Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kecantikan: Pembawa Kebahagiaan Sekaligus Musibah bagi Perempuan

27 November 2016   18:15 Diperbarui: 27 November 2016   20:57 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan penutup. Dramakala dan si gadis desa yang melahirkan Octopus. (Dok. Pribadi)

Cantik. Ah kata yang mengandung ironi bagi pemiliknya. Perempuan. Pembawa kebahagiaan sekaligus musibah. Ungkapan atau anggapan bahwa semua perempuan itu (ingin menjadi) cantik menjadikan ironi itu melekat pada kaum perempuan. Mungkin di era modern ini muncul istilah inner beauty, kecantikan dari dalam, dari hati, dari kecerdasan, dari tingkah laku. Kecantikan sesungguhnya perempuan. Tapi seberapa banyak lelaki yang melihat itu dibanding lelaki yang melihat cantiknya paras dan tubuh? Dengan mata birahi yang menelanjangi, dan diam-diam berharap ditemukannya kacamata tembus pandang yang dijual bebas dan murah.

Dramakala bercerita tentang kehidupan masa kecilnya. (Dok. Pribadi)
Dramakala bercerita tentang kehidupan masa kecilnya. (Dok. Pribadi)
Bagi sebagian orang di belahan dunia lain, kecantikan menjadi rahasia. Afghanistan contohnya, di mana perempuan menggunakan burqa yang menutup seluruh tubuh termasuk mata dengan penutup jaring-jaring. Bagi orang lain, cantik berarti anugerah atau mukjizat Tuhan. Perempuan cantik seolah selalu bisa menyelesaikan masalah dengan kecantikannya. Mungkin tak perlu berdoa lagi pada Tuhan karena doanya sudah dikabulkan dalam bentuk paras cantik. Lain lagi saat kecantikan menjadi dagangan. Menjadi modal mencari keuntungan hingga menjadi ratu kecantikan.

Namun, sederet lika-liku kecantikan itu bagi beberapa orang bisa menjadi luka. Luka yang dalam. Perih. Traumatis. Luka yang timbul hanya karena dia seorang perempuan (cantik). Makhluk yang sering menjadi objek empuk diskriminasi. Berbeda dengan suku, agama, dan ras yang jenisnya ribuan dan tidak semua saling mendiskriminasi, gender hanya mengenal dua jenis. Maka, di saat yang satu mendiskriminasi maka hanya satunya lagi yang terdiskriminasi. Selalu lelaki terhadap perempuan. Makanya hanya ada komnas perlindungan perempuan, tidak ada untuk lelaki.

Kisah lika-liku luka mereka diangkat oleh kelompok Teater Poros dalam lakon berjudul “1 Lelaki 3 Perempuan dan Octopus” pada Sabtu, 26 November 2016. Pertunjukan yang diadakan di Teater Luwes kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ) merupakan salah satu dari rangkaian pesta teater Jakarta yaitu Festival Teater Jakarta (FTJ) 2016. Dalam kategori “Sayap Utama” artinya Teater Poros adalah pemenang dari kompetisi teater di salah satu regional Jakarta. Dan Teater Poros yang sudah berdiri sejak tahun 1990 ini berasal dari region Jakarta Pusat.

Tegang

Koreografi pembuka pentas berdurasi 90 menit ini cukup untuk menanamkan kesan bahwa sepanjang pentas, ketegangan akan sering muncul. Ditambah properti panggung yang diisi oleh barang-barang rongsokan yang bagi sebagian besar penonton pasti sudah tidak ada lagi di rumahnya. Sutradara Acep S. Martin memberi catatan bahwa pentasnya kali ini memang mengeksplorasi benda-benda rongsokan dari Gelanggang Remaja Senen. Ada kloset bekas, lampu taman, kurungan besi, pintu, bak mandi bekas, hingga alat pembawa tabung gas atau galon air mineral.

Ruang pentas Teater Luwes disulap seperti gudang-gudang tak terpakai yang biasanya dipakai mangkal para PSK kota, markas preman atau gangster, dan mungkin rumah hantu. Ditambah pencahayaan yang didominasi warna kuning temaram memberi kesan suramnya cahaya dari bola lampu yang usang. Sesuai judulnya, pemerannya adalah empat orang. Satu lelaki dan tiga perempuan. Mereka masuk dan mematung di ruang pentas. Adegan didominasi oleh kisah berbentuk monolog dari keempat pemain. Satu persatu mereka bercerita tentang luka masing-masing.

Mawar di kamar mandi rongsokannya, stress menerima kabar bahwa dia ditipu. (Dok. Pribadi)
Mawar di kamar mandi rongsokannya, stress menerima kabar bahwa dia ditipu. (Dok. Pribadi)
Musik nakal membuka adegan tokoh dengan nama sebut saja Mawar yang berbalut kimono mandi dengan tanktop dan celana ketat di dalamnya. Ia memasuki kamar mandi rongsokan sambil bergoyang erotis dan menggoda. Mematut-matut wajah di depan cermin dan kemudian bertutur. Dialah korban pertama yang bercerita. Seorang pelacur kelas tinggi langganan politisi yang lebih suka disebut artis daripada pelacur. Dia tampak senang dengan profesinya. Uangnya cukup banyak karena bayaran yang tinggi. Jiwanya marah, tapi tuturnya tetap ramah pada para pelanggannya. Ada Om Imam atau Andre dan om-om lainnya.

Kebingungan digambarkan oleh si tokoh lelaki bernama Dramakala yang bangun dari mimpi buruk di atas pintu kemudian bercerita tentang masa kecil dan ibunya. Entah ia bingung mengapa ibunya rajin berdandan menor dan sering bersama lelaki. Ia pun tak tahu mengapa saat ayahnya yang cacat karena kecelakaan dan akhirnya mati, ibunya malah menghilang tanpa berduka. Jika tak semua orang baik, maka berlaku juga tak semua ibu baik. Yang ia tahu hanya bayangan masa kecil berbentuk Octopus atau gurita yang selalu menghantuinya. Sepanjang adegan tokoh ini tak lepas dari pintu itu.

Di bawah pintu, secara mengejutkan ternyata ada seorang perempuan terpenjara. Ia meringkuk di kerangkeng yang ukurannya tak lebih besar dari kandang anjing. Dialah perempuan korban kebiadaban majikannya. Merry namanya. Siksaan brutal pernah dialaminya karena kesalahan-kesalahan kecil. Disiram air panas, dipukuli, disetrika hingga kemaluannya ditusuk kayu. Mukanya cacat digambarkan oleh topeng yang dipakainya, jiwanya trauma. Trauma berat. Dengan penuh rintihan bercampur kemarahan dan dendam ia bercerita dan meminta tolong.

Tokoh perempuan yang selanjutnya menyambung kisah sedih tokoh-tokoh sebelumnya. Korban kemiskinan nelayan di negeri maritim yang sudah tak asing lagi. Dia gadis desa dengan ayah yang sabar. Mencintai laut dan hasilnya yang membuat hidupnya cukup untuk disebut sederhana. Namun ibunya tak sepaham. Kata sederhana diartikan miskin dan harus dihindari. Cekcok suami istri karena kemiskinan berakhir perceraian dan kematian sang suami. Sang gadis pun merantau ke kota dan menemukan nasib buruknya digagahi 220 lelaki selama 22 jam. Tragis.

Berakhir Tragis

Kisah tragis berlanjut saat cerita menuju klimaks. Adegan menjadi riuh. Tegang. Merry mendapat bantuan untuk menjalani operasi wajah dan berubah cantik. Merebut tahta Mawar si pelacur kelas atas. Mawar terhempas ke selokan pelacuran murahan karena ditipu dan mucikarinya diburu polisi. Dramakala terus mencari dan memantapkan kebenciannya pada perempuan-perempuan seperti ibunya. Terus berjalan. Terus dihantui octopus yang menjadi mimpi buruk halusinasinya yang membuat ia beribadah dengan jarum suntik.

Panggung yang tadinya tenang menjadi gaduh. Jeritan, umpatan, kemarahan, dan cacian keempat tokoh dengan ekspresi masing-masing seolah bersautan walaupun masih dalam bentuk monolog. Mereka berinteraksi dalam gerak dan adegan namun tetap tidak dalam kata-kata. Air disemprotkan ngawur, Dramakala ditarik oleh tambang kemudian diinjak di bawah pintu. Jeritan tetap bergema hingga lampu padam. Adegan yang menurut saya menjadi penyempurnaan dan pengukuhan kebencian Dramakala.

Adegan penutup. Dramakala dan si gadis desa yang melahirkan Octopus. (Dok. Pribadi)
Adegan penutup. Dramakala dan si gadis desa yang melahirkan Octopus. (Dok. Pribadi)
Dan kisah tragis berakhir untuk Mawar dan Merry yang mati di tangan Dramakala. Setelah membunuh, sesaat sebelum lampu padam, Dramakala masih sempat membuka celana dan memperkosa mayat Mawar dan Merry. Adegan yang akhirnya mengundang kekagetan penonton yang menjadi cekikikan. Sementara si gadis desa yang tengah hamil tua akhirnya melahirkan. Buah dari sperma 220 lelaki yang berenang menuju rahimnya itu menghasilkan bayi yang berbentuk gurita. Octopus. Tokoh imajiner yang menggambarkan monster kehidupan yang menakutkan.

Pertunjukan yang menghibur sekaligus membuat penonton sering-sering menarik nafas. Saya cukup hanyut dalam cerita-cerita luka perempuan-perempuan yang sebenarnya terjadi di dunia nyata tapi cepat dilupakan atau tak muncul sama sekali. Mereka, perempuan-perempuan itu membawa beban berat pada gendernya. Pada kecantikan yang dimilikinya.

Pertunjukan ditutup dengan nafas lega penonton yang akhirnya keluar dari lubang hitam tragisnya kehidupan perempuan-perempuan korban kecantikan yang menjelma kutukan. Serpihan sisi kelam keindahan sosok bernama perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun