Ubisoft pertama kali merilis video game Assassin’s Creed pada tahun 2007 untuk platform console game Playstation 3 dan XBOX 360 serta PC Windows. Sebuah game bergenre action dengan latar waktu pada abad pertengahan. Menggambarkan konflik politik dan kehidupan peradaban Eropa pada masa itu. Hingga tahun 2016, serial video game tersebut masih dirilis. Si bungsu berjudul Assassin’s Creed Chronicles : Russia dirilis pada awal tahun.
Seperti hendak melebarkan sayap di industri entertainment, Ubisoft dengan sutradara Justin Kurzel pun membawa kisah para pembunuh bawah tanah tersebut ke layar lebar. Assassin’s Creed menjadi salah satu film penutup tahun yang penuh aksi.
Diadopsi dari gameplay dan cerita yang ada pada video game, film ini menurut saya memanjakan orang-orang yang pernah menjajal serunya menyelesaikan misi-misi pembunuhan. Saya pernah menyelesaikan dua seri gamenya yaitu Assassin’s Creed Revelation dan Assassin’s Creed Black Flag. Namun tenang, cerita, aksi, dan grafis film ini tidak hanya dikhususkan untuk para gamer.
Masa Lalu
Cal Lynch masih kecil saat mendapati ibunya mati di tangan ayahnya. Bersamaan dengan itu puluhan mobil dengan pasukan bersenjata mengepung rumah Cal, namun atas perintah ayahnya Cal berhasil kabur dengan memanjat atap rumah. Waktu berganti hingga Cal tumbuh dewasa dan mendekam di penjara sebelum akhirnya terbaring di kasur hukuman suntik mati akibat kekerasan selama hidupnya. Adegan menegangkan dengan acting Michael Fassbender yang dramatis sebelum mati.
Namun Cal “hidup” kembali. Dia terbangun di sebuah pusat penelitian teknologi super canggih di Madrid bernama Abstergo. Di sanalah ingatan Cal tentang garis keturunannya selama 500 tahun dibangkitkan. Disimulasikan dengan alat pembaca ingatan genetik bernama Animus yang dikembangkan oleh ayah dan anak, Dr. Alan Rikkin dan Dr. Shopia Rikkin. Aksi para Assassin pun dimulai.
Cal memiliki darah keturunan seorang Assassin pemberani yang hidup pada abad ke 15 di Andalusia, bernama Aguilar. Ingatannya begitu penting karena Aguilar disebut pelopor atau ketua kelompok Assassin yang merupakan orang terakhir pemegang artifak suci berkekuatan dahsyat bernama Apple of Eden. Artifak yang diceritakan sebagai buah yang menyebabkan dosa pertama manusia yang dilakukan Adam dan Hawa atas dasar kebebasan.
Cal pun berperan sebagai Aguilar dan bertarung melawan tentara sebuah rezim bernama Templar. Aksinya bersama kawanan Assassin yang disebut Brotherhood di Andalusia pada adab ke 15 menyajikan visual yang menghibur sekaligus menegangkan. Bangunan-bangunan kuno hasil peradaban Islam menjadi arena pertarungan rezim dan pemberontak.
Aksi-aksi pertarungan jarak dekat dengan senjata tajam begitu seru. Tak ketinggalan kemampuan khas para Assassin seperti menyelinap dan melakukan parkour dari bangunan ke bangunan lain pun turut dihadirkan. Itulah yang menurut saya menyajikan aksi yang berbeda dari setting film modern yang didominasi tembak menembak.
Assassin sudah menjadi musuh yang menyulitkan bagi rezim Templar yang tidak mentoleransi kebebasan individu. Assassin yang berasal dari bahasa arab, Hashashin, berisikan orang-orang yang hidup dalam kekerasan. Kerabat korban pembunuhan, pecandu obat-obatan, perampok, pencuri dan tindak kriminal lainnya. Namun mereka terkenal bijak menyuarakan kebebasan. Bukan secara terbuka, namun merongrong rezim dengan teror.
Rezim Templar sendiri dibangun diatas totaliterisme militer dan agamanya. Semua perkataan pendeta adalah hukum. Silakan ada penentang jika siap berakhir menjadi abu di depan istana. Seperti yang terjadi pada Aguilar yang tertangkap saat melindungi Putra Mahkota negara Granada. Anak Sultan Muhammad yang menyimpan Apple of Eden. Apple yang sebisa mungkin didapatkan oleh Templar untuk melenyapkan hasrat kebebasan manusia, namun sebisa mungkin dijaga para Assassin.
Adegan setelah Aguilar berhasil kabur dari hukuman mati menjadi aksi klimaks yang mengembalikan sepenuhnya kesadarann akan peran Cal di dunia modern sebagai keturunan Assassin. Ingatan terakhir saat Cal memberikan Apple Of Eden pada Christoper Columbus menghancurkan mesin Animus. Cal sadar, bahwa ingatannya dimanfaatkan oleh organisasi Abstergo yang menginginkan Apple of Eden.
Aksi berlanjut di era modern. Di markas Abstergo, keturunan Assassin yang diteliti tidak hanya Cal. Dan bisa ditebak, mereka memberontak karena rasa kebersamaan mereka pada Cal dan misi menjaga Apple of Eden. Pertarungan antara penjaga Abstergo dan para Assassin modern pecah.
Sementara itu, Shopia dan Alan Rikkin yang ternyata adalah keturuanan Templar sudah dapat mengetahui lokasi Apple of Eden dari ingatan terakhir Cal. Mereka pergi, sementara para Assassin sibuk menghadapi penjaga.
Ordo Templar modern masih bertujuan sama pada Apple Of Eden. Mereka ingin memanfaatkan kekutannya untuk memusnahkan kebebasan dan keturunan Assassin. Namun, semua gagal. Shopia yang tidak sejalan dengan ayahnya, membantu Cal yang berhasil menyelinap diantara peserta pertemuan para Templar. Dengan senyap, Cal membunuh Alan Rikkin dan pergi menyelamatkan Apple Of Eden.
Efek visual tidak perlu diragukan. Garapannya tidak mengecewakan. Aksi yang dihadirkan tak bisa dilepaskan dari aksi dalam video gamenya. Saya merasa terhibur saat semua teknik bertarung, membunuh, dan meloloskan diri para Assassin terasa mirip dengan gamenya.
Teknik membunuh dengan pisau khas Assassin yang keluar dari pergelangan tangan bagian bawah mendominasi adegan pertarungan. Membunuh dengan melompat dari atap bangunan dan langsung menusuk pun adalah salah satu teknik di video game. Penggunaan senjata seperti pedang, bow, pisau lempar, dan hidden blade juga sama.
Teknik menyamar diantara penduduk dan tiba-tiba sudah menusukkan pisau merupakan teknik khas para Assassin. Yang paling epic yaitu Leap Of Faith. Adegan melompat dari atas menara. Terjun bebas diiringi suara burung elang. Lompatan keyakinan. Hampir 100% adegan pertarungannya mengadopsi video game.
Tema kebebasan yang diangkat, digabungkan dengan masa lalu dan science fiction menjadi komposisi yang apik. Hanya bagi saya, film berdurasi 1 jam 55 menit ini kurang dilengkapi kisah sejarah yang mendalam antara Assassin, Templar, dan kehidupan abad pertengahan Eropa. Kemudian setting filmya lebih banyak di zaman modern, yaitu di markas Abstergo dibandingkan di abad pertengahan. Berkebalikan dari video gamenya. Jika porsinya lebih banyak petualangan masa lalu, maka film ini akan semakin seru.
Film berakhir saat Cal dan dua Assassin modern yang tersisa berdiri di atas gedung di kota Madrid. Mereka memandangi kota, yang dalam game dikenal dengan eagle view. Adegan diam yang mengindikasikan serial film ini mungkin akan ada lanjutannya. Semoga saja, serialnya nanti bisa sesukses serial video gamenya.
We work in the dark to serve the light. We are assassins.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H