dalam buku yang berjudul sama dengan cerpen ini, bisa ditebak, barangkali isinya tak akan jauh dari cara pandang Agus Noor pada para pencuri (koruptor).
Buah pikir lain tentu saja pentas "Pesta Para Pencuri" ini. Walaupun di pembukaan singkat oleh Butet dijelaskan bahwa pentas ini bukan untuk membicarakan hewan paling berbahaya di negeri ini, yakni Hewan Perwakilan Rakyat, dan bukan pula menyindir pemerintah DKI Jakarta yang siap berpesta selepas Oktober nanti. Tapi tetap saja, pencuri di tangan seniman adalah jalan pikiran koruptif yang dimiliki orang-orang, terutama yang berkuasa yang sebenarnya diharapkan untuk amanah.
Mungkin mereka memang memilah-milah amanah mana yang harus dijalankan (lebih dulu), karena toh bukan hanya rakyat jelata yang menaruh harapan pada mereka, rakyat yang berkepentingan pun punya harapan pada bapak-bapak itu. Dan kita harus setuju bahwa mereka juga rakyat yang menaruh harapan pada wakilnya.
Di pentas kali ini pun, tanpa disebutkan maksudnya, penonton tahu bahwa tindakan koruptif di negeri ini perlu dirayakan. Pada akhirnya, saya sendiri sadar setelah menonton pentas ini bahwa menghabiskan energi di media sosial atau di manapun untuk mencaci maki para pencuri di negeri ini adalah hal yang sia-sia. Tak ada gunanya lagi mengutuk, mencemooh, bahkan meng-asu-asu-kan, atau men-jancuk-jancuk-kan. Percuma! Karena para pencuri sekarang sudah tidak sembunyi-sembunyi lagi, bahkan terang-terangan melawan saat habitatnya berusaha diusik.
Menghadapai pencuri-pencuri kelas tinggi di negeri ini harus dengan kegembiraan. Maka dari itu kita seharusnya menertawakan tingkah mereka. Karena sebenarnya mereka itu, para pembuat lelucon paling lucu di negeri ini, bukan pembuat rusuh dan geram layaknya begal atau suporter sepakbola yang anarkis. Ya, para pencuri itu lucu dan memang gemar berpesta. Selamat berpesta. Jangan lelah memberi hiburan di layar kaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H