Sebagai penanda terbangunnya komunitas Tionghoa, di sini juga terdapat klenteng. Namun agak jauh dari komplek pecinan, malah dekat dengan pemukiman orang Jawa. Klenteng Po An Bio tak jarang menjadi pusat perayaan Imlek dan Cap Go Meh di Lasem. Walaupun berada di sekitar permukiman pribumi, tak ada gesekan apalagi demo dan penolakan.
Dipicu oleh tindakan represif VOC pada orang-orang Tionghoa, maka meletuslah persitiwa yang dikenal dengan Geger Pecinan di Batavia. Orang-orang Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan. Mereka menyelamatkan diri keluar dari Batavia. Sebagian hijrah ke Lasem yang memang sudah terbentuk komunitas Tionghoa yang besar.
Di masa itu pula, sekitar tahun 1742 hingga 1750, terjadi sebuah pemberontakan orang-orang Lasem pada pemerintah Belanda dalam hal ini VOC. Orang-orang Lasem bersatu di bawah komando tiga bersaudara (setelah menjalankan sumpah sebagai saudara angkat) dari etnis dan latar belakang berbeda. Mereka adalah Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kiat), seorang Tionghoa yang mengemban jabatan Adipati Lasem dan Mayor Lasem, Raden Panji Margono, seorang pribumi putra dari Tejakusuma V, dan Kiai Baidlawi seorang ulama, serta dibantu oleh Tan Kee Wei seorang pendekar kung fu.
Perang bersejarah itu mempererat persaudaraan orang-orang Lasem. Perang Kuning, begitulah orang Lasem menyebutnya. Nama mereka kemudian diabadikan di sebuah klenteng di Desa Babagan, kawasan pecinan yang dibangun pada abad ke-17, bernama klenteng Gie Yong Bio. Bahkan altar khusus penghormatan Raden Panji Margono pun ada di klenteng tersebut. Desa Babagan kini menjadi pecinan yang sekaligus merupakan pusat wisata Batik Lasem.
Babak terakhir pembangunan kampung pecinan Lasem yaitu di Desa Gedongmulyo di sisi utara Jalan Deandels dan sisi barat Sungai Dasun. Permukiman ini dirancang pemerintah Belanda, sehingga bangunannya ada sentuhan-sentuhan arsitektur Indisch. Tidak ada klenteng besar di sana, dan sekarang hanya tinggal sedikit rumah-rumah bergaya Tionghoa yang ada di sana, malah lebih seperti cluster perumahan biasa yang rapi.
Bukan sebuah hubungan yang dibentuk dari media sosial dan media instan lainnya, tapi yang sudah terbangun dari beragam peristiwa yang menyatukan orang-orang Lasem yang menurut pendapat saya, semuanya adalah bangsa Indonesia. Orang-orang Lasem dengan berbagai latar belakang etnis, semuanya adalah pribumi, tanpa terkecuali. Mereka hidup saling mengisi sehingga terjalin harmoni sehangat kopi Lasem ditambah asap rokok kretek. Damai.