Di usianya yang sudah lebih dari tahun kemerdekaan Indonesia, Pak Sigit sudah melewati beragam suka duka menjadi orang Tionghoa di negeri ini. Perjalanan hidup 88 tahunnya mengajarkan dirinya dan siapapun yang bercakap dengannya tentang nasionalisme.
Lewat aksara han di batik Lasem dan tindakannya, kakek yang beristrikan seorang Jawa muslim dan memiliki anak seorang mualaf ini mengajarkan betapa sejuknya hidup bersama dalam keberagaman.
Aksara han di batiknya merupakan kata-kata mutiara dari kitab-kitab teologi Tionghoa yang ia pelajar. Semuanya soal kedamaian. Tidak ada politik, apalagi komunis.
Di empat penjuru samudera semua manua bersahabat. Begitulah bunyi salah satu aksara han pada batik yang beliau berikan pada Gus Zaim, pemimpin pesantren Kauman di Desa Karangturi.
Berkunjung ke Lasem bukanlah liburan biasa. Mungkin Lasem tak banyak muncul di media sosial, Instagram misalnya. Ah, tapi itu kan hanya citra yang instan. Lasem dan segala cerita yang menyejukkan bukan sesuatu yang instan. Kisahnya yang panjang tumbuh dan terus terjaga hingga hari ini. Mengasah rasa siapa pun yang mendengarkannya. Ya, bagi saya, Lasem itu rasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H