Film Laskar Pelangi memang sudah diputar 9 tahun silam (2008). Bahkan novelnya lebih lama lagi, yakni 12 tahun silam. Sudah lama memang, tapi gaungnya saya rasa tak akan pernah hilang, citra Negeri Laskar Pelangi akan selalu melekat di Belitung mungkin hingga generasi yang pernah menyaksikan film itu sudah tidak ada semua.
Citra itu yang terus menarik wisatawan berkunjung ke pulau yang bersama dengan Pulau Bangka menjadi provinsi sendiri, yaitu Provinsi Bangka Belitung atau Babel, sejak tahun 2000 ini. Wisatawan (lokal terutama) tentu penasaran bagaimana film inspiratif yang mereka tonton saat itu masih meninggalkan nama besar di tempatnya lahir.
Di paruh hari pertama kunjungan saya ke Belitung, saya menyusuri jalanan mulus yang dikelilingi kebun sawit dan industri-industri tambang. Saya menuju Kabupaten Belitung Timur, sisi Belitung yang terkenal dengan pernak-pernik tentang Laskar Pelangi. Tak hanya itu, terdapat juga pantai-pantai yang cocok untuk melihat matahari terbit di perairan Selat Karimata. Satu lagi yang terkenal adalah Kota Manggar dengan 1001 warung kopinya. Sayang sekali, harumnya kopi tak bisa saya nikmati karena keterbatasan waktu.
SD Muhammadiyah
Di tengah hari yang terik, saya tiba di replika SD Muhammadiyah yang sangat terkenal. Sebuah bangunan mirip sekolah laskar pelangi, yang saya saksikan di layar kaca itu, berdiri di tengah lapangan pasir pantai yang putih kekuningan. Konon bangunan sekolah yang asli dan digunakan untuk syuting sudah tidak ada.
Dari kacamata wisata, objek ini mungkin tidak memberikan banyak pengalaman, karena sebenarnya tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan di sana. Tentu saja selain berfoto. Di mana pun tempat hits pasti bisa untuk berfoto. Berlama-lama apalagi bersantai tidak juga tepat dilakukan di sini. Tapi, tempat ini menjadi wajib dikunjungi karena sudah menjadi icon yang menyatukan Belitung dengan Laskar Pelangi. Tidak lengkap rasanya jika tidak berkunjung dan berfoto di sini.
Saya mencoba sejenak mengingat adegan film Laskar Pelangi, dan yang muncul pertama kali adalah adegan persiapan lomba cerdas cermat. Adegan yang cukup intens menampilkan suasana ruang kelas yang beralaskan tanah. Semangat berkobar di tengah-tengah segala keterbatasan.
Bangunan ini memang dicitrakan untuk menginspirasi. Namun, jika kita coba memperdalam ingatan, tidak hanya isi film karya Riri Riza dan novel karya Andrea Hirata saja yang akan muncul. Bangunan ini juga mencerminkan pendidikan di Indonesia terutama di daerah-daerah terpencil. Fiksi Laskar Pelangi, walaupun diangkat dari kisah nyata, memiliki sisi berlawan dalam konteks kualitas pendidikan di seluruh penjuru negeri. Tak bisa dipungkiri jika masih banyak potret nyata pendidikan yang masih terpuruk dan belum juga bisa bangkit karena keterbatasan.
Berlawanan dengan kegigihan Bu Mus, banyak guru-guru yang mengeluh berbulan-bulan gaji belum juga cair. Dibalik semangat para laskar pelangi, banyak murid-murid terlantar karena infrastruktur sekolah yang tidak layak. Di batas kibaran sang merah putih, berkibar pula bendera negara tetangga yang merayu dengan kualitas sekolah yang jauh lebih baik. Dan dalam film itu, jika kita cermat, dibalik penggalan lirik lagu “menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga” ada tokoh Lintang yang pada akhirnya harus kalah karena keadaan setelah ayahnya meninggal.
SD Muhammadiyah memang mengingatkan bagaimana sebuah mimpi yang diperjuangkan akan membuahkan hasil yang baik. Tapi juga tak membuat kita lupa bahwa masih banyak PR untuk mencetak Laskar Pelangi-Laskar Pelangi lain di setiap pelosok negeri yang indah ini.