Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kisah Akulturasi dalam Lembaran Batik Lasem

15 April 2017   12:56 Diperbarui: 16 April 2017   00:00 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batik-batik Setengah Jadi (Dok. Pribadi)

Di usianya yang sudah lebih dari tahun kemerdekaan Indonesia, Pak Sigit sudah melewati beragam suka duka menjadi orang Tionghoa di negeri ini. Perjalanan hidup 88 tahunnya mengajarkan dirinya dan siapapun yang bercakap dengannya tentang nasionalisme.

Sigit Witjaksana. Salah satu maestro batik Lasem. (Dok. Pribadi)
Sigit Witjaksana. Salah satu maestro batik Lasem. (Dok. Pribadi)
“Saya itu sudah tidak lagi kepikiran tanah leluhur yang jauh sana. Tanah Indonesia ini ya tempat saya mengabdi,” tegasnya. Beliau tentu merasakan bagaimana susahnya masa-masa Pak Harto berkuasa. Bagaimana namanya menjadi Sigit. Bagaimana sulitnya beribadah dan menggelar perayaan sebagai orang Tionghoa beragama Khong Hu Cu (beliau menyebutnya agama Klenteng). Memori tidak enak selama zaman Pak Harto masih tersirat dalam ceritanya. Foto Gus Dur dan Bung Karno di dinding rumahnya menjadi tanda bagaimana Gus Dur telah menjadi bintang penerang baginya dan orang-orang Tionghoa lainnya.

Lewat aksara han di batik Lasem dan tindakannya, kakek yang beristrikan seorang Jawa muslim dan memiliki anak seorang mualaf ini mengajarkan betapa sejuknya hidup bersama dalam keberagaman.

Aksara han di batiknya merupakan kata-kata mutiara dari kitab-kitab teologi Tionghoa yang ia pelajar. Semuanya soal kedamaian. Tidak ada politik, apalagi komunis.

Di empat penjuru samudera semua manua bersahabat. Begitulah bunyi salah satu aksara han pada batik yang beliau berikan pada Gus Zaim, pemimpin pesantren Kauman di Desa Karangturi.

Berkunjung ke Lasem bukanlah liburan biasa. Mungkin Lasem tak banyak muncul di media sosial, Instagram misalnya. Ah, tapi itu kan hanya citra yang instan. Lasem dan segala cerita yang menyejukkan bukan sesuatu yang instan. Kisahnya yang panjang tumbuh dan terus terjaga hingga hari ini. Mengasah rasa siapa pun yang mendengarkannya. Ya, bagi saya, Lasem itu rasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun