Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merayakan Kegembiraan Sebagai Pencuri

29 Juli 2017   01:41 Diperbarui: 29 Juli 2017   09:07 1259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak terduga memang, ternyata semuanya adalah pencuri. Penuh tipu daya, lobi-lobi licik, dan picik. Dan ya, begitulah para pencuri itu. Mereka berpesta karena ternyata di dunia (negeri) ini semua bisa dicuri termasuk hati nurani.

Selain para pemain yang tidak asing di jagad pentas modern Indonesia, yang tak kalah penting adalah otak dari pentas yang satir, penuh kritik tersirat, dan kaya artistik ini. Mereka adalah Butet Kertaredjasa, Djaduk Ferianto, dan Agus Noor. Trio tim kreatif yang mengomandoi pentas yang tiketnya selalu sold out dalam waktu cepat ini.

Tentang Para Pencuri

Seperti  biasa, naskah pentas ini ditulis oleh Agus Noor. Mengikuti buah pikir Agus Noor tentang pencuri akhir-akhir ini bagi saya menarik. Bagaimana dia dengan sangat-sangat satir dan lucu mempresentasikan pencuri di Indonesia ini, lewat tulisan dan pentas. Salah satunya melalui sebuah esai berjudul "Koruptor Kita Tercinta", terbit di rubrik opini Kompas tanggal 15 Juli 2017.

Sebuah esai yang satir dan mengajak kita untuk mencintai para koruptor di negeri ini. Karena baginya, koruptor itu orang yang banyak berjasa bagi negeri ini. Bagaimana tidak, menjadi koruptor berarti menyelamatkan uang negara di rekening pribadi. Jika ketahuan maka uang itu akan dikembalikan ke negara, impas. Bayangkan jika uang itu tidak diselamatkan dulu, mungkin uang itu akan terpakai untuk proyek-proyek yang nantinya terbengkalai. Uang itu yang sebenarnya untuk rakyat akan menguap begitu saja.

small-pic3-597b8522a49e6269ad1d6c53.jpeg
small-pic3-597b8522a49e6269ad1d6c53.jpeg
Lewat esai yang bisa dibaca di sini, Agus Noor mengajak kita memutar ulang logika terhadap apa yang telah dilakukan para koruptor. Dan pada akhirnya kita dipaksa berdamai dan menikmati bacaan lucu itu.

Selain esai tadi, sebuah buku dan cerpen karya Agus Noor juga terbit. Cerpen yang terbit di Kompas Minggu edisi 23 Juli 2017, berjudul "Lelucon Para Koruptor". Dengan ringan dan penuh candaan satir, cerpen itu menceritakan kisah seorang koruptor yang baru dipenjara. Dia mengalami bullying dari napi koruptor lain yang sudah senior dengan jumlah korupsi serta hukuman yang lebih banyak dan lebih lama.

Tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut, juga merupakan plesetan dari nama-nama para napi kasus korupsi di negeri ini. Ada Hakil, Jayus dan Unas. Dalam buku yang berjudul sama dengan cerpen ini, bisa ditebak, barangkali isinya tak akan jauh dari cara pandang Agus Noor pada para pencuri (koruptor).

Buah pikir lain tentu saja pentas "Pesta Para Pencuri" ini. Walaupun di pembukaan singkat oleh Butet dijelaskan bahwa pentas ini bukan untuk membicarakan hewan paling berbahaya di negeri ini, yakni Hewan Perwakilan Rakyat, dan bukan pula menyindir pemerintah DKI Jakarta yang siap berpesta selepas Oktober nanti. Tapi tetap saja, pencuri di tangan seniman adalah jalan pikiran koruptif yang dimiliki orang-orang, terutama yang berkuasa yang sebenarnya diharapkan untuk amanah.

Mungkin mereka memang memilah-milah amanah mana yang harus dijalankan (lebih dulu), karena toh bukan hanya rakyat jelata yang menaruh harapan pada mereka, rakyat yang berkepentingan pun punya harapan pada bapak-bapak itu. Dan kita harus setuju bahwa mereka juga rakyat yang menaruh harapan pada wakilnya.

Di pentas kali ini pun, tanpa disebutkan maksudnya, penonton tahu bahwa tindakan koruptif di negeri ini perlu dirayakan. Pada akhirnya, saya sendiri sadar setelah menonton pentas ini bahwa menghabiskan energi di media sosial atau di manapun untuk mencaci maki para pencuri di negeri ini adalah hal yang sia-sia. Tak ada gunanya lagi mengutuk, mencemooh, bahkan meng-asu-asu-kan, atau men-jancuk-jancuk-kan. Percuma! Karena para pencuri sekarang sudah tidak sembunyi-sembunyi lagi, bahkan terang-terangan melawan saat habitatnya berusaha diusik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun