Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Libur Akhir Pekan Keluarga Martono

14 Februari 2017   15:15 Diperbarui: 14 Februari 2017   23:17 1666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Martono hanya mendapat jatah libur sekali dalam seminggu. Waktunya pun tidak selalu pada hari Minggu, saat orang-orang libur. Itulah mengapa ia tidak banyak mengenal akhir pekan. Apalagi ucapan happy weekend. Hari libur bagi orang-orang macam Martono tak lebih dari sekedar hari jeda. Paling-paling habis untuk bersantai sepanjang hari di rumah. Belum lagi jika ada transisi shift setelah libur. Jika dari shift pagi ke shift siang, ia masih berani begadang di warkop dekat rumahnya sambil bermain karambol. Tentu ditambah hukuman coretan blau cuci di wajah bagi yang kalah, agar tawa bisa lebih lepas. Lain halnya jika dari shift siang sebelum libur menjadi shift pagi setelah libur.

“Huh, besok shift pagi,” keluhnya selalu pada istrinya di sisa sore hari liburnya.

“Ya sudah to Pak, bukan pertama kali juga seperti ini,” ujar istrinya sambil menghidangkan pisang goreng dan teh hangat manis sebagai sambutan bangun tidur Martono. “Kalo mau enak ya jadi PNS aja sana,” sindir istrinya yang memang periang.

“Amin, Bu, amin.”

“Mas Amin tukang bakso depan warkop?” Canda istrinya sambil menuju ke dapur melanjutkan menggoreng pisang yang belum selesai.

Sebenarnya keluarga Martono bukan keluarga kekurangan. Hanya pas-pasan. Harmonis bisa juga dibilang begitu. Rumah petak sangat sangat sederhana ini jarang didera konflik. Bahkan canda tawa kerap terdengar saat malam-malam keluarga kecil dengan dua anak kelas 4 dan 3 SD ini menyaksikan acara talk show lewat televisi layar datar yang mereknya tak pernah muncul di papan iklan apalagi iklan tv.

Istrinya penyabar dan periang. Martono terkadang mengeluh tapi tak menjadikannya beban hidup. Cita-cita dan keinginannya tidak tinggi-tinggi. Yang penting anaknya dapat lulus SMK dan kerja di pabrik. Itu saja. Mungkin karena meraka jarang menonton acara motivasi yang tentu bagi Martono sulit sekali dipraktekkan. Martono, sadar tidak sadar, paham bahwa keinginan adalah sumber penderitaan.

Tapi Martono juga tentu punya keinginan di hari liburnya. Hari itu, hari Minggu, ia akan mewujudkannya. Kebetulan ia mendapat libur di hari Minggu. Tentu anak-anaknya pun libur. Walaupun bukan jatah liburnya, tapi ada temannya yang meminta tukar libur dengan Martono. Kadang merugikan, tapi yang ini menguntungkan. Hari itu sedikit mendung, tapi tak membendung niat Martono untuk berlibur.

“Jangan kelamaan dandannya Bu.”

“Sebentar dong, Pak. Ibu kan belum pernah ke sana. Daripada malu.”

“Halah kayak orang gedean aja kamu.”

Martono duduk menunggu di bangku teras sambil menghabiskan beberapa batang rokok. Anak-anak sudah rapi dan masih sempat berebut mainan sembari menunggu ibunya.

“Nanti kita bakal ketemu teman-temanmu ya Pak?”

“Ya tentu lah. Tapi hari ini bapak jadi pengunjung. Pengunjung adalah raja. Hahaha!” Kelakar Martono kemudian mematikan rokok dan menghabiskan teh manisnya.

Tak ada taksi. Apalagi yang perlu bersusah payah menggunakan aplikasi. Metromini mereka cegat di pinggir jalan. Kertnetnya selalu berteriak dan bergelantungan tak kalah berani dibandingkan pemain sirkus. Kursi plastik sudah biasa. Untunglah tidak penuh, jadi mereka berempat bisa duduk.

“Nanti kalo gelap jangan takut ya?” Kata Martono pada anak keduanya.

“Loh kok gelap, Pak?”

“Ya sudah, pokoknya jangan takut. Pasti seneng. Bagus.” Anaknya tampak bingung dengan penjelasan Martono. Anaknya tidak tahu mereka akan pergi kemana. Martono pun susah menjelaskannya.

Mereka akhirnya tiba di tujuan. Udara gedung ini tak pernah sesegar ini walau Martono sudah tiga tahun bekerja di sini.

“Lah, Ton. Ngapain lu? Bukannya jatah lu libur?” Biasanya Satpam menyapa dengan “Silakan”, kali ini berbeda karena yang datang Martono. Temannya sendiri.

“Hahaha. Gue mau jadi pengunjung. Sama keluarga gue.” Pak Satpam melirik keluarga Martono. Melempar senyum ke istri dan anak-anaknya.

“Gaya lu, Ton. Kaya orang kaya aja.”

“Sekali-sekali dong, Bos. Masa kerja bertahun-tahun cuma lihat tulisan jalan doang. Hahaha.” Jawab Martono sambil masuk dan mengantri.

Antrian sudah sampai depan. Kali ini Mbak Penjual Tiket yang juga teman Martono menyapa. Tidak seperti Pak Satpam yang kurang ajar. Mbak Penjual Tiket ber-makeup tebal melayani Martono layaknya pengunjung lainnya. Hanya sedikit lebih akrab.

“Oh, nonton sama keluarga, Pak Tono? Silakan.”

“Iya ini. Mau nonton Donald Bebek.”

“Silakan, yang hijau kosong.”

“H4 sampai H7.” Pilih Martono.

“Nih dek tiketnya. Totalnya 200 ribu, Pak Tono,” Mbak Penjual Tiket memberikan tiket pada anak pertama Martono yang tampak asing di ruangan ber-AC yang belum pernah ia rasakan. Aroma pop corn dan mesinnya yang lucu tak lepas dari perhatian si adik.

Mereka menunggu di kursi depan pintu teater 2 tempat film Donald Bebek diputar.

“Mahal sekali Pak. 200 ribu buat nonton dua jam doang. Buat belanja sayur bisa satu minggu itu Pak,” kata istrinya.

“Sudah lah Bu. Sekali-kali kita perlu bersenang-senang kayak mereka,” sambil matanya seperti menunjuk pengunjung lain. Kebanyakan remaja karena ada film super hero dan drama cinta yang sedang diputar. Tapi banyak juga anak-anak kecil dengan orang tua yang necis-necis yang pastinya menunggu Donald Bebek.

Anak-anak Martono diam seperti mencerna pengalaman yang pertama kali mereka rasakan. Sementara Martono disapa dan mengobrol sebentar dengan temannya sesama cleaning service di gedung bioskop itu. Temannya tentu saja meledek Martono yang sok-sokan pergi menonton. Tapi Martono tetap santai dan ketawa-ketiwi saja.

Pengumuman “pintu teater dua telah dibuka” sudah terdengar. Martono sekeluarga dan penonton-penonton lain memasuki ruangan. Mereka duduk di bangku yang telah dipilih. Kedua anaknya diapit oleh Martono dan Istrinya.

“Itu TV Pak?” Tanya Si Kakak tampak takjub.

“Iya, gede banget kan? Nanti Donald Bebeknya disetel di situ.”

“Kok gelap sih Bu?” Si Adik agak gelisah.

“Ya memang begini. Ini namanya bioskop,” jawab Si Ibu sekenanya karena ia juga baru pertama kali masuk ke ruangan ini.

Saat trailer film-film mulai dimainkan. Mereka berempat tampak takjub. Hiburan yang baru pertama kali mereka rasakan. Rasa takjub membuat mereka diam. Padahal baru iklan dan trailer dimana bagi orang yang sudah berkali-kali nonton adalah bagian saat memilih film mana yang selanjutnya akan ditonton.

Lampu dipadamkan semua. Film Donald Bebek berdurasi 102 menit akan segera mulai. Martono memberi tahu anak-anaknya untuk diam walaupun sudah diam sejak tadi. Perasaan keempat orang ini campur aduk. Bingung iya. Asing iya. Kagum iya. Sedikit takut juga iya.

Anak-anaknya belum bisa membaca subtitle dengan cepat. Akhirnya mereka hanya menikmati gambar saja. Martono dan Istrinya hanya merasa senang karena anak-anaknya tertawa menonton adegan-adegan lucu, seperti saat Donald Bebek jatuh ke sungai. Mereka menikmati sambil makan cemilan yang tentu saja dibeli di warung dekat rumah yang harganya jauh lebih murah dibanding makanan di dalam bioskop. Mereka hanyut dalam layar lebar. Mengikuti adegan yang didominasi kelucuan. Liburan akhir pekan Martono berakhir saat film berakhir dan lampu ruangan mulai dinyalakan. Sore itu Martono akhirnya menonton film secara utuh di tempat ia telah lama bekerja.

Saat berpapasan dengan temannya sesama cleaning service di depan pintu keluar, Martono gantian meledeknya.

“Jangan lupa ya sampah semua di kursi di bersihkan, terutama kursi H4 sampai H7,” ledek Martono menirukan suara bosnya yang pernah menegur teman Martono itu karena ada sampah yang ketinggalan dan pengunjung selanjutnya tidak mau peduli dan memberikan komplen. “Hahaha!” tawa Martono disambut lenguhan temannya. Sial!

Mereka keluar. kelaparan dan mencari makan yang pastinya tak akan jauh dari nasi goreng atau pecel ayam di pinggir jalan.

“Gimana filmnya?” Tanya Martono pada kedua anaknya.

“Bagus Pak, mau nonton lagi ya Pak, besok?”

“Hahaha. Iya nanti kalo bapak libur kita nonton lagi.” Jawab Martono sambil mengelus-elus kepala Si Adik yang matanya masih berbinar-binar mungkin masih mengingat-ingat filmnya. Si Kakak pun sama. Mereka berseri. Sepasang suami istri itu hanya bisa berpandangan dan merasa bahagia.

Mereka berdua berpikiran sama, yaitu lebih memilih membelanjakan uang 200 ribu untuk kebutuhan seminggu dibandingkan menonton film di bioskop tempat kerja Martono si cleaning service gedung bioskop ibu kota.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun