Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kisah Akulturasi dalam Lembaran Batik Lasem

15 April 2017   12:56 Diperbarui: 16 April 2017   00:00 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para Pembatik. (Dok. Pribadi)

Kain batik memang milik negeri ini dan diakui oleh dunia internasional. Keindahan dan keragaman motif serta warnanya menjadi ragam hias yang pasarnya sangat luas dibanding produk-produk kain budaya lainnya seperti songket dan ulos misalnya. Batik sekarang ini menjadi pakaian yang tidak lagi kuno. Cocok dipadu padankan dengan beragam produk fashion lain dan pantas dikenakan pada beragam event.

Tapi tidak salah juga jika mengatakan bahwa batik yang mayoritas kita kenal saat ini hanyalah sebatas barang dagangan. Beragam motif kain yang bisa dengan mudah didapatkan di pasaran, kita tahu tak lebih dari baju-baju biasa. 

Namun, di samping batik-batik modern yang didominasi batik print untuk kebutuhan industri, lembar-lembar kain ini di masa dan tempat tertentu memiliki sisi lain yang menarik untuk digali kemudian diceritakan kembali. Batik yang lebih dari sekedar kain. Batik yang menjadi buku sejarah dan cerita kehidupan sosial orang-orang yang menjadi bagian dari “komposisi” keindahan batik tulis.

Lasem dengan segala ceritanya juga menjadikan batik sebagai “media” penyimpan sejarah dan cerita tentang kota kecil yang damai ini. Batik Lasem, menggugah minat saya untuk sekedar berkenalan dan mendengarkannya menceritakan hal-hal yang menarik. Tak hanya soal penjualan dan industrinya, tapi soal jejak tentang akulturasi etnis Jawa dan Tionghoa. Cerita itu terekam pada lembaran batik tulis Lasem. Saya dapat informasinya di kawasan pecinan, yang juga menjadi kampung wisata batik, yaitu Desa Babagan.

Sekar Kencana

Rumah bergaya Tionghoa dengan pintu ganda itu terletak di ujung salah satu gang di Desa Babagan. Terdapat papan dengan tulisan “Batik Tulis Sekar Kencana”. Di pagi yang cerah pada hari ketiga setelah imlek itu, saya sowan ke rumah batik yang legendaris. Legendaris karena pemilik batik ini adalah salah satu tokoh Tionghoa Lasem. Cita-cita dan tindakannya turut menumbuhkan semangat akulturasi. Sigit Witjaksana atau Njoo Tjoen Hien adalah pionir batik akulturasi Lasem. Batik bermotif dasar Jawa seperti latoan, kricak, dan sekar jagad namun diisi juga dengan aksara han atau aksara mandarin.

Batik-batik Setengah Jadi (Dok. Pribadi)
Batik-batik Setengah Jadi (Dok. Pribadi)
Teras luas dengan beragam foto tertempel di dinding menyambut kami. Di sisi barat rumah tepat di belakang tembok tinggi khas rumah Tionghoa di Lasem, ibu-ibu setengah baya tampak mengatur gawangan (tempat kain batik ditaruh untuk dikerjakan). Rupanya itu tempat mereka melakukan finishing kain-kain batik. 

Saya melanjutkan berjalan ke arah belakang rumah. Seorang ibu sudah cukup berumur juga tampak sedang berbincang dengan ibu-ibu yang lain. Dialah Istri dari Pak Sigit yang atas izinnya saya boleh berkeliling ke “dapur” batik yang telah dimulai sejak tahun 1923 oleh orang tua Pak Sigit ini.

Aroma malam panas menguar di udara. Para pembatik sedang bersiap-siap memulai kerja hari itu. Ada yang menjerang air, menjemur kain mori dan batik-batik yang menunggu di-lorod, mempersiapkan tumpukan kain yang akan digarap, dan menyusun batik-batik yang sudah setengah jadi. Mereka tetap ramah menanyai dan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya sambil bekerja. Sesekali bercanda.

“Kae lho nggaya sek meh difoto,” ujar salah seorang saat saya sedang mengambil foto.

Usai berkeliling dan beranjak pulang, ternyata di meja belakang sudah ada suguhan teh hangat manis. Jadi, mau tak mau saya duduk sebentar. Tak lama kemudian Pak Sigit muncul dan ikut duduk bersama. Beliau kemudian bercerita tentang batik Lasem dari sudut pandang yang tak sekedar bisnis. Tak hanya batik, beliau juga berbagi kisah suka duka menjadi orang Tionghoa selama hidupnya.

Batik Akulturasi

Pak Sigit membuka ceritanya dengan keprihatinan akan batik Lasem yang dulu pernah berjaya namun sekarang kurang banyak didengar. Batik Lasem dulu masuk dalam The Big Five Batik Jawa, bersama Solo, Yogya, Pekalongan dan Cirebon. Tidak adanya kerja sama antar pengusaha ditambah kurangnya perhatian pemerintah menjadikan batik Lasem seolah lesu. 

Bahkan di Lasem tidak ada pasar batik. Hanya Desa Babagan yang menjadi kampung batik dengan outlet di tiap rumah. Tapi menurut saya hal itu ada sisi positifnya, terutama soal keaslian batik. Belanja batik di Desa Babagan, nyaris tidak akan menemui batik print. Bahkan batik cap pun jarang, rumah-rumah batik hanya menjual batik tulis.

Batik dengan Aksara Han (Dok. Pribadi)
Batik dengan Aksara Han (Dok. Pribadi)
Pak Sigit memulai produksi motif batik akulturasi dengan niat yang sangat luhur. Seperti halnya kesuksesan pada umumnya, hasil karya beliau dengan memasukkan aksara han yang dipelajarinya secara otodidak mendapat sambutan di luar dugaan. Pembelinya ternyata malah banyak dari kalangan santri hingga orang-orang keraton di Solo dan Yogya. Niatnya menampilkan akulturasi Jawa dan Tionghoa di Lasem yang telah tumbuh sejak lama berhasil diakui dinas pariwisata kabupaten Rembang.

Tak hanya aksara han di batik milik Pak Sigit, beberapa motif klasik batik Lasem yang diceritakan Pak Sigit juga menyajikan unsur Tionghoa. Motif yang paling terkenal adalah motif naga yang merupakan lambang keperkasaan lelaki dan motif burung hong atau burung phoenix yang melambangkan keanggunan wanita. Motif-motif yang banyak ditemui di dinding-dinding klenteng.

Batik Lasem masuk golongan batik pesisir. Salah satu faksi dari dua faksi besar batik di Jawa, yaitu Batik Keraton dan Batik Pesisir. Batik pesisir dikenal lebih beragam karena dalam perkembangannya, dari masa ke masa, bersentuhan dengan dunia perdagangan dan budaya dari luar. Warna dan motif tentu saja menjadi pembeda antara dua faksi tersebut.

Pengaruh Tionghoa di Batik Lasem sebenarnya bukan dimulai dari Pak Sigit. Jauh sebelum itu, persentuhan batik Lasem dengan Tiongkok dibawa oleh armada Cheng Ho lewat Na Li Ni, Istri salah satu nahkodanya, Bi Nang Un yang kemudian memutuskan menetap di Lasem. Walaupun konon batik Lasem sudah ada sejak zaman Majapahit karena Lasem merupakan bagian dari Majapahit, namun dimulainya perdagangan batik dipercaya sejak Cheng Ho mendarat sekitar abad ke-15.

Batik Lasem juga memiliki ciri khas pada warna. Warna merah segar yang dikenal dengan merah getih pitik atau darah ayam.

“Jadi sebelum tahun 2000 itu, banyak saudagar-saudagar batik Solo dan Jogja yang datang ke Lasem membeli batik bakalan (setengah jadi) yang warnanya merah segar,” ujar Pak Sigit. “Terus mereka finishing di sana dan dijual dengan nama batik Laseman.”

“Itulah untungnya orang Lasem. Air tanah di Lasem itu punya mineral khusus yang jika dicampur dengan pewarna merah (akar mengkudu) akan menghasilkan warna merah yang cerah. Ya itu merah darah ayam,” tambahnya. Warna yang cerah juga merupakan ciri dasar batik pesisir. Merah sebagai warna khas Lasem menunjukkan pula relasi yang merujuk pada warna khas orang-orang Tionghoa.

Nasionalis

Di usianya yang sudah lebih dari tahun kemerdekaan Indonesia, Pak Sigit sudah melewati beragam suka duka menjadi orang Tionghoa di negeri ini. Perjalanan hidup 88 tahunnya mengajarkan dirinya dan siapapun yang bercakap dengannya tentang nasionalisme.

Sigit Witjaksana. Salah satu maestro batik Lasem. (Dok. Pribadi)
Sigit Witjaksana. Salah satu maestro batik Lasem. (Dok. Pribadi)
“Saya itu sudah tidak lagi kepikiran tanah leluhur yang jauh sana. Tanah Indonesia ini ya tempat saya mengabdi,” tegasnya. Beliau tentu merasakan bagaimana susahnya masa-masa Pak Harto berkuasa. Bagaimana namanya menjadi Sigit. Bagaimana sulitnya beribadah dan menggelar perayaan sebagai orang Tionghoa beragama Khong Hu Cu (beliau menyebutnya agama Klenteng). Memori tidak enak selama zaman Pak Harto masih tersirat dalam ceritanya. Foto Gus Dur dan Bung Karno di dinding rumahnya menjadi tanda bagaimana Gus Dur telah menjadi bintang penerang baginya dan orang-orang Tionghoa lainnya.

Lewat aksara han di batik Lasem dan tindakannya, kakek yang beristrikan seorang Jawa muslim dan memiliki anak seorang mualaf ini mengajarkan betapa sejuknya hidup bersama dalam keberagaman.

Aksara han di batiknya merupakan kata-kata mutiara dari kitab-kitab teologi Tionghoa yang ia pelajar. Semuanya soal kedamaian. Tidak ada politik, apalagi komunis.

Di empat penjuru samudera semua manua bersahabat. Begitulah bunyi salah satu aksara han pada batik yang beliau berikan pada Gus Zaim, pemimpin pesantren Kauman di Desa Karangturi.

Berkunjung ke Lasem bukanlah liburan biasa. Mungkin Lasem tak banyak muncul di media sosial, Instagram misalnya. Ah, tapi itu kan hanya citra yang instan. Lasem dan segala cerita yang menyejukkan bukan sesuatu yang instan. Kisahnya yang panjang tumbuh dan terus terjaga hingga hari ini. Mengasah rasa siapa pun yang mendengarkannya. Ya, bagi saya, Lasem itu rasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun